Setelah memastikan Anton mendapatkan tempat tinggal di ruko miliknya dekat pasar, Ali akhirnya kembali ke rumah dan menemui ibunya. Sutini sedang menyiapkan makan malam saat Ali mendekatinya dengan sedikit ragu.
“Bu, maaf ya, aku tiba-tiba bawa Bapak ke sini,” kata Ali dengan nada menyesal.
Sutini tersenyum tipis, lalu menatap putranya dengan penuh kasih sayang. “Ali, aku ini nggak ada hubungan darah dengan Anton. Kalau aku tega sama dia, itu karena aku memang bisa. Tapi kamu beda. Bagaimanapun, Anton itu ayah kandungmu. Aku tahu kamu nggak akan bisa setega aku.”
Ali terdiam, lalu mengangguk pelan. Kata-kata ibunya benar. Sebenci apa pun dia pada Anton, tetap saja ada ikatan darah di antara mereka.
Setelah beberapa saat, Ali mengusap wajahnya, lalu berkata, “Bu, aku nggak mau ganggu bisnis kita yang sudah jalan, jadi aku minta izin untuk kasih modal ke Bapak. Aku kepikiran kasih dia usaha biar dia nggak kesulitan lagi.”
Sutini meletakkan piring yang sedang dipegangnya, lalu menatap Ali serius. “Kamu yakin? Kamu nggak takut dia balik lagi ke kebiasaan lamanya?”
Ali menghela napas panjang. “Makanya aku nggak mau kasih begitu saja. Aku cuma mau dia jalankan bisnis itu, tapi tetap harus setor ke aku. Jadi kalau dia mulai aneh-aneh, aku bisa ambil alih lagi.”
Sutini berpikir sejenak, lalu mengangguk. “Baiklah. Tapi jangan kasih usaha yang terlalu berat. Aku setuju kalau dia pegang jasa pengiriman saja. Itu nggak terlalu sulit, dan dia nggak punya alasan buat macam-macam.”
Ali tersenyum, merasa lega karena ibunya setuju dengan idenya. “Terima kasih, Bu. Aku cuma mau coba kasih dia kesempatan sekali lagi.”
Sutini tersenyum lembut. “Aku tahu, Ali. Dan aku harap kali ini dia nggak menyia-nyiakan kesempatan itu.”
Sampai saat ini, Ali masih sesekali menggunakan kekuatannya untuk melihat masa depan, tetapi dia sangat berhati-hati agar tidak terlalu bergantung padanya. Dia sadar, jika terlalu sering menggunakannya, dia bisa kehilangan insting bisnis dan kemampuannya mengambil keputusan secara alami.
Enam bulan kembali berlalu, bisnis Ali semakin maju, sahamnya terus meningkat, dan dia kini memiliki banyak karyawan serta orang kepercayaan. Namun, ada satu hal yang masih membuatnya belum sepenuhnya tenang. Kehadiran Anton di dekat ibunya. Meski begitu, sejauh ini Anton berperilaku baik, bahkan sangat jujur dan terbuka dalam mengelola bisnis jasa pengiriman yang dipercayakan kepadanya.
Suatu pagi, saat sedang libur semester, Ali pulang ke Halmora. Kebetulan, Nando juga sedang libur dan kembali ke kampung halamannya. Mereka memutuskan untuk berjalan-jalan di peternakan Ali, menghirup udara segar sambil melihat ayam-ayam yang berkeliaran di kandang.
“Ali, aku masih nggak percaya kamu bisa sejauh ini,” kata Nando sambil menyandarkan tangannya ke pagar kandang. “Dulu kamu cuma peternak biasa yang baru belajar saham, sekarang kamu udah jadi pengusaha besar.”
Ali tersenyum kecil, “Kamu juga nggak kalah sukses, Nando. Kalau bukan karena usaha kamu sendiri, modal dari aku dulu nggak akan ada artinya. Aku cuma kasih jalan, tapi kamu yang bikin semuanya jadi besar.”
Nando menghela napas panjang, lalu menepuk bahu Ali. “Aku tetap harus berterima kasih. Kalau kamu nggak ajarin aku bisnis dan saham, aku masih jadi mahasiswa biasa yang tiap bulan nunggu kiriman dari orang tua.”
Ali terkekeh. “Yang penting sekarang kita udah bisa mandiri. Aku cuma pengen semua orang di sekitar aku bisa sukses juga. Hidup nggak enak kalau cuma kita sendiri yang di atas.”
Nando tersenyum puas. “Kamu emang beda, Li. Aku bangga bisa jadi sahabat kamu.”
Waktu terus berlalu, tanpa terasa empat tahun telah berlalu sejak perbincangan itu. Ali kini telah menyelesaikan pendidikannya dan kembali ke Halmora dengan banyak pengalaman dan ilmu baru. Peternakan dan bisnisnya semakin besar, dan kini dia bukan hanya seorang pengusaha, tetapi juga seorang investor sukses yang dikenal di berbagai kalangan. Namun, di balik semua pencapaiannya, ada satu hal yang masih menggantung di hatinya, ke mana langkah selanjutnya akan membawanya?
