Luka Lama

1
(1)

Sore ini hujan begitu deras, sederas rindu yang saat ini aku rasakan.Terkadang hujan bisa membuatku amat sangat bahagia namun juga bisa membuatku amat sangat terluka kala aku mengingat kenangan-kenangan tentang impianku bersamanya kala itu. Ah. Iya, impian bersamanya sudah setinggi langit namun  mimpi itu telah ia hancurkan seiring dengan kepergiannya yang tanpa kabar. 

Sayang, kini mimpi itu tinggalah sebuah mimpi yang tak akan pernah terwujud, sebab impian yang ku rangkai bersamanya kini telah hancur lantaran terhalang restu dan perbedaan sebuah kasta.

Ya, aku hanyalah seorang perempuan sederhana yang terlahir dari keluarga serba pas-pasan, tapi apa salah jika aku mencintai ia yang terlahir dari keluarga serba berada? Bahkan kami saling mencintai.

Apakah harta, tahta, menjadi patokan untuk sebuah Restu? Apakah kesederhanaan sebuah aib? 

***

Malam itu tepat menunjukan pukul 23.00 sebuah rintone di gawaiku berbunyi tanda panggilan masuk, segera ku ambil dan ku lihat siapa yang memanggilku malam-malam begini? Setelah ku lihat ternyata panggilan itu tak ku kenali siapa pelakunya, nomornya begitu asing di pelupuk mataku dan belum pernah masuk ke gawaiku sebelumnya. Sejenak ingin ku abaikan tapi rasa penasaran itu yang membuatku akhirnya mengangkat panggilan tersebut.

“Hallo, Assalamualaikum. Syah,” suara di sebrang sana tak asing bagiku seakan mengingatkanku padanya. Pada ia yang sudah lama tak ku dengar kabarnya. Tanganku bergetar, lidahku kelu kala aku ingin menjawab salamnya.

“Syah, hallo. Assalamualaikum. Syah ini aku Adam kamu masih di sana kan?” ucapnya lagi di sebrang sana. Ternyata benar dugaanku dia Adam, laki-laki yang sudah meninggalkan ku. 

“I… i… iya wa… alaikumussaalam,” jawabku terbata-bata kala mendengar lagi suaranya. Adam,  sudah sekian lama aku tak mendengar suaranya lagi.  Rindu serta amarah kini tercampur dalam hatiku.

“Apa kabar Syah? Ku harap kamu baik-baik saja,” ucapnya. Entah itu sebuah do’a atau luka bagiku, yang jelas aku tidak baik-baik saja. 

“Ya, menurutmu” begitulah jawabanku, ku harap ia mengerti atas jawaban yang aku berikan. Ku harap ia tahu betapa hancurnya hatiku saat mendengar suaranya.

“Ekhem… Syah, aku minta maaf telah lancang meneleponmu malam-malam begini” ucapnya.

“Ada apa anda menelepon saya? Ada hal pentingkah atau hanya sekedar basa-basi saja?” tanyaku dengan nada ketus. Jujur panggilan darinya membuatku senang sekaligus sakit.

“Tidak Syah, Ada hal penting yang saya ingin bicarakan” ucapnya lagi di sebrang sana. Hal penting apa maksudnya?  Bukankah hubungan kita sudah berakhir?.

“Apa” jawabku sesingkat mungkin. Ya,  aku tak mau berbasa-basi dengannya, sudah cukup hati ini merasakan perih karna kepergiannya tanpa kabar. 

“Prihal kepergianku waktu itu aku ingin menjelaskannya, ku harap kamu mau memaafkanku dan mau menerimaku sebagai ikhwan yang ingin mengkhitbahmu” ujarnya di sebrang sana. 

Tiba tiba air mataku jatuh membasahi pipi, tak bisa aku tahan lagi kala mendengar ucapannya. Apa yang ia katakan? Segampang itukah? Memintaku untuk memaafkannya dan menerimanya kembali, kemana ia dulu? Di saat aku membutuhkannya, di saat hatiku hancur berkeping-keping kala keluarganya memohon agar aku tak lagi berhubungan dengannya hanya karna aku miskin.

Ah, betapa bodohnya diriku menangisi seorang ikhwan yang sudah meninggalkanku begitu saja yang jelas-jelas keluarganya pun tak suka denganku dan sekarang? Dengan mudahnya ia memintaku untuk menerimanya kembali. Sungguh laki laki tak tahu diri!

“Syah, kok enggak jawab, masih di sana kan?” suara di sebrang sana menyadarkan lamunanku.

“Ya” jawab ku singkat

“Jadi bagaimana?” ucapnya.  Bagaimana apanya? Menerimanya kembali meski harus merasakan perih yang tak berkesudahan? Maaf aku tak akan jatuh kelubang yang sama.

“Apa yang ada di pikiranmu Dam?” tanyaku dengan nada kesal.

