DDBG Bab 5

DDBG Bab 5
5
(2)

Aku bahkan belum sempat mencerna bisikan Ardi, ketika beberapa perempuan desa menghampiriku. Mereka tersenyum, tapi gerakannya tegas, seolah tidak memberi pilihan.

“Silakan, Nona, ikut kami dulu,” kata salah satu dari mereka dengan bahasa Indonesia patah-patah.

Aku melirik Ardi, panik. “Apa ini? Kenapa aku harus ikut mereka?”

Ardi hanya mengangguk singkat. “Tenang, Chel. Itu bagian dari adat. Kamu harus menghormati.”

Aku hendak menolak, tapi tanganku sudah ditarik lembut tapi kuat. Aku dibawa ke sebuah ruangan kecil di belakang rumah besar itu. Aroma kayu basah dan dupa memenuhi udara. Di sana sudah tergantung pakaian adat lengkap, kain panjang berwarna merah marun, kebaya sederhana, serta perhiasan kuningan yang terlihat berat.

Salah satu perempuan mendekat, mulai membuka kancing blusku. “Nggak, tunggu!” Aku menahan tangannya.

Namun, mereka tetap bersikap seolah aku tidak punya pilihan. “Ini tradisi. Kalau mau diterima di sini, harus pakai ini,” ujar yang lain sambil menaruh selendang di pundakku.

Aku gemetar. Jantungku serasa melompat keluar. Pakaian itu indah, tapi entah kenapa terasa seperti simbol belenggu. Aku mencoba menggapai ponsel di tasku, tapi salah satu perempuan segera mengambilnya dan menaruh di meja. “Nanti saja, selesai acara.”

Aku menoleh ke pintu, berharap Ardi muncul dan menghentikan semuanya. Tapi yang kulihat hanya bayangan tubuhnya di luar, berdiri tenang seakan semua ini wajar.

“Ardi! Aku nggak nyaman!” teriakku.

Kain panjang itu sudah terikat di pinggangku, kebaya merah marun melekat di tubuhku, dan mahkota kuningan terasa berat di kepala. Aku berdiri kaku di depan cermin kayu tua, hampir tidak mengenali diriku sendiri.

“Aku nggak mau pakai ini! Aku cuma tamu! Ardi!” suaraku parau, hampir menangis.

Para perempuan desa itu hanya saling pandang, lalu tersenyum tipis. “Ini sudah adat. Semua perempuan yang datang bersama laki-laki harus melalui prosesi,” ujar salah satu dengan nada datar.

Aku mencoba melepas mahkota itu, tapi tanganku segera ditahan. “Tidak boleh. Kalau dilepas, itu pertanda menolak adat,” katanya lagi.

Pintu ruangan terbuka, Ardi masuk. Wajahnya tetap tenang, bahkan ada senyum tipis di bibirnya. “Chel, jangan bikin ribut. Ini cuma simbol penyambutan. Ikuti saja, nanti semua baik-baik aja.”

Aku menatapnya dengan marah. “Ardi, kamu bohong! Ini bukan liburan, kan?!”

Dia tidak menjawab, hanya menghela napas panjang lalu memberi isyarat pada dua perempuan di belakangku.

Sebelum sempat kabur, mereka sudah menggandeng tanganku erat. Aku berusaha menarik diri, meronta, tapi cengkeraman mereka kuat. “Lepaskan! Aku mau pulang!”

Tidak ada yang menggubris. Tubuhku didorong keluar ruangan, melewati lorong kayu sempit yang dipenuhi aroma dupa semakin pekat.

Di ujung lorong, aku melihat cahaya terang dan suara gamelan perlahan terdengar. Suasana ramai menanti di luar sana.

Aku mencoba menghentikan langkahku, kaki menahan di lantai kayu. Tapi dorongan di belakang begitu kuat. Selangkah demi selangkah, aku dipaksa maju.

 

Begitu tirai merah itu terbuka, mataku langsung silau oleh cahaya lampu minyak yang berderet di setiap sudut halaman. Puluhan pasang mata menatapku, seolah aku pusat dari seluruh acara malam ini.

