Pintu kayu besar yang jebol masih bergetar. Asap dupa beterbangan, obor berkelip. Semua mata di ruangan menoleh ke arah pintu, termasuk aku. Nafasku tercekat, tubuhku gemetar, air mata mengaburkan pandangan.
Di ambang pintu, berdiri sosok yang sangat kukenal. Jaketnya lusuh, wajahnya penuh debu perjalanan, mata merah menahan amarah dan lelah.
“Dito…” bisikku, nyaris tidak percaya.
Suamiku berdiri di sana.
“Lepaskan istriku,” suaranya menggelegar, menusuk seluruh isi ruangan.
Kepala suku berdiri perlahan, tongkat kayu dihentakkan ke lantai. “Berani sekali kau masuk dengan cara barbar, orang asing. Perempuan ini sudah menjadi bagian adat kami.”
Dito maju, langkahnya mantap. Sorot matanya hanya tertuju padaku. “Dia bukan bagian dari kalian. Dia istriku. Kami menikah sah secara hukum dan agama. Dan aku akan membawanya pulang, malam ini juga.”
Beberapa lelaki desa segera berdiri, tombak mereka terangkat. Suasana mencekam, obor-obor bergoyang diterpa angin dari pintu yang masih terbuka.
Aku menatap Dito, air mataku makin deras. “Dito… maafkan aku…” suaraku pecah, penuh penyesalan.
Dia menoleh sebentar ke arahku, sorot matanya melembut. “Aku datang untukmu, Chel. Biarpun kau salah, aku tidak akan biarkan mereka menyentuhmu.”
Kepala suku terkekeh, tatapannya sinis. “Kau pikir adat bisa dikalahkan hanya dengan cinta? Di sini, adat lebih tinggi dari segalanya. Jika kau berkeras, kau akan menerima hukuman sama seperti perempuanmu.”
Tangan kasar kepala suku meraih rambutku lagi, seolah menantang. Aku meringis, ingin berontak tapi tenaga sudah habis.
“Lepaskan dia!” teriak Dito, maju dua langkah.
Suasana semakin panas. Para perempuan di ruangan terdiam, sebagian berbisik ketakutan. Lelaki desa dengan tombak makin mendekat, mengepung Dito.
Aku menahan napas. Dadaku berdegup kencang. Di antara rasa takut, ada secercah harapan. Dito benar-benar datang menjemputku, menembus desa asing ini.
Tapi tatapan kepala suku penuh kebencian. “Kalau begitu, mari kita lihat… siapa yang lebih kuat. Adat kami… atau tekadmu.”
Obor kembali bergoyang. Tombak-tombak berkilat.
Dan di tengah keributan itu, Dito bersiap menghadapi seluruh desa demi menyelamatkanku.
Suasana di balai desa semakin mencekam. Tombak-tombak terangkat, obor bergetar diterpa angin, dan kepala suku berdiri dengan tatapan penuh amarah.
Dito menatap lurus, suaranya tegas. “Aku akan membawa istriku keluar dari sini. Malam ini juga.”
Lelaki desa mulai maju, tapi tiba-tiba Dito mengeluarkan sesuatu dari tas selempang lusuh yang dibawanya. Sebuah benda kecil berkilat di bawah cahaya obor. Aku terbelalak. Itu pisau lipat miliknya, yang biasanya tersimpan di laci apartemen.
Dito membuka pisaunya, mengarahkannya dengan mantap. “Siapa pun yang mendekat, aku nggak segan melawan.”
Keributan pecah. Para perempuan muda menjerit, beberapa mundur ke sudut ruangan. Lelaki desa yang tadinya percaya diri kini ragu-ragu. Sorot mata Dito tajam, tak ada keraguan sama sekali.
Dalam kebingungan itu, Dito maju cepat ke arahku. Tangannya menepis kasar kepala suku yang masih memegangi rambutku. Aku terlepas, tubuhku jatuh ke pelukan Dito.
“Berdiri, Chel. Kita harus pergi,” katanya singkat.