“Dipikiranku hanya ada kamu Syah, kamu!” jawabnya dengan sedikit penekanan.

“Ngapain anda mikirin saya, bukankah saya itu sudah bukan siapa-siapa anda lagi, sejak anda menghilang tanpa kabar” ucapku tersedu sedu.

“Maafkan aku Syah, maaf dulu aku telah meninggalkanmu dan sekali lagi maaf atas perlakuan keluargaku dulu, Syah. Aku menyesal amat menyesal telah meninggalkanmu atas permintaan keluargaku” ucapnya entah itu dengan penyesalan atau tidak yang jelas ku dengar suaranya begitu lirih.

“Mengapa baru hari ini anda menyadari hal itu? Itu sudah lama terjadi dan saya sudah memaafkan anda, namun perihal menerima maaf saya tidak bisa. Apa yang di katakan keluarga anda benar kita sangatlah berbeda, ya. Bagai langit dan bumi bukan? Dan sekarang saya sadar diri, saya memang orang tak punya, tapi maaf saya masih punya harga diri dan tak mau mengulangi kesalahan yang sama lagi” jawabku dengan panjang lebar ku harap ia mengerti.

“Tapi, Syah” ucapnya lagi yang segera ku potong,

“Saya tutup. Assalamualaikum.” segeraku tutup panggilannya dan ku lempar gawaiku kesembarang tempat. 

Tangisku pecah, perih, sesak dan begitu sakit. Hatiku seakan di tikam oleh ribuan belati, luka yang baru saja mengering kini terbuka kembali. Kini luka ini bukan saja berdarah-darah melainkan kian  bernanah. Dadaku semakin sesak, tangisanku tak bisa di hentikan. Ya tuhan apa maksudnya ini? Setelah sekian lama aku berusaha melupakannya dan berusaha mengobati luka yang seharusnya sudah mengering kini kau torehkan lagi luka yang sama dengan orang yang sama pula. Sekali lagi apa maksudnya?

Ternyata benar ya, perbedaan itu bukan hanya menyatukan tapi juga memisahkan dan setiap apa yang kita impikan tak selamanya jadi kenyataan.

Nama author: Siti Aisyah
Akun ig: siti_aisyah018
Akun fb: Siti Aisyah
Genre cerpen: sedih

Rate cerita ini yuk Kak!

Click on a star to rate it!

Average rating 1 / 5. Vote count: 1

No votes so far! Be the first to rate this post.

Luka Lama

Luka Lama

Sore ini hujan begitu deras, sederas rindu yang saat ini aku rasakan.Terkadang hujan bisa membuatku amat sangat bahagia namun juga bisa membuatku amat sangat terluka kala aku mengingat kenangan-kenangan tentang impianku bersamanya kala itu. Ah. Iya, impian bersamanya sudah setinggi langit namun  mimpi itu telah ia hancurkan seiring dengan kepergiannya yang tanpa kabar. 

Sayang, kini mimpi itu tinggalah sebuah mimpi yang tak akan pernah terwujud, sebab impian yang ku rangkai bersamanya kini telah hancur lantaran terhalang restu dan perbedaan sebuah kasta.

Ya, aku hanyalah seorang perempuan sederhana yang terlahir dari keluarga serba pas-pasan, tapi apa salah jika aku mencintai ia yang terlahir dari keluarga serba berada? Bahkan kami saling mencintai.

Apakah harta, tahta, menjadi patokan untuk sebuah Restu? Apakah kesederhanaan sebuah aib? 

***

Malam itu tepat menunjukan pukul 23.00 sebuah rintone di gawaiku berbunyi tanda panggilan masuk, segera ku ambil dan ku lihat siapa yang memanggilku malam-malam begini? Setelah ku lihat ternyata panggilan itu tak ku kenali siapa pelakunya, nomornya begitu asing di pelupuk mataku dan belum pernah masuk ke gawaiku sebelumnya. Sejenak ingin ku abaikan tapi rasa penasaran itu yang membuatku akhirnya mengangkat panggilan tersebut.

"Hallo, Assalamualaikum. Syah," suara di sebrang sana tak asing bagiku seakan mengingatkanku padanya. Pada ia yang sudah lama tak ku dengar kabarnya. Tanganku bergetar, lidahku kelu kala aku ingin menjawab salamnya.

"Syah, hallo. Assalamualaikum. Syah ini aku Adam kamu masih di sana kan?" ucapnya lagi di sebrang sana. Ternyata benar dugaanku dia Adam, laki-laki yang sudah meninggalkan ku. 

"I... i... iya wa... alaikumussaalam," jawabku terbata-bata kala mendengar lagi suaranya. Adam,  sudah sekian lama aku tak mendengar suaranya lagi.  Rindu serta amarah kini tercampur dalam hatiku.

