Anton menatap Sutini dengan mata berkaca-kaca. Suasana ruang tamu terasa berat, seolah udara menjadi lebih dingin.
“Sutini, aku mau pulang…” suara Anton terdengar serak, seperti menahan sesuatu.
Namun, kali ini, Sutini tidak lagi takut. Ia maju ke depan, menatap Anton dengan penuh ketegasan.
“Kamu tidak punya rumah di sini lagi, Anton. Aku sudah gugat cerai sejak kamu di penjara. Kita sudah bukan suami-istri lagi.”
Anton terdiam, wajahnya yang semula keras mendadak berubah. Ia berdiri, gerakannya membuat Ali langsung sigap melangkah ke depan, melindungi ibunya.
Tapi yang terjadi justru di luar dugaan.
Anton tiba-tiba menunduk, lalu bahunya bergetar. Tangisnya pecah, air matanya jatuh begitu saja.
“Aku… aku minta maaf…” suaranya lirih, tapi tulus. “Aku sudah menyia-nyiakan kalian. Aku bukan suami yang baik, bukan ayah yang pantas. Masuk penjara membuat aku sadar, semua ini salahku.”
Ali menatapnya tajam. Dalam benaknya, muncul kecurigaan: apakah ayahnya berubah karena sudah tahu bahwa kini dirinya punya uang? Tapi ia segera menepis pikiran itu.
Anton merogoh saku jaket lusuhnya, mengeluarkan selembar uang.
“Ini…” katanya, menyerahkan uang sepuluh juta rupiah kepada Ali. “Gunakan untuk kuliahmu.”
Ali sempat terkejut.
“Uang dari mana?” tanyanya, masih waspada.
Anton menghela napas panjang. “Aku dapat warisan dari kakekmu. Lima puluh juta. Empat puluh jutanya sudah kubayarkan untuk utang dan biaya jaminan. Sisanya ini… untukmu.”
Sutini menggigit bibirnya, menahan emosinya. Anton menoleh ke arahnya, matanya kembali berkaca-kaca.
“Tini… kamu yakin mau cerai? Kamu nggak mau memaafkanku?” tanyanya penuh harap.
Sutini menggeleng tegas. “Aku sudah memaafkanmu, Anton. Tapi aku tidak bisa hidup dalam bayang-bayang trauma itu lagi. Terima kasih kalau kamu memang sudah berubah, tapi aku tetap akan melanjutkan hidupku tanpa kamu.”
Anton menutup matanya sejenak, lalu mengangguk pelan. “Baiklah. Kalau itu keputusanmu, aku terima.”
Ia melangkah menuju kamar, mengambil tas berisi beberapa potong pakaian.
Ali, Sutini, dan Nando hanya bisa diam melihatnya.
Sebelum keluar, Anton menatap Ali sekali lagi. “Ali, aku bangga padamu. Jaga ibumu baik-baik.”
Lalu, tanpa banyak kata lagi, Anton melangkah keluar dari rumah itu. Malam itu, ia pergi… meninggalkan masa lalunya di belakang.
Sutini dan Nando memperhatikan Ali yang tampak begitu tenang, seolah-olah tidak ada yang mengganggu pikirannya. Namun, di lubuk hatinya, Ali masih bimbang. Ia ingin memaafkan Anton, tapi ada rasa takut yang menahannya. Apakah ayahnya benar-benar berubah? Atau ini hanya kepura-puraan semata? Bagaimanapun, Anton dulu memperlakukan dirinya dan ibunya dengan sangat buruk. Luka yang ditinggalkan terlalu dalam untuk bisa sembuh dalam semalam.
Seminggu berlalu sejak kejadian itu, dan urusan peternakan Ali sudah selesai. Pagi itu, ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Andini muncul di layar.
“Ali, kapan kamu main ke rumahku? Ayah terus menanyakan kamu.”
Ali tersenyum membaca pesan itu. Ia langsung membalas, “Sekarang aku akan ke sana.”
Setelah mengirim pesan, Ali segera bersiap. Ia memanaskan motor trail hitamnya, lalu memilih pakaian yang rapi. Bagaimanapun, rumah Andini adalah kediaman bupati. Tidak mungkin ia datang dengan pakaian seadanya.
Setelah memastikan dirinya tampil pantas, Ali pun berangkat. Jalan menuju rumah Andini tidak terlalu jauh, namun sepanjang perjalanan, dadanya terasa berdebar. Ini pertama kalinya ia datang ke rumah seseorang yang begitu berpengaruh di Halmora.
Sesampainya di depan rumah besar itu, seorang satpam langsung menghampiri.
“Mas Ali, silakan parkir di sini. Nona Andini sudah menunggu di dalam.”
Ali mengangguk dan mengikuti arahan satpam. Ia memarkirkan motornya dengan hati-hati, lalu berjalan menuju pintu masuk rumah. Saat itulah matanya tertuju pada sosok yang berdiri di depan pintu.