Suara gamelan dipukul pelan, ritmenya lambat tapi menusuk. Beberapa lelaki berbusana adat berdiri di sisi kanan, sementara perempuan-perempuan tua duduk bersila di kiri, wajah mereka serius, tak ada senyum sama sekali.

Aku terhenti di ambang pintu. “Ardi… ini apa?” suaraku nyaris tak terdengar.

Namun tubuhku kembali didorong maju, hingga aku berada tepat di tengah halaman. Seorang pria tua dengan tongkat kayu melangkah mendekat, matanya tajam menusuk. Ia menatapku lama, lalu mengangguk kepada Ardi.

Ardi membalas dengan senyum puas. “Chel, ini cuma adat penyambutan. Jangan takut,” bisiknya di telingaku.

Tapi apa yang kulihat sama sekali tidak seperti penyambutan biasa.

Seorang wanita tua menaruh kendi berisi air bunga di kakiku. Dua perempuan lain mulai memercikkan air itu ke wajah dan bahuku. Aku berusaha menyingkir, tapi genggaman di lenganku terlalu kuat.

“Cukup!” teriakku. “Aku nggak mau ikut ini semua!”

Namun orang-orang justru bertepuk tangan perlahan, seakan teriakan itu bagian dari acara. Seorang pemuda membawa nampan berisi kain putih, lalu diletakkan di hadapanku.

Pria tua tadi mulai berbicara dalam bahasa daerah yang tidak kumengerti. Dari nada suaranya, jelas dia sedang melafalkan semacam doa atau ikrar.

Jantungku berdegup kencang. Aku melirik ke Ardi, berharap ada jawaban. Tapi dia hanya berdiri tenang di sampingku, wajahnya penuh keyakinan.

Dentuman gamelan makin keras, seakan menelan seluruh udara malam itu. Kain putih di hadapanku dibentangkan, bunga ditaburkan, dan dupa mulai mengepul.

Pria tua dengan tongkat berdiri di tengah lingkaran, suaranya lantang bercampur bahasa daerah yang hanya sesekali kupahami. Hingga tiba-tiba dia berhenti, menatap lurus ke arahku dan Ardi.

Dengan suara berat, dia mengucapkan kalimat yang membuat lututku hampir goyah.

“Malam ini… kalian disatukan.”

Tepuk tangan serempak menggema. Perempuan-perempuan desa bersorak lirih, anak-anak menabuh gendang lebih cepat.

Aku menoleh pada Ardi, mencari jawaban, mulutku terbuka ingin protes. Tapi dia hanya berdiri tenang, bibirnya melengkung senyum samar yang tak bisa kutafsirkan.

Tangan seseorang menarik lenganku lebih erat, mendorongku selangkah maju ke depan kain putih.

Dan sebelum sempat bertanya apa-apa, suara gong dipukul keras sekali, memecah malam.

Rate cerita ini yuk Kak!

Click on a star to rate it!

Average rating 5 / 5. Vote count: 2

No votes so far! Be the first to rate this post.

DOSA DI BALIK GAPURA

DOSA DI BALIK GAPURA

Status: Completed Author: Released: 2025
Seorang wanita muda yang mulai jenuh dengan rumah tangganya terjerat dalam perselingkuhan dengan rekan sekantor penuh rayuan. Awalnya hanya pelarian sesaat, namun liburan yang dijanjikan berubah jadi jerat ketika ia justru dibawa ke desa terpencil dengan aturan adat yang keras, hingga terpaksa dinikahkan secara adat tanpa benar-benar rela. Di tengah upayanya mencari jalan keluar, sang suami yang resah akhirnya menemukan jejak istrinya. Pertemuan di desa itu pun jadi titik balik mengejutkan. Antara cinta, pengkhianatan, dan adat yang mengikat, akankah rumah tangga mereka masih bisa diselamatkan?

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Plugin Kapsule Corp

Options

not work with dark mode
Reset
Part of PT. King Alin Jaya