"Apa kabar Syah? Ku harap kamu baik-baik saja," ucapnya. Entah itu sebuah do'a atau luka bagiku, yang jelas aku tidak baik-baik saja. 

"Ya, menurutmu" begitulah jawabanku, ku harap ia mengerti atas jawaban yang aku berikan. Ku harap ia tahu betapa hancurnya hatiku saat mendengar suaranya.

"Ekhem... Syah, aku minta maaf telah lancang meneleponmu malam-malam begini" ucapnya.

"Ada apa anda menelepon saya? Ada hal pentingkah atau hanya sekedar basa-basi saja?" tanyaku dengan nada ketus. Jujur panggilan darinya membuatku senang sekaligus sakit.

"Tidak Syah, Ada hal penting yang saya ingin bicarakan" ucapnya lagi di sebrang sana. Hal penting apa maksudnya?  Bukankah hubungan kita sudah berakhir?.

"Apa" jawabku sesingkat mungkin. Ya,  aku tak mau berbasa-basi dengannya, sudah cukup hati ini merasakan perih karna kepergiannya tanpa kabar. 

"Prihal kepergianku waktu itu aku ingin menjelaskannya, ku harap kamu mau memaafkanku dan mau menerimaku sebagai ikhwan yang ingin mengkhitbahmu" ujarnya di sebrang sana. 

Tiba tiba air mataku jatuh membasahi pipi, tak bisa aku tahan lagi kala mendengar ucapannya. Apa yang ia katakan? Segampang itukah? Memintaku untuk memaafkannya dan menerimanya kembali, kemana ia dulu? Di saat aku membutuhkannya, di saat hatiku hancur berkeping-keping kala keluarganya memohon agar aku tak lagi berhubungan dengannya hanya karna aku miskin.

Ah, betapa bodohnya diriku menangisi seorang ikhwan yang sudah meninggalkanku begitu saja yang jelas-jelas keluarganya pun tak suka denganku dan sekarang? Dengan mudahnya ia memintaku untuk menerimanya kembali. Sungguh laki laki tak tahu diri!

"Syah, kok enggak jawab, masih di sana kan?" suara di sebrang sana menyadarkan lamunanku.

"Ya" jawab ku singkat

"Jadi bagaimana?" ucapnya.  Bagaimana apanya? Menerimanya kembali meski harus merasakan perih yang tak berkesudahan? Maaf aku tak akan jatuh kelubang yang sama.

"Apa yang ada di pikiranmu Dam?" tanyaku dengan nada kesal.

"Dipikiranku hanya ada kamu Syah, kamu!" jawabnya dengan sedikit penekanan.

"Ngapain anda mikirin saya, bukankah saya itu sudah bukan siapa-siapa anda lagi, sejak anda menghilang tanpa kabar" ucapku tersedu sedu.

"Maafkan aku Syah, maaf dulu aku telah meninggalkanmu dan sekali lagi maaf atas perlakuan keluargaku dulu, Syah. Aku menyesal amat menyesal telah meninggalkanmu atas permintaan keluargaku" ucapnya entah itu dengan penyesalan atau tidak yang jelas ku dengar suaranya begitu lirih.

"Mengapa baru hari ini anda menyadari hal itu? Itu sudah lama terjadi dan saya sudah memaafkan anda, namun perihal menerima maaf saya tidak bisa. Apa yang di katakan keluarga anda benar kita sangatlah berbeda, ya. Bagai langit dan bumi bukan? Dan sekarang saya sadar diri, saya memang orang tak punya, tapi maaf saya masih punya harga diri dan tak mau mengulangi kesalahan yang sama lagi" jawabku dengan panjang lebar ku harap ia mengerti.

"Tapi, Syah" ucapnya lagi yang segera ku potong,

"Saya tutup. Assalamualaikum." segeraku tutup panggilannya dan ku lempar gawaiku kesembarang tempat. 

Tangisku pecah, perih, sesak dan begitu sakit. Hatiku seakan di tikam oleh ribuan belati, luka yang baru saja mengering kini terbuka kembali. Kini luka ini bukan saja berdarah-darah melainkan kian  bernanah. Dadaku semakin sesak, tangisanku tak bisa di hentikan. Ya tuhan apa maksudnya ini? Setelah sekian lama aku berusaha melupakannya dan berusaha mengobati luka yang seharusnya sudah mengering kini kau torehkan lagi luka yang sama dengan orang yang sama pula. Sekali lagi apa maksudnya?

Ternyata benar ya, perbedaan itu bukan hanya menyatukan tapi juga memisahkan dan setiap apa yang kita impikan tak selamanya jadi kenyataan.

Nama author: Siti Aisyah Akun ig: siti_aisyah018 Akun fb: Siti Aisyah Genre cerpen: sedih

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Plugin Kapsule Corp

Options

not work with dark mode
Reset
Part of PT. King Alin Jaya