Cerbung by MinHo
Mengisi hari-hari belum tentu mengisi hati.
Mungkin, ungkapan di atas, cocok untuk menggambarkan apa yang terjadi pada beberapa tahun lalu.
Waktu itu, aku, Miranda, tengah disibukan dengan berbagai hal mengenai pekerjaanku. Sampai-sampai banyak orang bilang, aku terlalu sibuk mengejar karirku, sampai lupa untuk mencari tambatan hati. Sebenarnya, soal ini aku tak ingin mencari seseorang untuk mengisi hatiku, hanya karena aku kesepian saja.
Akan tetapi, pemikiran itu tak bertahan lama, sampai suatu sore tiba. Masih ingat jelas di benakku, saat itu kegiatan di kantor berakhir lebih cepat karena akan menghadapi libur nasional yang cukup panjang. Entah angin darimana, tumben sekali aku merasa begitu kesepian. Dan, kesepian ini mengantarkanku pada keisenganku untuk mengunduh sebua aplikasi kencan online. Jujur saja, ini adalah kali pertama diriku menggunakan aplikasi semacam ini.
Sambil menunggu makananku matang, aku mulai melihat-lihat beberapa profil yang muncul di halaman pencarian teman kencanku itu. Aku melihat beberapa foto pria yang menurutku cukup menarik. Tentu saja, dengan parasku yang kupikir lumayan ini (hehehe) mereka yang aku pilih dengan cara geser ke kanan itu, otomatis match denganku. Beberapa dari mereka juga langsung mengirimkan pesan, seperti, “Hi!” “Hallo!” basa basi seperti itu. Aku tak langsung membalas pesan mereka, karena setelah mengetahui banyak yang tertarik dengan profilku, aku malah merasa aplikasi semacam ini sangat biasa saja.
Profil yang muncul di halamanku itu tidak hanya berisi pria saja, melainkan wanita juga termasuk, karena aku mengaturnya agar bisa melihat profil pria dan wanita. Terus terang, aku menilai diriku memang bisexual. Setelah beberapa saat melihat-lihat profil yang bermunculan, aku melihat sebuah profil seorang wanita yang cukup cantik dan menarik. Walaupun dari profil wanita itu, jelas sekali bukan termasuk kriteria yang aku suka, tapi aku tetap geser kanan karena ingin berkenalan dengannya. Nama di profilnya bertuliskan, ‘Tina’. Tak disangka, Tina langsung match denganku, dan Tina langsung mengirimkan pesan basa-basi juga padaku.
Setelah mengobrol singkat di aplikasi itu, kami memutuskan untuk saling bertukar id Line. Kami melanjutkan obrolan kami di Line, bahkan sebelum aku tidur, Tina ingin meneleponku.
“Halo, ada apa ya telepon malam-malam?” tanyaku.
“Suara kamu sexy banget Mir,” ucap Tina.
Kesan pertama yang diberikan Tina, Tina adalah seorang player. Bukan asal-asalan aku berkata seperti ini, karena semasa kuliah, aku belajar tentang psikologi dan perilaku manusia. Jadi, hal-hal dasar seperti ini memang sangat mudah aku tebak. Tapi aku tak langsung menyimpulkan semuanya, aku masih ingin mengenal Tina ini lebih jauh lagi.
Hari libur nasional ini masih tersisa sekitar 5 hari. Selama libur ini, aku memutuskan untuk tetap tinggal di kostan, karena sudah lama sekali aku tidak mengistirahatkan tubuh. Tepat pukul 12 siang, TIna mengajakku bertemu di sebuah kafe yang terletak cukup jauh dari tempat tinggalku. Sekitar 20km jauhnya, tapi tetap bisa diakses menggunakan kereta. Sebelum mengiyakan ajakannya, aku melakukan pengecekan terlebih dahulu tentang siapa Tina ini. Tak usah melakukan hal-hal yang dilakukan oleh para detektif, cukup cari media sosialnya, dan aku bisa dengan mudah melihat apakah Tina ini orang baik-baik saja, atau memang ada maksud lain untuk bertemu denganku. Setelah memastikan semuanya baik-baik saja, aku pun mengiyakan ajakannya. Kami akan bertemu di Kafe A, pukul 7 malam ini.
Aku yang terbiasa mengenakan pakaian rapi, lain dengan kali ini. Aku benar-benar berpakaian santai. Hanya blouse v-neck, dan celana jeans pendek di atas lutut.
Kesan pertamaku tetap tak berubah soal Tina ini. Saat pertama kali berjumpa dengannya, aku bisa melihat jelas bagaimana cara dia menatapku saat pertama melihatku. Namun, untungnya semuanya terselamatkan dengan obroloan kami yang cukup menarik.
Tak terasa, waktu sudah menunjukan pukul 10 malam. Aku tahu, TIna pasti sudah lapar lagi. Aku langsung mengajaknya pergi ke sebuah restoran cepat saji.
Saat waktu sudah menunjukan pukul 11 malam, aku berpamitan untuk pulang, karena takut tertinggal kereta terakhir.
“Makasih ya udah datang ke sini, btw,” Tina mengelus pahaku, “kamu mulus banget.”
Aku agak terkejut, kenapa dia bisa secepat itu melakukan hal semacam itu. Tapi anehnya, bukannya aku kesal, aku malah penasaran, apa yang sebenarnya orang ini cari. Selama aku bisa menjaga diri, aku pikir, aku masih bisa untuk terus berkenalan dengannya.
Bersambung …