(18+) Suami Paling Berdosa

4.2
(5)

Pagi ini, aku melihat istriku masih tertidur pulas. Dengan wajah yang mulai layu, garis-garis halus mulai muncul di wajahnya, padahal umurnya masih terhitung cukup muda. Sepuluh tahun yang lalu, tepatnya saat ia berumur 25 tahun. Istriku resmi menyerahkan seluruh hidupnya untuk menjadi pendampingku. Tak bermaksud melebih-lebihkan, namun istriku ini yang bernama Dinda, bisa dikatakan sebagai istri terbaik. Tak pernah berkeluh kesah, mengeluhkan betapa lelahnya mengurusku dan kedua anak kami. Sebaliknya, Dinda malah mengungkapkan kelelahannya dengan senyuman manis, yang seolah mengatakan, “Tidak usah merasa tidak enak, sudah kewajibanku mengurus kalian.”

Sungguh, mengingat semua itu membuatku merasa menjadi suami paling berdosa. Apalagi tiga tahun ke belakang ini. Semuanya berawal dari saat istriku berulang tahun yang ke-32. Berbarengan dengan kenaikan jabatanku di kantor, aku mulai merasa jumawa. Aku merasa uangku semakin banyak, dan aku berhak mendapatkan pendamping yang lebih muda dan bisa mengurus tubuhnya agar tetap terlihat cantik dan seksi di hadapanku. Tidak seperti Dinda yang selalu berpakaian lusuh, bau bawang goreng.

Pada saat itu, setelah merayakan ulang tahun istriku di sebuah restoran, ponselku berdering. Sekretarisku menelepon, dirinya mengalami kecelakaan mobil. Mobilnya menabrak pembatas jalan. Aku tahu, sekretarisku merupakan anak rantau. Dia bernama Adelia. Adelia yang berusia 23 tahu pada waktu itu, datang ke kota ini setelah lulus mendapatkan gelar sarjana.

Aku yang tahu dia tidak memiliki sanak saudara di kota ini, langsung bergegas pergi menolongnya. Tak pernah terpikirkan hal apapun pada waktu itu. Aku bahkan masih berterus terang pada istriku, aku akan pergi menemui Adelia di rumah sakit, membantunya mengurus administrasi rumah sakit dan admistrasi kepolisian juga. Lagi dan lagi, Dinda yang selalu memercayaiku tak banyak bertanya. Ia tahu betul aku adalah atasan Adelia, jadi memang aku juga yang bertanggung jawab atas kehidupan Adelia di kota ini.

Sepanjang jalan, aku masih merasa biasa saja. Sampai akhirnya aku masuk ke ruangan tempat Adelia di rawat. Adelia langsung memelukku, ia berkata, “Pak, terima kasih sudah datang. Kalau Bapak tidak datang, entah harus ke siapa lagi saya meminta tolong.”

Pelukan hangat itu, dengan dadanya yang menempel ke tubuhku, membuat hasrat seorang laki-laki yang seolah sudah tertidur lama ini bangkit. Beberapa tahun ke belakang ini, khususnya setelah anak kedua kami lahir pada tiga tahun yang lalu, kehidupan suami istri kami terasa seolah mati. Tak ada lagi kehangatan yang bisa membangkitkan kehangatan ini. Bodohnya aku, aku yang tak berpikir panjang langsung memeluknya, “Tidak apa-apa. Luka kamu enggak parah. Kamu cuma shock aja Del, kata dokter kamu bisa langsung pulang sekarang.”

Malam sudah larut, kurang lebih sudah jam 1 pagi pada waktu itu. Setelah mengurus seluruh administrasinya, aku langsung mengantarkan Adelia pulang ke apartemennya.

Sesampainya di apartemen Adelia, alih-alih menyuruhku pulang, entah kenapa Adelia tiba-tiba malah menawarkan aku untuk menginap saja di apartemennya.

“Pak, ada 2 kamar di apartemen saya. Bapak menginap saja di kamar satunya lagi. Rapi dan bersih kok.” ucap Adelia padaku.

