Cahaya matahari menembus celah dinding kayu, menusuk mataku yang berat. Tubuhku pegal, rasanya setiap otot menjerit. Aku mencoba bangun, tapi rasa sakit menjalar dari pinggang hingga kaki. Bantal tipis beraroma bunga melati membuat kepalaku makin pusing.
Tanganku meraba sisi ranjang, kosong. “Ardi…?” panggilku parau. Tidak ada jawaban.
Aku duduk perlahan, kelambu putih yang kusut masih melingkupi ranjang. Pintu kamar setengah terbuka, hanya terdengar suara ayam berkokok dan orang-orang bercakap dalam bahasa yang asing bagiku. Aku mencoba menelan ludah, tapi tenggorokanku kering.
Pintu tiba-tiba terbuka lebih lebar. Dua perempuan desa masuk, salah satunya membawa baki berisi kain dan peralatan anyaman. Mereka tersenyum ramah, tapi langkah mereka tegas.
“Ayo, Nona, ikut kami. Sudah saatnya ke balai,” ucap salah satunya dengan logat kental.
Aku mengernyit. “Balai? Buat apa?”
Mereka tidak menjawab panjang, hanya saling pandang lalu kembali tersenyum. Tanganku ditarik lembut, seolah tidak memberi kesempatan menolak. Aku masih lelah, tapi akhirnya ikut berjalan keluar.
Halaman desa sudah ramai. Perempuan-perempuan duduk bersila dengan anyaman bambu di tangan, ada yang menggiling rempah di lesung kayu, ada pula yang sibuk menata hasil kebun.
Aku dipersilakan duduk di tikar, sebatang bambu panjang ditaruh di pangkuanku. “Coba belah ini, Nona. Nanti bisa jadi tikar,” kata mereka.
Aku menatap benda itu dengan bingung. Tanganku terbiasa mengetik di keyboard, bukan membelah bambu. Jari-jariku gemetar, hampir saja tergores saat mencoba mengikuti instruksi mereka. Perempuan-perempuan lain tertawa kecil, bukan mengejek, tapi jelas penuh rasa ingin tahu melihat kebodohanku.
Peluh mulai mengalir di pelipisku. Aku merasa seperti orang asing yang dipaksa memainkan peran. Setiap helai bambu yang gagal kupotong lurus terasa seperti simbol betapa aku tidak cocok berada di sini.
Mataku melirik sekitar. Ardi tidak terlihat. Hanya wajah-wajah asing perempuan desa yang mengelilingiku, dengan tatapan yang membuatku semakin terjepit.
Hatiku berdegup cepat. Jika pagi ini saja aku sudah dipaksa ikut kegiatan yang tidak pernah kulakukan, apa yang akan terjadi siang nanti? Malam nanti?
Aku sudah berkeringat meski matahari baru naik. Potongan bambu di pangkuanku berantakan. Jari-jariku perih, sempat tergores tipis karena memaksakan diri membelah bambu yang keras. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan rasa frustrasi.
“Bu… Ardi mana? Kenapa dari tadi aku nggak lihat dia?” tanyaku akhirnya, suara bergetar menahan cemas.
Salah satu perempuan yang duduk di depanku, seorang ibu dengan keriput halus di wajahnya, menoleh sambil tersenyum tipis. “Laki-laki di sini harus kerja, Nona. Mereka merantau. Kalau sudah pulang, berarti waktunya mereka bawa pulang rezeki.”
Aku menelan ludah. “Jadi… dia pergi lagi? Tinggalkan aku di sini sendiri?”
Perempuan itu hanya mengangguk pelan. “Perempuan di sini nggak boleh ikut. Perempuan harus jaga rumah, jaga desa, jaga adat. Itu sudah aturan sejak dulu.”
Kata-katanya seperti palu menghantam kepalaku. Hatiku makin kacau. Aku ingin berteriak, mengatakan bahwa aku bukan bagian dari adat mereka. Tapi tatapan semua orang di sekeliling membuatku membeku.
Tiba-tiba salah satu ibu menepuk pundakku, lalu menggeleng sambil menunjuk anyaman yang kusut di tanganku. “Itu salah. Nggak bisa dipakai.”
Aku menunduk, wajahku panas. Jari-jariku yang kaku membuat anyaman itu berantakan, tak berbentuk. Beberapa perempuan saling pandang, lalu salah satunya berkata, “Sudah, jangan paksa. Bawa saja ke dapur. Perempuan ini lebih cocok bantu masak.”
Tanganku ditarik lagi, kali ini lebih cepat, seolah aku benda yang bisa dipindah seenaknya. Aku berusaha menolak, tapi langkahku tetap diarahkan ke bangunan kecil di belakang balai. Dari jauh aku sudah mencium aroma bawang, cabai, dan asap kayu bakar.
Tubuhku makin lemah. Pekerjaan asing demi pekerjaan asing menunggu. Dan entah sampai kapan aku harus bertahan di desa yang terus menuntutku mengikuti aturan mereka.
Asap tebal menyambutku ketika pintu dapur kayu dibuka. Suhu panas bercampur bau bawang goreng membuatku hampir sesak. Beberapa perempuan sibuk menumbuk rempah, ada yang mengaduk wajan besar di atas tungku, dan tidak satu pun menoleh saat aku masuk.
“Cepat, potong sayur ini,” perintah seorang perempuan dengan suara keras. Di tanganku langsung ditaruh sebongkah labu dan sebilah pisau besar.
Aku terkesiap. “Tapi… aku nggak pernah…”
Belum sempat menyelesaikan kalimatku, perempuan itu sudah menyeringai sinis. “Di sini semua perempuan kerja. Nggak ada alasan.”
Tanganku gemetar saat mencoba memotong. Pisau terlalu berat, labu keras. Potonganku berantakan, ketebalan tidak sama. Salah satu perempuan lain mendecak. “Astaga, anak kota ini. Nggak bisa apa-apa.”
Tawa kecil terdengar. Tapi tawa itu dingin, bukan ramah. Mereka tidak lagi lembut seperti di balai tadi. Di dapur, tidak ada senyum, hanya perintah dan tatapan tajam.
Keringat membasahi pelipisku. Tanganku mulai perih karena tergores. Dadaku sesak. Aku bukan bagian dari mereka. Aku ingin keluar dari sini.
Sebuah ide muncul. Di pojok, aku melihat nampan besar berisi makanan matang. Aku memberanikan diri berkata, “Biar aku saja yang antar makanan ini ke luar. Anggap sekalian aku belajar.”
Mereka saling pandang. Salah satunya mengangkat bahu. “Silakan. Tapi hati-hati, jangan tumpah.”
Aku mengangkat nampan itu dengan hati-hati. Meski berat, langkahku terasa ringan. Ada secercah harapan. Kalau aku bisa keluar dapur, mungkin aku bisa melihat jalan keluar dari desa ini.
Aku berjalan melewati lorong rumah, lalu halaman. Mataku liar mencari pintu keluar, celah apa pun yang bisa kulewati. Dari kejauhan aku melihat jalan tanah yang menurun, mungkin menuju luar desa.
Tapi harapanku langsung hancur. Di ujung jalan, dua lelaki desa berdiri dengan tombak di tangan. Mereka berbicara santai, tapi posisi mereka jelas menjaga.
Langkahku goyah. Nampan hampir terjatuh. Aku buru-buru menunduk, pura-pura fokus mengantar makanan ke balai utama. Tapi dalam hati, aku gemetar.
Desa ini bukan sekadar asing. Desa ini dijaga ketat. Aku benar-benar terjebak.