Malam itu aku berbaring di ranjang kayu yang sama, tubuh masih pegal, pikiran kalut. Kelambu putih yang menjuntai terasa seperti jeruji, membuat napasku sesak. Suara serangga dari luar jendela bercampur dengan tabuhan gendang yang samar-samar masih terdengar dari balai desa.
Aku memejamkan mata, tapi bayangan hari itu terus menghantui. Tangan-tangan yang memaksaku menganyam, perintah kasar di dapur, tatapan tajam yang membuatku tidak lagi dianggap tamu. Aku hanya satu hal di mata mereka, istri Ardi.
Tanganku mengepal di balik selimut. Aku tidak bisa bertahan di sini. Jika Ardi benar-benar pergi merantau entah ke mana, aku akan ditinggalkan sendirian, terjebak dalam adat yang bukan milikku.
Aku mulai merencanakan. Siang tadi aku sudah mencoba dengan pura-pura mengantar makanan, tapi jalan keluar dijaga ketat. Berarti aku harus mencari waktu lain. Malam. Saat semua orang terlelap.
Aku menatap jendela kayu kecil di sisi kamar. Engselnya berkarat, tapi masih bisa dibuka perlahan. Dari celah itu aku melihat jalan setapak samar, tertutup rerumputan. Mungkin jika aku menunggu saat yang tepat, aku bisa menyelinap keluar tanpa diketahui.
Tapi pertanyaannya, ke mana aku harus pergi? Desa ini dikelilingi hutan dan sawah. Aku tidak tahu arah, tidak tahu jarak. Tapi lebih baik tersesat di luar daripada terkekang di sini.
Aku mendengar suara langkah dari luar kamar. Cepat-cepat aku menutup mata pura-pura tidur. Pintu berderit sedikit, cahaya lampu minyak masuk sebentar, lalu tertutup kembali. Nafasku tercekat. Mereka bahkan masih mengawasi di malam hari.
Hatiku berdegup keras. Jika aku salah langkah, mereka akan tahu. Tapi kalau aku terus diam, aku akan tenggelam lebih dalam dalam adat yang sudah menahanku sejak malam pertama.
Aku menatap langit-langit, air mata mengalir pelan. Besok, aku akan mulai mencoba lagi. Entah bagaimana caranya, aku harus menemukan celah keluar dari desa ini.
Aku harus.
Malam makin larut. Suara jangkrik dan kodok bersahut-sahutan dari sawah di luar sana. Lampu minyak di kamar padam setengah, hanya menyisakan bayangan samar di dinding kayu. Aku duduk di tepi ranjang, jantung berdegup cepat.
Inilah saatnya.
Perlahan, aku membuka jendela kecil yang sejak tadi kupandangi. Engselnya berderit pelan, membuat bulu kudukku berdiri. Aku menahan napas, berharap suara itu tidak membangunkan siapa pun. Angin malam masuk, dingin menusuk tulang, tapi aku tidak peduli.
Kakiku menyentuh tanah, langkah demi langkah aku keluar. Jalan setapak terlihat samar, diselimuti kabut tipis. Aku menunduk, berjalan secepat mungkin tanpa menimbulkan suara. Hanya ada satu tujuan di kepalaku, keluar dari desa ini.
Namun baru beberapa meter, suara berat terdengar. “Hei!”
Tubuhku membeku. Dari balik kabut, dua lelaki desa muncul, membawa obor dan tombak. Mata mereka tajam menusuk. Aku spontan berbalik, mencoba lari, tapi langkahku terhalang akar pohon. Aku jatuh, lututku tergores.
Mereka langsung menangkap tanganku. “Perempuan ini mencoba kabur!” teriak salah satunya.
Aku meronta sekuat tenaga. “Lepaskan! Aku bukan milik kalian!” Tapi jeritanku hanya memantul ke kegelapan.
Malam itu aku digiring paksa ke balai desa. Balai yang siang tadi penuh dengan aktivitas perempuan kini berubah menyeramkan. Obor dinyalakan di sekeliling, puluhan orang berdatangan, wajah mereka dingin tanpa belas kasih.
Aku didorong hingga tersungkur di lantai bambu. Tanganku diikat dengan tali kasar. Nafasku terengah-engah, tubuhku gemetar hebat.
Pria tua dengan tongkat yang memimpin prosesi pernikahan semalam maju. Suaranya lantang, menggema di ruangan. “Perempuan ini melanggar adat. Istri yang mencoba kabur dari desa adalah pengkhianat. Hukumannya hanya satu.”
Aku menatapnya dengan mata membelalak. “Nggak… jangan…”
Dia menghentakkan tongkat ke lantai. “Dikurung, lalu dipancung.”
Orang-orang bersorak lirih, beberapa mengangguk setuju.
Dadaku seakan pecah. Air mataku jatuh deras. Aku berteriak, suara parau bercampur putus asa. “Aku bukan istri siapa pun! Aku bukan bagian dari kalian! Tolong lepaskan aku!”
Tapi tidak ada yang peduli.
Kedua tanganku ditarik lebih keras, tubuhku diseret menuju sebuah bilik gelap di samping balai. Dari balik pintu kayu tebal, aku mendengar derit kunci besi. Di sana aku akan dikurung, menunggu hari eksekusi.
Hari-hari di bilik kurungan terasa seperti neraka. Dinding bambu tipis membuat angin malam menusuk tulang. Setiap pagi, siang, dan malam, sebuah mangkuk berisi bubur encer atau singkong rebus diselipkan lewat celah pintu. Tidak lebih, tidak kurang.
Awalnya aku menolak makan, berharap bisa pingsan dan tidak lagi merasakan penderitaan ini. Tapi rasa lapar membuatku menyerah. Tubuhku makin kurus, sendi-sendi kaku, luka di lutut akibat jatuh malam itu tak kunjung kering.
Di dalam kegelapan bilik, aku sering menangis. Berkali-kali bibirku menyebut nama Dito.
“Maafkan aku, Dit… maafkan aku… aku salah… aku seharusnya nggak pernah pergi darimu…”
Setiap kali menyebut namanya, dadaku makin perih. Bayangan wajahnya saat terakhir kali kami bersama di apartemen terus muncul. Hangat, lembut, penuh cinta. Kini semua itu terasa sangat jauh.
Hari demi hari berjalan lambat. Suara gong dari balai desa jadi penanda waktu. Setiap kali gong dipukul, aku tahu satu hari lagi berlalu, mendekatkanku pada hukuman pancung yang mereka janjikan.
Hingga pada suatu malam, suasana desa berubah. Suara perempuan terdengar sibuk, langkah-langkah tergesa, aroma dupa lebih pekat dari biasanya.
Pintu bilikku mendadak terbuka. Dua perempuan desa masuk, wajah mereka sudah berhias dengan bedak tebal dan bibir merah menyala. Salah satunya menaruh baki berisi kain sutra tipis dan perhiasan.
“Ayo, ganti pakaianmu,” ucapnya datar.