Lagi-lagi, kebodohanku tak berpikir panjang, aku langsung mengangguk, mengiyakan tawarannya. Saat aku beranjak pergi ke kamar itu, aku melihat beberapa botol alkohol di tempat sampah ruang tamunya. Saat itu, aku baru menyadari, Adelia sedang mabuk. Pikirannya dalam pengaruh alkohol. Tak lama kemudian juga, sebuah pelukan tiba-tiba datang menghampiriku. Adelia memelukku. Aku yang sudah terpancing sedari tadi, langsung membalas pelukannya. Ciuman antara diriku dan Adelia tak terhindarkan lagi, Adelia yang bertubuh seksi dan begitu muda ini berkata padaku, “Saya sedang sedih Pak, tunangan saya selingkuh!”

Aku menjawabnya, “Tak apa, ada aku! Sudah, gak perlu begitu formal lagi ya. Mulai saat ini, ada aku yang akan menjaga kamu di sini. Tenang saja ya Del.”

Malam panjang itu berlalu dengan sangat indah. Sangat indah untuk saat itu. Mulai malam itu juga, aku resmi menjadi suami yang paling berdoa di seluruh muka bumi ini. Aku mulai jarang pulang ke rumah dengan alasan ada pekerjaan di luar kota. Namun balasan Dinda untuk kekejianku ini selalu hanya senyuman yang penuh rasa percaya saja.

Sampai suatu hari, tepatnya saat dua tahun setengah hubunganku dengan Adelia berjalan, anak kedua kami yang sudah mulai bisa berbicara, berkata padaku, “Pah, tadi ada om ganteng di depan rumah. Katanya sih om ganteng itu bersedia jadi papah baru aku sama kakak. Gantengnya sama kayak kakak deh.”

Aku terkejut bukan main. Apa selama ini Dinda juga sama bermain di belakangku juga? Emosiku langsung memuncak saat mendengar ucapan putri kecilku ini. Anak kecil selalu jujur! Aku menanyai putri kecilku, “Terus Mama jawabnya gimana sayang?”

Putriku terdiam sesaat, lalu menjawab, “Mama sih bilang gak bisa, sekarang mama masih istri papah, intinya sih gitu Pah.”

Tak lama kemudian, terdengar suara ketukan pintu di kamar putriku ini. Aku yang sudah lelah bekerja, ditambah dengan cerita dari anakku ini, emosiku membuncah bukan main. Melihat istriku membuka pintu kamar putriku ini, aku langsung mengajak istriku pergi ke lantai atas, ke kamar tamu yang jauh dari kamar anak-anak yang bersebalahan dengan kamar kami.

Sesampainya di kamar tamu, aku langsung menampar istriku.

“Murahan sekali kamu! Siapa laki-laki itu!” ucapku yang tak bisa menahan emosi lagi.

Jawaban Dinda berikutnya membuatku merasa seolah tercambuk. Dinda menjawab, “Sejak malam itu, sebenarnya aku tahu kamu ada hubungannya dengan sekretarismu itu. Aku menghubungi temanku, seorang dokter di rumah sakit tempat Adelia dirawat, mereka bilang Adelia sudah pulang, tapi kamu bohong! Kamu bilang menginap di rumah sakit, menemani Adelia!” Dinda menghela napas, lalu melanjutkan, “Sejak tiga tahun lalu, aku diam-diam memasang aplikasi GPS di handphone kamu. Aku tahu perginya kamu saat kamu bilang ada pekerjaan di luar kota. Dan mantan pacarku, Andre, bos kamu! Tahu kelakuan kamu seperti apa! Semua orang di kantormu tahu kebejatan kamu. Dia datang siang ini, mengajakku untuk kembali, dan dia bersedia menjadi ayah yang baik, imam yang baik untuk aku dan anak-anakku. Tapi, aku masih tahu diri, masih istrimu jadi tidak bisa seenaknya menerima orang lain.”

Aku terhenyak. Selama ini dia tahu, lalu aku bertanya, “Kalau tahu, kenapa tidak marah sejak awal? Kalau begitu kita bisa bercerai sejak aku merasa nyaman dengan Adelia!”

“Aku gak mau pengaruhin anak-anak. Ayahku dulu berselingkuh saat aku masih berusia 4 tahun. Dan pertengkaran ibu dan ayahku bertahan di pikiranku sampai sekarang! Semuanya berbekas, aku mau menunggu anak-anakku sedikit lebih besar, baru menyelesaikan semua ini. Namun, karena sudah ketahuan, kita selesaikan saja semuanya sampai di sini.”

Lagi-lagi aku terhenyak mendengar jawabannya. Pada detik ini juga aku merasa sangat berdosa dan menyesal. Aku tidak mau bercerai dengan Dinda. Aku meminta maaf padanya.