Andini.
Ia mengenakan dress bunga-bunga berwarna pastel, tampak begitu anggun dengan rambutnya yang terurai rapi. Tatapan matanya lembut, dan senyum kecil terukir di bibirnya.
Ali terpukau sesaat, lalu tersadar dan segera menghampiri Andini.
“Ali, akhirnya kamu datang juga,” kata Andini dengan senyum cerah.
Ali mengangguk, menatap sekeliling rumah megah itu.
“Ya, aku nggak mau mengecewakan Pak Ratman. Katanya beliau mau bertemu denganku?”
“Iya, ayah ada di dalam. Ayo, masuk,” Andini mempersilakan.
Ali melangkah masuk ke dalam rumah, dan di sana, Pak Ratman sudah menunggu di ruang tamu. Begitu melihat Ali, pria itu tersenyum dan berdiri.
“Ali, akhirnya kamu datang juga. Ayo, duduk,” ujar Pak Ratman ramah.
Ali sedikit gugup, tapi tetap menjaga ketenangannya. Hari ini, ia harus memberi kesan yang baik di hadapan orang yang bisa menentukan masa depannya dengan Andini.
Setelah Pak Ratman meninggalkan mereka di ruang tamu, Andini dan Ali mulai mengobrol santai. Awalnya, mereka hanya membahas hal-hal ringan, tetapi lama-kelamaan pembicaraan menjadi lebih serius.
“Jadi, Andini, apa rencana masa depanmu?” tanya Ali, menatap gadis itu dengan penuh ketertarikan.
Andini tersenyum dan dengan penuh semangat menjawab, “Aku kuliah bisnis karena ingin bekerja di perusahaan internasional dulu. Setelah itu, kalau sudah cukup pengalaman, aku ingin punya bisnis sendiri.”
Ali tertegun. Bukan hanya paras Andini yang mempesona, tetapi juga cara berpikirnya yang matang. “Keren banget. Kamu bukan cuma cantik, tapi juga punya visi yang jelas.”
Andini tersenyum malu, lalu menatap Ali. “Kalau kamu sendiri? Mau jadi peternak ayam selamanya?”
Ali tertawa kecil. “Peternakan ini baru langkah awal. Aku juga masih belajar saham, bisnis, dan banyak hal lainnya. Aku ingin berkembang, bukan cuma sukses sendiri, tapi bisa bantu orang lain juga.”
Tak terasa, matahari mulai condong ke barat. Waktu berlalu begitu cepat. Ali pun berpamitan kepada Pak Ratman dan ibu Andini. Namun, sebelum benar-benar pergi, dia berhenti sejenak, menarik napas dalam, lalu berbalik menemui Pak Ratman lagi.
Dengan sedikit gugup, Ali berkata, “Pak, saya tahu ini mungkin terdengar lancang. Tapi… tolong jangan jodohkan Andini dengan siapa pun dulu. Beri saya waktu untuk menyelesaikan pendidikan dan pekerjaan saya. Saya ingin memantaskan diri untuk Andini.”
Pak Ratman menatap Ali dengan mata penuh arti. Kemudian, ia tersenyum bijak dan menepuk bahu Ali. “Rezeki, maut, dan jodoh sudah diatur oleh yang Mahakuasa. Kalau kamu yakin, buktikan dengan usaha. Kamu harus semangat.”
Ali merasa lega sekaligus semakin termotivasi. Dengan senyum yang semakin mantap, ia mengangguk hormat dan akhirnya pergi dari rumah itu, membawa tekad baru dalam hatinya.
Sudah seminggu sejak kepergian Anton, tapi tidak ada tanda-tanda kehadirannya lagi di rumah. Tidak ada kabar, tidak ada gangguan. Meski begitu, Ali tetap merasa gelisah. Ayahnya bukan tipe orang yang mudah menyerah, dan ia khawatir Anton hanya sedang menyusun rencana lain.
Sore itu, sambil duduk di teras rumah, Ali memutuskan menelepon Pak Salam, sahabat ayahnya.
“Halo, Pak Salam, ini Ali. Saya mau tanya… Bapak ada kabar tentang ayah saya?”
Di seberang telepon, terdengar suara napas berat Pak Salam sebelum menjawab, “Ali, saya juga nggak tahu banyak. Sejak hari bebas itu, Anton pergi ke kota. Dia cuma bilang ingin memulai hidup dari awal, memperbaiki diri untuk bisa kembali ke ibumu.”
Ali terdiam. Ia tidak tahu harus percaya atau tidak. “Jadi, bapak nggak tahu dia ada di mana sekarang?”
“Nggak, Ali. Sejak hari itu, dia nggak pernah menghubungi saya lagi.”
Ali menghela napas. Jika benar ayahnya ingin berubah, itu bagus. Tapi, jika ini hanya permainan lain, dia harus bersiap. Bagaimanapun juga, yang paling penting adalah melindungi ibunya.