Waktu berlalu begitu cepat. Dua bulan terasa seperti sekejap mata. Ali dan Sutini sedang sibuk di peternakan mereka, memanen telur-telur yang melimpah.
Sutini mengusap keringat di dahinya sambil tersenyum puas. “Ali, seminggu ini telurnya banyak sekali. Kita untung banyak.”
Ali ikut tersenyum, melihat usaha mereka akhirnya membuahkan hasil. Namun, ada hal yang mengganjal di hatinya. Ia menatap ibunya dan bertanya dengan hati-hati, “Bu, kalau aku pergi kuliah ke Adara, ibu bakal baik-baik saja di sini?”
Sutini menoleh ke arah Ali, raut wajahnya lembut. “Tentu saja, Nak. Ibu nggak sendirian. Sekarang ada tiga karyawan yang bantu. Ibu nggak bakal kesepian atau kerepotan.”
Ali mengangguk, sedikit lebih tenang. Hari kepergiannya pun tiba. Dengan berat hati, ia berpamitan kepada ibunya. Sutini mengantarnya sampai ke mobil, menahan haru tapi tetap tersenyum. “Jaga diri baik-baik, Ali. Jangan terlalu sibuk sampai lupa makan.”
Ali memeluk ibunya erat. “Iya, Bu. Aku janji akan sering pulang.”
6 Bulan Kemudian…
Libur semester akhirnya tiba. Ali sudah tidak sabar untuk kembali ke Halmora. Ia berjalan menuju mobil yang baru saja ia beli beberapa bulan lalu untuk memudahkan perjalanan pulang.
Namun, baru saja hendak masuk ke dalam mobil, matanya menangkap sosok seorang bapak tua yang tergeletak di pinggir trotoar. Tubuhnya tampak lemah, wajahnya pucat.
Ali bergegas mendekat, membantu orang itu duduk bersandar di bangku terdekat. Namun, saat wajah lelaki itu lebih jelas terlihat, jantung Ali seakan berhenti sesaat.
Itu Anton. Ayahnya.
Ali tertegun. Ayahnya tampak jauh lebih kurus dan lusuh dibandingkan terakhir kali ia melihatnya. Tanpa pikir panjang, Ali mengangkat tubuh ayahnya dan membawanya masuk ke dalam mobil. Ia menginjak pedal gas dalam-dalam, melaju secepat mungkin ke rumah sakit.
Sesampainya di rumah sakit, perawat langsung membawa Anton ke IGD.
“Dengan keluarga Pak Anton?” tanya perawat.Ali tersenyum lemas dan menjawab, “Ya, betul. Saya anaknya. Kondisi ayah saya bagaimana?”
“Tunggu dokter yang menjelaskan ya, dokter sedang ke sini,” jawab perawat.Tak jauh dari sana, ada keluarga pasien yang melihat ke arah Ali dan berbincang dengan orang di sampingnya.
“Anaknya kelihatan rapi dan kaya, kok bisa ayahnya seperti pemulung begitu?”
Ali tak memedulikan ucapan orang, hanya dirinya dan orang terdekatnya saja yang tahu apa yang sebenarnya terjadi.Tak lama kemudian, dokter pun datang dan langsung berkata ke intinya.
“Pak Ali, kondisi Pak Anton ini sudah hernia parah, harus secepatnya dioperasi. Apa Pak Anton ada asuransi?” tanya dokter.Tanpa banyak berpikir, Ali berkata, “Nggak ada asuransi Dok, langsung operasi saja pakai pelayanan umum.”Ali pun langsung menandatangani surat persetujuan operasi dan menyelesaikan biayanya.
Sambil menunggu proses operasi, Ali pergi ke mall terdekat untuk membelikan baju.
Setelah pulang dari mall dengan membawa pakaian dan makanan untuk ayahnya, Ali berjalan kembali ke kamar rumah sakit. Ia menghela napas panjang sebelum membuka pintu. Perasaannya campur aduk.
Saat masuk ke dalam, Ali melihat Anton sudah sadar dari bius pasca operasinya. Tubuh pria itu masih lemah, tetapi matanya terbuka, menatap langit-langit dengan kosong. Lalu, tanpa diduga, air mata mengalir di pipinya.
“Ali… pergi dari sini…” suara Anton bergetar, hampir seperti bisikan.
Ali terdiam di ambang pintu.
Anton menoleh perlahan, menatap putranya dengan mata yang dipenuhi penyesalan. “Aku ini bukan ayah yang pantas ditolong… Aku udah menyakitimu, menyakiti ibumu… Aku nggak layak menerima bantuanmu.”
Tangannya gemetar saat ia berusaha menghapus air matanya sendiri. “Tinggalkan aku, biarkan aku menerima semua akibat dari kesalahanku…”
Ali menggenggam erat kantong belanjaan di tangannya. Melihat Anton seperti ini, hatinya bergejolak. Ia ingin berkata bahwa semuanya sudah dimaafkan, tetapi jauh di lubuk hatinya, trauma itu masih ada. Ingatan akan malam-malam penuh ketakutan, suara ibunya menangis kesakitan, dan bahkan saat ibunya hampir meninggal dulu semua itu masih melekat.