Aku hampir tak sanggup berjalan, tapi genggamannya kuat menarikku. Kami berlari menembus pintu besar yang jebol tadi. Lelaki desa berteriak di belakang, tapi anehnya, tidak ada yang benar-benar mengejar.
Udara malam menusuk wajahku saat kami melewati halaman. Suara gong berdentum keras, tanda alarm desa, tapi jalanan tetap sepi. Kami berlari menembus jalan setapak, melewati gapura kayu besar yang tadi terasa seperti jeruji.
Jantungku berdegup kencang, tapi yang lebih aneh adalah betapa mulusnya semua ini. Tidak ada perlawanan berarti, tidak ada orang yang benar-benar menghadang.
Akhirnya kami berhenti di tepi hutan kecil. Nafasku terengah, tubuhku lemah, tapi aku masih bisa menoleh ke arah Dito dengan mata penuh tanya.
“Dito… kenapa bisa semudah itu? Desa tadi dijaga ketat. Waktu aku coba kabur, mereka langsung tangkap. Tapi sekarang… seolah-olah mereka membiarkan kita pergi.”
Dito hanya menatapku, napasnya berat karena berlari. Senyum tipis muncul di bibirnya, samar di bawah cahaya bulan.
“Aku sudah punya caraku sendiri, Chel. Yang penting, sekarang kamu selamat bersamaku.”
Kami terus berjalan cepat menembus hutan kecil sampai akhirnya tiba di sebuah lahan kosong. Di sana terparkir sebuah mobil sewaan, lampunya redup tertutup dedaunan. Aku menatap Dito dengan terkejut.
“Kamu… parkir di sini?” tanyaku terengah.
Dito hanya membuka pintu mobil tanpa menjawab. “Masuk.”
Aku menurut, duduk di kursi penumpang dengan tubuh masih gemetar. Mesin dinyalakan, mobil melaju menembus jalan tanah, lalu kembali ke jalan aspal yang sunyi. Malam terasa begitu panjang, tapi suara mesin mobil jadi satu-satunya yang menemani kami.
Aku melirik ke arah Dito. Wajahnya kaku, rahang mengeras, sorot matanya lurus ke depan. Tidak ada kata-kata keluar dari bibirnya. Dito yang biasanya penuh kesabaran kini seperti patung, dingin dan jauh.
Aku ingin bicara, ingin berterima kasih, ingin minta maaf. Tapi kata-kata tercekat di tenggorokanku.
Perjalanan menuju bandara terasa bagai berjam-jam. Sesampainya di sana, Dito langsung mengurus tiket tanpa menoleh padaku. Aku hanya mengikuti, masih dibungkus rasa bersalah dan kebingungan.
Di ruang tunggu bandara, aku mencoba membuka suara. “Dito…”
Dia menoleh sebentar, lalu mengangguk kecil. “Nanti saja. Kita pulang dulu.”
Hatiku makin sesak.
Pesawat lepas landas, meninggalkan pulau itu. Aku menatap keluar jendela, lampu-lampu kecil di bawah makin jauh. Air mataku jatuh diam-diam. Di sampingku, Dito hanya terdiam, tangannya bersedekap, matanya tertutup seolah tidak mau diganggu.
Begitu pesawat mendarat, kami kembali diam sepanjang perjalanan pulang. Taksi membawa kami menuju apartemen. Kota yang dulu terasa bising kini justru memberi rasa lega, tapi juga penuh ketakutan.
Sesampainya di apartemen, Dito membuka pintu tanpa berkata apa-apa. Aku masuk, menatap ruangan yang dulu penuh kehangatan, kini terasa asing. Dito menaruh kunci di meja, lalu duduk di sofa dengan tubuh tegang.
Aku berdiri terpaku, jantungku berdetak kencang. Kata-kata yang sudah lama kutahan mendesak keluar.
“Dit…” suaraku bergetar.
Dito menoleh pelan, tatapannya dingin, penuh luka yang tak pernah kulihat sebelumnya.
Aku menarik napas dalam, air mata kembali jatuh. “Aku harus jujur sama kamu…”
Kalimat itu menggantung di udara.