Sejak hari itu, aku mulai berbenah, aku mulai memperbaiki diri. Namun, walaupun aku sudah memecat Adelia, namun aku tetap tidak bisa menghentikan diriku untuk sesekali menemuinya.

Waktu terus berlalu, sampai tiga hari yang lalu, Dinda menyerahkan berkas gugatan cerai. Sidang akan dilaksanakan minggu depan nanti. Sejak gugatan cerai itu aku terima, sebelum kami benar-benar resmi bercerai, aku mulai sepenuhnya melupakan Adelia. Aku selalu pulang tepat waktu, menghabiskan waktuku bermain dengan anak-anak. Tak lupa mengajak Dinda pergi ke salon untuk perawatan, walaupun selalu ditolak.

Dan puncaknya, pagi ini. Setelah mendengar Dinda berkata pada diriku, “Aku membutuhkan imam yang baik untuk aku dan anak-anak. Orang dulu berkata, kita harus membuang bagian yang busuk sebelum menjalar ke bagian yang lain. Oleh karena itu, mulai malam ini juga aku putuskan seluruh perasaan aku untuk kamu. Menikahlah dengan Adelia, jangan berbuat dosa lagi. Kalau ingin minta maaf, silakan minta maaf pada Tuhan. Cuma Tuhan yang bisa menyembuhkan lukaku sekarang.”

Pagi ini, aku kembali beribadah di sepertiga malam. Pagi ini juga, aku tersadar sudah begitu jauh aku melangkah ke jalan yang salah. Aku tak bisa menahan kepergian Dinda. Dinda tetap bersikeras ingin bercerai denganku. Memang benar, kadang kehilangan-lah yang membuat manusia tersadar. Semoga kejadian ini hanya menimpa diriku saja.

END

 

Terima kasih sudah membaca novel kami. Untuk menyemangati author agar terus update, jangan lupa share, komen dan klik salah satu iklan di web kami(Hehehe lumayan bisa beli cemilan untuk menemani author nulis XD)  

Rate cerita ini yuk Kak!

Click on a star to rate it!

Average rating 4.2 / 5. Vote count: 5

No votes so far! Be the first to rate this post.

(18+) Suami Paling Berdosa

(18+) Suami Paling Berdosa

Pagi ini, aku melihat istriku masih tertidur pulas. Dengan wajah yang mulai layu, garis-garis halus mulai muncul di wajahnya, padahal umurnya masih terhitung cukup muda. Sepuluh tahun yang lalu, tepatnya saat ia berumur 25 tahun. Istriku resmi menyerahkan seluruh hidupnya untuk menjadi pendampingku. Tak bermaksud melebih-lebihkan, namun istriku ini yang bernama Dinda, bisa dikatakan sebagai istri terbaik. Tak pernah berkeluh kesah, mengeluhkan betapa lelahnya mengurusku dan kedua anak kami. Sebaliknya, Dinda malah mengungkapkan kelelahannya dengan senyuman manis, yang seolah mengatakan, "Tidak usah merasa tidak enak, sudah kewajibanku mengurus kalian."

Sungguh, mengingat semua itu membuatku merasa menjadi suami paling berdosa. Apalagi tiga tahun ke belakang ini. Semuanya berawal dari saat istriku berulang tahun yang ke-32. Berbarengan dengan kenaikan jabatanku di kantor, aku mulai merasa jumawa. Aku merasa uangku semakin banyak, dan aku berhak mendapatkan pendamping yang lebih muda dan bisa mengurus tubuhnya agar tetap terlihat cantik dan seksi di hadapanku. Tidak seperti Dinda yang selalu berpakaian lusuh, bau bawang goreng.

Pada saat itu, setelah merayakan ulang tahun istriku di sebuah restoran, ponselku berdering. Sekretarisku menelepon, dirinya mengalami kecelakaan mobil. Mobilnya menabrak pembatas jalan. Aku tahu, sekretarisku merupakan anak rantau. Dia bernama Adelia. Adelia yang berusia 23 tahu pada waktu itu, datang ke kota ini setelah lulus mendapatkan gelar sarjana.

