Sudah lima bulan sejak malam hujan itu. Lima bulan sejak aku membiarkan garis batas dalam pernikahanku hancur. Dan sampai hari ini, aku masih menjalani dua kehidupan yang berbeda, Michele, istri sah Ardito Sudjaya di rumah, dan Michele, perempuan yang diam-diam menyandarkan hatinya pada Ardi di luar sana.
Aku duduk di ruang tamu apartemen, menatap ponselku. Grup kantor riuh dengan rencana outing. Foto-foto Ardi muncul, membuat bibirku tanpa sadar tersenyum. Padahal, Dito hanya beberapa langkah dari sini sedang tertidur pulas di kamar, lelah sepulang kerja.
Rasa bersalah seharusnya bisa jadi rem. Tapi nyatanya, tiap kali aku mencoba menjauh, Ardi justru makin mendekat. Dia tahu celah-celahku, kesepian, haus perhatian, rindu dipuji. Semua yang dulu pernah Dito lakukan di awal pernikahan, kini hilang ditelan waktu.
Dito masih pria yang sama, pekerja keras, setia pada pekerjaannya, tapi terlalu cuek padaku. Bahkan ulang tahunku bulan lalu, dia hanya mengirim ucapan singkat lewat chat karena sedang di luar kota. Sementara Ardi menyiapkan makan malam kejutan dengan lilin-lilin kecil. Bagaimana mungkin aku tidak tergoda?
Malam ini aku kembali menunggu pesan Ardi. Jemariku resah, hati berdebar. Satu notifikasi masuk, “Besok ikut aku jalan, ada tempat yang mau aku tunjukkin.”
Aku menelan ludah. Ada sesuatu dalam kalimat itu yang terasa berbeda. Bukan sekadar ajakan ngopi, bukan lagi sekadar perhatian manis. Ini terdengar serius.
Aku menatap kamar, di mana Dito tertidur tanpa tahu apa-apa. Sementara di tanganku, dunia lain sudah menunggu.
Dan aku tahu… besok bisa jadi awal dari sesuatu yang jauh lebih berbahaya.
Malam itu, sebelum tidur, aku kembali ke kamar. Dito bangun dan kembali menatap layar laptop, wajahnya lelah tapi matanya berbinar saat melihatku masuk.
“Sayang, sini dulu,” ujarnya sambil menarikku ke pelukannya.
Aku sempat kaku, tapi hangat tubuhnya membuatku luluh. Lama sudah kami tidak begitu intim. Malam itu, entah kenapa, Dito lebih lembut. Sentuhannya penuh kerinduan. Aku pun membalas, membiarkan diriku larut dalam pelukan suami yang dulu sangat kucintai.
Setelahnya, kami berbaring berdampingan. Nafasnya masih tersengal, tapi ada senyum puas di wajahnya.
“Aku ada kabar,” katanya tiba-tiba. “Besok aku harus berangkat business trip ke Surabaya, mungkin seminggu.”
Aku menoleh, pura-pura kaget. “Seminggu? Kok mendadak?”
Dia mengangguk ringan. “Iya, ada urusan sama klien besar. Kamu jaga diri di rumah ya. Aku percaya sama kamu.”
Kata-kata terakhir itu menusuk dalam. Percaya. Kata sederhana yang membuat dadaku sesak.
Aku tersenyum tipis, menepuk bahunya. “Iya, tenang aja. Kebetulan minggu depan aku juga mungkin ada dinas keluar kota, meeting sama vendor. Jadi… kalau aku nggak ada di rumah, jangan kaget ya.”
Dito hanya mengangguk, memejamkan mata dengan tenang. Sementara aku menatap langit-langit kamar, pikiran melayang ke pesan terakhir Ardi, [Besok ikut aku jalan.]
Dalam hatiku, ada rasa aman yang aneh. Dengan Dito pergi seminggu penuh, tak ada yang perlu kucemaskan. Aku bisa leluasa menerima ajakan Ardi, tanpa harus repot menutupi jejak.
Malam itu aku tidur dengan pikiran bercabang. Di satu sisi, suamiku yang baru saja kembali hangat, dan di sisi lain, pria lain yang esok hari akan membawaku ke perjalanan yang tanpa kusadari akan mengubah seluruh hidupku.
Sebelum tidur, Dito meraih tanganku dan tidak melepaskannya. Jemarinya mengusap pelan punggung tanganku, seolah ingin menenangkan gelisah yang tidak pernah dia sadari selama ini. “Aku sadar aku cuek, sayang. Aku sering bikin kamu ngerasa sendirian. Maaf ya…” bisiknya.
Aku hanya diam, menatap jari-jarinya yang hangat. Anehnya, di balik kelembutan itu, ada perasaan bersalah yang makin menghantamku.
Dito lalu membalikkan tubuhku, menatapku lekat-lekat.
“Lihat aku,” katanya pelan.
Tangannya mengusap pipiku, ibu jarinya menyeka rambut yang jatuh ke wajahku. “Aku masih cinta sama kamu, sama kayak dulu.”
Aku tercekat. Sentuhannya sederhana, tapi menembus dinding yang selama ini kubangun. Dia mengecup keningku, lalu turun ke pipi, dan berhenti sebentar di bibirku, bukan ciuman penuh nafsu seperti tadi, melainkan ciuman lembut yang sarat kerinduan.
“Sayang,” suaranya parau, “aku cuma takut kehilangan kamu.”
Aku menggigil. Tubuhku kaku, tapi tangannya terus membelai punggungku, menelusuri pelan garis bahuku hingga membuatku menyerah untuk tidak larut. Dia menepuk pelan pinggangku, menarikku makin rapat ke dadanya, lalu mengusap rambutku berulang-ulang. “Kamu tuh rumahku. Jangan pernah pergi, ya.”
Air mataku akhirnya jatuh. Aku balas memeluknya, mencoba meyakinkan diri. “Aku masih di sini, Dit.”
Padahal hatiku sudah mulai pecah dua.
Dito masih belum berhenti. Dia menelusuri wajahku dengan jemarinya, menyentuh bibirku singkat sebelum menaruh kepalaku di lengannya.
“Tidurlah. Aku di sini,” ucapnya lembut.
Aku menutup mata, pura-pura lelah. Tapi begitu dia terlelap, aku diam-diam meraih ponsel di meja. Layar menyala, memperlihatkan pesan terakhir Ardi.
[Besok ikut aku jalan. Ada tempat yang mau aku tunjukkin.]
Jantungku berdetak kencang. Di satu sisi, pelukan Dito yang masih hangat di tubuhku. Di sisi lain, ajakan Ardi yang terasa seperti magnet, menarikku ke arah yang sama sekali berbeda.
Setelah memastikan Dito tidur, aku pun membalas pesan Ardi.
[Dito kebetulan ada bisnis trip seminggu, besok kita pergi berapa lama? Aman kok.]
Tak lama kemudian, Ardi juga membalas pesanku.
[Selama kita libur aja. Besok aku amannya jemput jam berapa?]
[Dito berangkat pagi jam 7, nanti aku kabarin lagi.]