Namun, Ali menekan perasaannya. Ia menarik kursi, duduk di samping tempat tidur ayahnya, lalu berkata singkat, “Istirahat saja dulu, Pak.”
Tanpa menunggu jawaban, Ali berdiri dan mulai membuka kantong belanjaannya, mengeluarkan pakaian bersih dan makanan yang sudah ia beli. Ia tidak ingin bertukar banyak kata. Bukan karena ia tidak peduli, tetapi karena ia sendiri belum siap untuk menghadapi perasaannya sendiri.
Seminggu kemudian, Anton akhirnya diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Ali menjemputnya dengan mobilnya. Sepanjang perjalanan, keduanya terdiam cukup lama.
Ali melirik Anton yang duduk di sampingnya, masih tampak lemah. Setelah beberapa saat, Ali akhirnya bertanya, “Bapak tinggal di mana sekarang?”
Anton terdiam sebentar sebelum menjawab, “Aku ngontrak, kecil saja… cukup buat tidur.”
Ali mengangguk pelan, lalu kembali bertanya, “Selama ini, Bapak ngapain aja?”
Mendengar pertanyaan itu, Anton terisak. Tangannya mengepal di atas lutut. “Maaf, Ali…
Maaf… Aku nggak pantas duduk di sini, nggak pantas dapat bantuan darimu… Aku harus pergi!”
Anton berusaha membuka pintu mobil, ingin melarikan diri. Tapi Ali dengan sigap menarik lengannya, menahannya agar tetap duduk. “Jangan kabur, Pak. Bicaralah,” kata Ali dengan suara tegas.
Anton gemetar, napasnya tersengal. Setelah beberapa kali bujukan dari Ali, akhirnya dia mulai bicara.
“Setelah keluar dari penjara, aku sadar, aku bukan siapa-siapa. Aku nggak punya keluarga, nggak punya uang, nggak punya harga diri. Aku menyalahkan diriku sendiri setiap hari,” ucap Anton dengan suara bergetar. “Aku mengasingkan diri, bekerja serabutan, berusaha cari cara buat nebus semua kesalahanku. Aku cuma kepingin bantu kuliahmu… setidaknya, aku masih bisa melakukan sesuatu buatmu.”
Ali tetap diam, mendengarkan.
Anton melanjutkan, “Tiga bulan lalu, aku dapat kabar dari temanku… Dia bilang, kamu sudah sukses, sudah mapan. Aku nggak tahu harus senang atau sedih… Aku bersyukur, tapi di saat yang sama, aku semakin sadar kalau aku sudah nggak ada gunanya lagi buat kamu dan ibumu…” Anton mengusap wajahnya yang basah oleh air mata. “Mungkin ini jawaban Tuhan… atas semua penderitaan yang sudah aku buat untuk kalian.”
Ali menggenggam setir erat, pikirannya campur aduk. Akhirnya, dia menarik napas panjang dan berkata, “Ayo pulang ke Halmora, Pak.”
Anton menoleh, matanya membesar. “Aku nggak bisa…”
“Aku nggak bilang kamu tinggal sama Ibu,” potong Ali cepat. “Tapi setidaknya, kembalilah. Jangan terus kabur dari masa lalu.”
Anton tidak bisa berkata-kata lagi. Ia hanya mengangguk pelan.
Begitu mobil Ali memasuki halaman rumah di Halmora, Sutini yang sedang menyapu halaman langsung tersenyum lebar melihat putranya pulang lebih cepat dari yang ia duga.
“Ali! Kenapa nggak bilang mau pulang?” serunya dengan bahagia.
Namun, senyumnya seketika pudar saat melihat sosok Anton duduk di kursi samping mobil Ali. Matanya membesar, sapu di tangannya nyaris terjatuh.
Ali keluar dari mobil dan segera menjelaskan, “Bu, aku ketemu Bapak di kota. Dia sakit, aku bawa dia berobat. Dia nggak punya tempat lagi.”
Sutini menatap Anton lekat-lekat. Matanya berkaca-kaca, penuh dengan emosi yang sulit dijelaskan.
Anton menunduk dalam-dalam. “Maaf, Sutini…” katanya pelan.
Sutini menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Lalu, dengan suara yang lembut tapi tegas, ia berkata, “Aku nggak bisa membencimu terus, Anton. Tapi aku juga nggak bisa pura-pura semua baik-baik saja.”
Ali dan Anton menunggu dengan cemas apa yang akan dikatakan Sutini selanjutnya.
Akhirnya, Sutini melanjutkan, “Kamu boleh tinggal di Halmora, tapi nggak di rumah ini. Aku nggak mau ada fitnah. Aku nggak bisa menerima kamu sebagai suami lagi… tapi aku nggak akan mengusirmu.”