Hari yang dinanti-nanti akhirnya tiba. Hari wisuda Ali.
Pagi itu, Ali mengenakan jas hitam yang sangat rapi, kemeja putih bersih, dan dasi yang terikat sempurna. Ia berdiri di depan cermin, menghela napas panjang, mengingat perjalanan panjang yang telah ia lalui. Hari ini bukan hanya tentang gelar yang diraihnya, tetapi juga tentang perjuangan dan pengorbanan yang akhirnya membuahkan hasil.
Di hotel tempat Sutini dan Anton menginap, Anton menghampiri Ali.
“Ali…” suara Anton bergetar, matanya berkaca-kaca. “Terima kasih… terima kasih karena tidak memilih menyerah saat ayah membuatmu dan ibumu menderita dulu.”
Ali menatap ayahnya, lalu tersenyum tipis. “Pak, semua sudah berlalu. Yang penting sekarang kita sudah di sini, bersama. Hidup kita jauh lebih baik.”
Anton mengangguk, lalu menyeka air matanya. “Ayah tidak pernah membayangkan bisa melihatmu di titik ini. Ayah bangga, bangga sekali.”
Ali terdiam sejenak, lalu menatap Anton dan Sutini bergantian. “Pak, Bu… bagaimana kalau kita naik haji bersama?”
Sutini langsung tersenyum cerah, matanya berbinar-binar. “Ya Allah, Ali, ibu senang sekali mendengarnya! Ibu selalu bermimpi bisa naik haji suatu hari nanti.”
Namun, Anton hanya diam, air matanya kembali mengalir. Ali menatap ayahnya dengan bingung.
“Kenapa, Pak? Ada yang salah?”
Anton menggeleng pelan. “Tidak, tidak ada yang salah. Ayah hanya… terharu. Ayah tidak pernah membayangkan akan mendapatkan kesempatan ini.”
Lalu, dengan suara penuh keraguan, Anton berkata, “Ali… sebelum kita naik haji, boleh ayah bertanya sesuatu?”
Ali mengernyitkan dahi. “Tentu, Pak. Apa itu?”
Anton menoleh ke arah Sutini dengan wajah penuh harap. “Apa kamu mau rujuk lagi dengan ayah? Kita dulu bercerai masih talak satu. Jika kamu bersedia, ayah ingin menebus semua kesalahan ayah dengan menjadi suami yang baik.”
Ali terkejut. Ia tidak pernah menyangka Anton akan mengungkapkan hal ini. Tetapi yang lebih mengejutkan lagi, tanpa ragu, Sutini tersenyum lembut dan menjawab, “Ya, aku bersedia.”
Ali tercengang. “Ibu yakin?”
Sutini mengangguk. “Beberapa tahun ini bapakmu sudah membuktikan perubahan sikapnya. Aku percaya, dia bukan orang yang sama seperti dulu.”
Anton langsung menundukkan kepala, menangis haru. “Terima kasih, Sutini… terima kasih…”
Hari itu menjadi hari yang lebih berharga bagi Ali. Ia bukan hanya merayakan kelulusan, tetapi juga menyaksikan keluarganya bersatu kembali.
Setelah prosesi wisuda selesai, Ali keluar dari aula bersama keluarganya. Di luar, Nando, Andini, dan kedua orang tuanya datang membawa bunga. Ali tersenyum, tidak menyangka Andini akan hadir di hari spesialnya.
Namun, Ali tidak langsung menyapa Andini. Ia malah berjalan lurus ke arah Pak Ratman, ayah Andini, dan dengan penuh keyakinan berkata, “Pak, saya ingin meminang Andini.”
Pak Ratman tersenyum bijak. “Itu semua terserah Andini.”
Ali menoleh ke Andini, menanti jawabannya. Namun, Andini justru tersenyum jahil.
“Aku mau menikah kalau sudah selesai S2 dan punya bisnis sendiri,” kata Andini santai.
Ali terdiam, hatinya agak sedih. “Andini, meskipun kita sudah menikah, aku tetap akan mendukung pendidikan dan karirmu. Itu janjiku.”
Melihat ekspresi pasrah Ali, Andini malah tertawa kecil. Lalu, dengan senyum menggoda, ia berkata, “Baiklah, kita bisa menikah secepatnya… asalkan kamu tetap memegang janjimu tadi!”
Ali langsung tersenyum lega. “Aku pasti pegang janji itu, Andini.”
Nando yang melihat momen itu hanya bisa tertawa dan bertepuk tangan. “Ali, selamat! Akhirnya kamu juga berhasil!”
Hari itu menjadi hari yang tidak akan pernah dilupakan Ali. Ia telah mencapai banyak hal, kelulusannya, keluarganya yang kembali utuh, dan cintanya yang akhirnya mendapat jawaban. Semua perjuangannya selama ini benar-benar tidak sia-sia.