Aku yang tahu dia tidak memiliki sanak saudara di kota ini, langsung bergegas pergi menolongnya. Tak pernah terpikirkan hal apapun pada waktu itu. Aku bahkan masih berterus terang pada istriku, aku akan pergi menemui Adelia di rumah sakit, membantunya mengurus administrasi rumah sakit dan admistrasi kepolisian juga. Lagi dan lagi, Dinda yang selalu memercayaiku tak banyak bertanya. Ia tahu betul aku adalah atasan Adelia, jadi memang aku juga yang bertanggung jawab atas kehidupan Adelia di kota ini.

Sepanjang jalan, aku masih merasa biasa saja. Sampai akhirnya aku masuk ke ruangan tempat Adelia di rawat. Adelia langsung memelukku, ia berkata, "Pak, terima kasih sudah datang. Kalau Bapak tidak datang, entah harus ke siapa lagi saya meminta tolong."

Pelukan hangat itu, dengan dadanya yang menempel ke tubuhku, membuat hasrat seorang laki-laki yang seolah sudah tertidur lama ini bangkit. Beberapa tahun ke belakang ini, khususnya setelah anak kedua kami lahir pada tiga tahun yang lalu, kehidupan suami istri kami terasa seolah mati. Tak ada lagi kehangatan yang bisa membangkitkan kehangatan ini. Bodohnya aku, aku yang tak berpikir panjang langsung memeluknya, "Tidak apa-apa. Luka kamu enggak parah. Kamu cuma shock aja Del, kata dokter kamu bisa langsung pulang sekarang."

Malam sudah larut, kurang lebih sudah jam 1 pagi pada waktu itu. Setelah mengurus seluruh administrasinya, aku langsung mengantarkan Adelia pulang ke apartemennya.

Sesampainya di apartemen Adelia, alih-alih menyuruhku pulang, entah kenapa Adelia tiba-tiba malah menawarkan aku untuk menginap saja di apartemennya.

"Pak, ada 2 kamar di apartemen saya. Bapak menginap saja di kamar satunya lagi. Rapi dan bersih kok." ucap Adelia padaku.

Lagi-lagi, kebodohanku tak berpikir panjang, aku langsung mengangguk, mengiyakan tawarannya. Saat aku beranjak pergi ke kamar itu, aku melihat beberapa botol alkohol di tempat sampah ruang tamunya. Saat itu, aku baru menyadari, Adelia sedang mabuk. Pikirannya dalam pengaruh alkohol. Tak lama kemudian juga, sebuah pelukan tiba-tiba datang menghampiriku. Adelia memelukku. Aku yang sudah terpancing sedari tadi, langsung membalas pelukannya. Ciuman antara diriku dan Adelia tak terhindarkan lagi, Adelia yang bertubuh seksi dan begitu muda ini berkata padaku, "Saya sedang sedih Pak, tunangan saya selingkuh!"

Aku menjawabnya, "Tak apa, ada aku! Sudah, gak perlu begitu formal lagi ya. Mulai saat ini, ada aku yang akan menjaga kamu di sini. Tenang saja ya Del."

Malam panjang itu berlalu dengan sangat indah. Sangat indah untuk saat itu. Mulai malam itu juga, aku resmi menjadi suami yang paling berdoa di seluruh muka bumi ini. Aku mulai jarang pulang ke rumah dengan alasan ada pekerjaan di luar kota. Namun balasan Dinda untuk kekejianku ini selalu hanya senyuman yang penuh rasa percaya saja.

Sampai suatu hari, tepatnya saat dua tahun setengah hubunganku dengan Adelia berjalan, anak kedua kami yang sudah mulai bisa berbicara, berkata padaku, "Pah, tadi ada om ganteng di depan rumah. Katanya sih om ganteng itu bersedia jadi papah baru aku sama kakak. Gantengnya sama kayak kakak deh."

Aku terkejut bukan main. Apa selama ini Dinda juga sama bermain di belakangku juga? Emosiku langsung memuncak saat mendengar ucapan putri kecilku ini. Anak kecil selalu jujur! Aku menanyai putri kecilku, "Terus Mama jawabnya gimana sayang?"

Putriku terdiam sesaat, lalu menjawab, "Mama sih bilang gak bisa, sekarang mama masih istri papah, intinya sih gitu Pah."

Tak lama kemudian, terdengar suara ketukan pintu di kamar putriku ini. Aku yang sudah lelah bekerja, ditambah dengan cerita dari anakku ini, emosiku membuncah bukan main. Melihat istriku membuka pintu kamar putriku ini, aku langsung mengajak istriku pergi ke lantai atas, ke kamar tamu yang jauh dari kamar anak-anak yang bersebalahan dengan kamar kami.

