Ali tidak kehabisan akal. Dia menarik napas dalam-dalam dan berteriak dengan lantang, “Di sini akan terjadi kebakaran! Tadi aku lihat ada listrik konslet karena ada sarang ular!”
Sebagian orang yang mendengar teriakannya langsung panik dan bergegas meninggalkan lapangan pasar malam. Orang-orang yang melihat kepanikan itu ikut bergerak, meskipun sebagian masih ragu. Massa yang semakin banyak berhamburan keluar membuat yang lainnya juga mulai panik dan meninggalkan area tersebut.
Namun, tidak semua orang percaya. Pengelola wahana permainan, terutama yang mengurus bianglala dan permainan lainnya, mendekati Ali dengan ekspresi marah. “Apa-apaan kamu ini, hah?! Gara-gara kamu, kami bisa rugi besar malam ini!” bentaknya dengan wajah merah padam.
Ali baru hendak menjawab ketika tiba-tiba suara ledakan keras menggema di area pasar malam.
DUAR!
Semua orang terperanjat. Genset di dekat bianglala meledak hebat, membuat tangki solar di sekitarnya ikut terbakar. Api dengan cepat menjalar, menyambar tenda-tenda di sekitarnya. Para petugas pasar malam bergegas mengambil alat pemadam kebakaran, namun api sudah terlalu besar. Asap hitam mengepul tinggi ke langit malam, disertai jeritan orang-orang yang masih ada di dalam area pasar malam.
Sutini, yang melihat kejadian itu dari kejauhan, langsung panik. “Ali! Ali!” teriaknya histeris, berusaha mencari sosok putranya di tengah kepanikan orang-orang yang berlarian menyelamatkan diri.
Di tengah kepungan asap dan api, Ali berlari sekuat tenaga, mencari celah untuk keluar dari area kebakaran. Panasnya api terasa membakar kulitnya, napasnya mulai tersengal karena menghirup asap. Dengan tubuh penuh keringat dan debu, dia terus berjuang.
Saat akhirnya berhasil keluar dari kobaran api, tubuh Ali hampir terjatuh karena lelah. Napasnya terengah-engah, namun matanya langsung mencari ibunya.
“Ali!” Sutini berlari ke arahnya, langsung memeluk erat anaknya dengan air mata mengalir deras. “Syukurlah, kamu selamat…!” isaknya penuh haru.
Ali tersenyum kecil, meskipun tubuhnya masih gemetar. “Aku baik-baik saja, Bu… yang penting kita selamat.”
Di kejauhan, api masih terus berkobar, dan suara sirene pemadam kebakaran mulai terdengar mendekat. Ali menatap kobaran api itu dengan perasaan campur aduk. Dia menyadari bahwa kekuatan yang dimilikinya bukan sekadar anugerah, tetapi juga tanggung jawab besar yang harus ia jaga dengan baik.
Sebelum pulang ke rumah, warga desa yang tadinya memaki Ali kini meminta maaf dan berterima kasih. Termasuk pengurus pasar malam yang sebelumnya marah karena kehilangan pengunjung. Mereka sadar bahwa Ali telah menyelamatkan banyak nyawa dari kebakaran besar.
Sutini memperhatikan tingkah laku putranya. Hari ini ada dua keajaiban yang terjadi seolah Ali bisa meramal masa depan. Dia merasa ada sesuatu yang aneh, tetapi tidak ingin membahasnya di tempat umum. Karena takut ada yang menyadari hal itu juga, Sutini buru-buru mengajak Ali pulang ke rumah.
Di perjalanan pulang, Ali tiba-tiba berpikir bahwa dirinya harus membeli motor untuk kebutuhannya dalam berbisnis. Selama ini, dia hanya mengandalkan sepedanya yang sudah tua. Namun, Sutini ragu dengan rencana itu.
“Ali, ibu takut nanti uangmu habis, kamu masih butuh modal untuk pindah ke Kota Adara,” kata Sutini penuh kekhawatiran.
“Tenang, Bu. Aku hanya pakai tiga juta untuk beli motor bekas. Sisanya tetap aku simpan buat keperluan kuliah nanti,” jawab Ali meyakinkan ibunya.
Keesokan harinya, Ali pergi ke rumah Nando untuk meminta pendapatnya tentang rencana membeli motor. Nando yang paham dunia otomotif bisa membantunya memilih kendaraan yang layak.
“Ali, dari mana kamu dapat uang? Kemarin kamu bilang lagi butuh biaya buat kuliah,” tanya Nando heran.
Ali tersenyum, lalu menjawab, “Aku bisnis bawang merah. Waktu itu aku lihat harganya bakal naik, jadi aku beli duluan dari petani dengan harga murah, terus aku jual lagi saat harga naik. Untungnya lumayan.”