Sesampainya di kamar tamu, aku langsung menampar istriku.

"Murahan sekali kamu! Siapa laki-laki itu!" ucapku yang tak bisa menahan emosi lagi.

Jawaban Dinda berikutnya membuatku merasa seolah tercambuk. Dinda menjawab, "Sejak malam itu, sebenarnya aku tahu kamu ada hubungannya dengan sekretarismu itu. Aku menghubungi temanku, seorang dokter di rumah sakit tempat Adelia dirawat, mereka bilang Adelia sudah pulang, tapi kamu bohong! Kamu bilang menginap di rumah sakit, menemani Adelia!" Dinda menghela napas, lalu melanjutkan, "Sejak tiga tahun lalu, aku diam-diam memasang aplikasi GPS di handphone kamu. Aku tahu perginya kamu saat kamu bilang ada pekerjaan di luar kota. Dan mantan pacarku, Andre, bos kamu! Tahu kelakuan kamu seperti apa! Semua orang di kantormu tahu kebejatan kamu. Dia datang siang ini, mengajakku untuk kembali, dan dia bersedia menjadi ayah yang baik, imam yang baik untuk aku dan anak-anakku. Tapi, aku masih tahu diri, masih istrimu jadi tidak bisa seenaknya menerima orang lain."

Aku terhenyak. Selama ini dia tahu, lalu aku bertanya, "Kalau tahu, kenapa tidak marah sejak awal? Kalau begitu kita bisa bercerai sejak aku merasa nyaman dengan Adelia!"

"Aku gak mau pengaruhin anak-anak. Ayahku dulu berselingkuh saat aku masih berusia 4 tahun. Dan pertengkaran ibu dan ayahku bertahan di pikiranku sampai sekarang! Semuanya berbekas, aku mau menunggu anak-anakku sedikit lebih besar, baru menyelesaikan semua ini. Namun, karena sudah ketahuan, kita selesaikan saja semuanya sampai di sini."

Lagi-lagi aku terhenyak mendengar jawabannya. Pada detik ini juga aku merasa sangat berdosa dan menyesal. Aku tidak mau bercerai dengan Dinda. Aku meminta maaf padanya.

Sejak hari itu, aku mulai berbenah, aku mulai memperbaiki diri. Namun, walaupun aku sudah memecat Adelia, namun aku tetap tidak bisa menghentikan diriku untuk sesekali menemuinya.

Waktu terus berlalu, sampai tiga hari yang lalu, Dinda menyerahkan berkas gugatan cerai. Sidang akan dilaksanakan minggu depan nanti. Sejak gugatan cerai itu aku terima, sebelum kami benar-benar resmi bercerai, aku mulai sepenuhnya melupakan Adelia. Aku selalu pulang tepat waktu, menghabiskan waktuku bermain dengan anak-anak. Tak lupa mengajak Dinda pergi ke salon untuk perawatan, walaupun selalu ditolak.

Dan puncaknya, pagi ini. Setelah mendengar Dinda berkata pada diriku, "Aku membutuhkan imam yang baik untuk aku dan anak-anak. Orang dulu berkata, kita harus membuang bagian yang busuk sebelum menjalar ke bagian yang lain. Oleh karena itu, mulai malam ini juga aku putuskan seluruh perasaan aku untuk kamu. Menikahlah dengan Adelia, jangan berbuat dosa lagi. Kalau ingin minta maaf, silakan minta maaf pada Tuhan. Cuma Tuhan yang bisa menyembuhkan lukaku sekarang."

Pagi ini, aku kembali beribadah di sepertiga malam. Pagi ini juga, aku tersadar sudah begitu jauh aku melangkah ke jalan yang salah. Aku tak bisa menahan kepergian Dinda. Dinda tetap bersikeras ingin bercerai denganku. Memang benar, kadang kehilangan-lah yang membuat manusia tersadar. Semoga kejadian ini hanya menimpa diriku saja.

END
  Terima kasih sudah membaca novel kami. Untuk menyemangati author agar terus update, jangan lupa share, komen dan klik salah satu iklan di web kami(Hehehe lumayan bisa beli cemilan untuk menemani author nulis XD)  

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Plugin Kapsule Corp

Options

not work with dark mode
Reset
Part of PT. King Alin Jaya