Mata Nando membelalak, “Serius? Wah, kamu jago juga main bisnis! Harusnya aku ikut kamu kemarin!”
Mereka tertawa bersama. Nando kemudian mengajak Ali ke bengkel langganannya yang kebetulan juga menjual motor bekas. Di sana, terparkir tiga motor bebek biasa. Ali melihatnya dengan penuh rasa tak percaya. Dulu, memiliki motor hanyalah impiannya. Kini, dia benar-benar bisa membelinya dengan hasil kerja kerasnya sendiri.
Setelah berbicara dengan pemilik bengkel, mereka mengetahui bahwa harga motor paling murah di sana adalah 3,5 juta. Ali berpikir sejenak, lalu tanpa ragu langsung membeli motor itu. Dia merasa ini adalah langkah awal menuju kehidupan yang lebih baik.
Beberapa hari berlalu dengan tenang dan menyenangkan. Ali mulai berbisnis sayuran dengan lancar. Tak terasa, dalam satu minggu sudah terkumpul lagi uang sekitar 20 juta rupiah.
Siang itu, Ali seperti biasa menemani ibunya berjualan di pasar. Setelah selesai berjualan, Sutini dan Ali sudah siap pulang ke rumah.
Namun, tiba-tiba terdengar suara teriakan dari arah lapak pengepul sayuran. Bang Abrar, seorang pengepul yang sering membeli hasil panen dari para petani, melabrak Ali dengan wajah merah padam.
“Hei, Ali! Kamu jangan mengambil sayuran dari petani-petaniku!” serunya dengan nada tinggi.
Ali tidak langsung tersulut emosi. Dengan tenang, dia menjawab, “Bang, rezeki sudah ada yang atur. Semua orang punya hak untuk berdagang.”
Abrar tidak terima dengan jawaban itu. Dia merasa bisnisnya semakin merosot karena petani lebih memilih menjual hasil panennya kepada Ali daripada kepadanya. Dengan penuh amarah, Abrar melambaikan tangannya, memanggil anak buahnya.
Tanpa peringatan, anak buah Abrar langsung menghampiri Ali dan mulai memukulinya. Ali berusaha melindungi dirinya, tapi jumlah mereka lebih banyak. Sutini panik, menangis dan berusaha melerai perkelahian itu, tapi tubuh kecilnya tidak mampu menahan para pria kasar itu.
Saat situasi semakin genting, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki mendekat. Seorang gadis cantik dan anggun berjalan dengan penuh wibawa ke arah mereka. Semua orang yang melihatnya langsung terdiam.
Gadis itu berdiri di antara Ali dan para preman yang tengah memukulinya. Dengan tatapan tajam, dia berkata, “Berhenti!”
Wajah Bang Abrar dan anak buahnya seketika pucat. Mereka menelan ludah, saling berpandangan dengan kebingungan dan ketakutan. Dengan suara gemetar, mereka bergumam, “Non… Non…”
Melihat gadis itu berdiri di antara mereka, Bang Abrar langsung sadar bahwa dirinya tidak bisa lanjut memberi pelajaran pada Ali. Tidak ingin kehilangan muka, dia melirik sekitar dan menemukan ponsel Ali yang terjatuh di tanah. Dengan tatapan tajam, Bang Abrar mengambil ponsel itu dan membantingnya keras ke aspal. Suara retakan terdengar jelas, layar ponsel itu kini pecah berantakan.
“Sekarang, kau tidak akan bisa menghubungi distributor sayuran itu lagi,” ucapnya dingin sebelum berbalik pergi bersama anak buahnya.
Sutini segera berlari menghampiri Ali yang masih terbaring di tanah. Wajah putranya memar, mata kirinya bengkak, dan darah segar mengalir dari ujung bibir serta hidungnya. Dengan panik, Sutini mengangkat kepala Ali ke pangkuannya, tangannya gemetar menyentuh wajah putranya yang babak belur.
Sementara itu, gadis yang tadi melindungi Ali berjalan mendekat. Dengan ekspresi tenang, ia mengeluarkan sapu tangannya yang bersih dan lembut, lalu menyerahkannya pada Ali. “Lain kali lebih hati-hati,” ujarnya dengan suara lembut namun penuh ketegasan. “Dunia bisnis itu jahat.”
Ali menatap gadis itu, ingin mengucapkan terima kasih, tapi sebelum sempat berkata apa pun, terdengar suara dari kejauhan.
“Non, cepat! Bapak sudah menunggu di rumah.”
Suara itu berasal dari seorang pria berpakaian rapi yang berdiri di dekat mobil jeep hijau tua. Gadis itu mengangguk kecil dan tanpa berkata apa-apa lagi, ia berbalik menuju mobilnya.
Ali hanya bisa menatap punggungnya yang semakin menjauh, sementara di tangannya masih tergenggam sapu tangan putih milik gadis misterius itu.