DDBG Bab 9

DDBG Bab 9
5
(1)

Aku menatap mereka dengan bingung. “Untuk apa? Bukankah aku menunggu hukuman?”

Mereka saling pandang, lalu salah satu mendekat dan menekankan suaranya. “Malam ini malam sakral. Semua perempuan harus berdandan cantik dan melayani kepala suku. Nggak ada yang boleh menolak.”

Tubuhku kaku. Darahku seakan berhenti mengalir.

Aku menggenggam kain itu erat, air mata menetes tanpa bisa ditahan. Jika mencoba kabur saja hukumannya pancung, bagaimana dengan menolak ritual ini?

Malam sakral baru saja dimulai.

Perempuan-perempuan desa membawaku keluar dari bilik kurungan. Tubuhku lemah, tapi aku tidak lagi meronta. Entah karena putus asa, entah karena sudah kehilangan tenaga, aku hanya mengikuti langkah mereka.

Di balai, sebuah meja kayu panjang telah disiapkan. Di atasnya tersaji makanan yang jauh berbeda dari bubur encer dan singkong rebus yang biasa kudapat. Ada daging panggang beraroma rempah, nasi pulen dengan lauk lengkap, bahkan buah segar.

Salah satu perempuan mendorongku duduk. “Makanlah. Ini hakmu malam ini.”

Aku menatap makanan itu dengan ragu. Hak? Kata itu terdengar seperti ejekan. Dengan tangan gemetar, aku menyuapkan sesuap nasi ke mulut. Rasanya enak, sangat enak, tapi justru membuat dadaku sesak. Kenapa mereka memberiku hidangan terbaik sebelum malam sakral?

Pikiran gila berkelebat. Apakah “melayani” kepala suku berarti tidur dengannya? Atau… lebih buruk lagi, apakah tubuhku akan dipersembahkan sebagai jamuan? Aku memandang daging panggang di meja, mendadak perutku mual.

“Cepat makan. Setelah ini kau akan dimandikan,” ucap perempuan itu lagi.

Aku memaksa menelan beberapa suap, lalu berhenti. Tanganku gemetar hebat. Pikiran berkecamuk, antara ketakutan, penyesalan, dan doa-doa lirih yang terus menyebut nama Dito.

Setelah itu, tubuhku dibawa ke sungai kecil di belakang desa. Obor-obor dipasang di sepanjang jalan, cahayanya menari di atas air. Dua perempuan melepas pakaianku tanpa menunggu izin. Air sungai dingin menyentak tubuhku, mereka menggosok kulitku dengan ramuan daun dan bunga yang baunya tajam.

Aku mencoba menahan air mata. Setiap sentuhan terasa bukan lagi sekadar membersihkan, tapi seperti mempersiapkan tubuhku untuk sesuatu yang lebih menakutkan.

“Jangan melawan. Ini bagian dari adat. Kau harus cantik malam ini,” salah satu dari mereka berbisik di telingaku.

Setelah selesai dimandikan, aku dibawa kembali ke rumah besar. Rambutku dikeringkan, lalu disanggul tinggi. Bedak putih tebal dipoles ke wajahku, bibirku diwarnai merah terang. Perhiasan kuningan berat digantungkan di leher dan telingaku.

Kain sutra merah marun dililitkan di tubuhku, begitu ketat hingga aku sulit bernapas. Saat sebuah mahkota kecil diletakkan di kepalaku, aku menatap pantulan diriku di cermin kayu.

Aku tidak lagi mengenali Michele yang ada di sana.

Aku tampak seperti pengantin… tapi bukan pengantin yang diinginkan siapa pun.

Obor-obor berderet menerangi jalan menuju rumah besar di tengah desa. Langkahku lemah, tubuhku kaku oleh kain sutra ketat dan perhiasan berat. Dua perempuan tua menggandeng lenganku, menyeretku masuk ke ruangan yang penuh cahaya.

Di dalamnya, aku terhenti sejenak. Ada sekitar 20 perempuan muda, semuanya berdandan cantik dengan kain berwarna-warni. Wajah mereka putih oleh bedak, bibir merah menyala, mata dipenuhi kegelapan yang sama, pasrah.

Di ujung ruangan, duduk seorang lelaki tua dengan tubuh tambun. Kepalanya berikat kain hitam, dadanya terbuka, dan mata keriputnya menyipit dengan tatapan yang membuatku ingin muntah. Tatapan itu begitu mesum, seolah menelanjangi kami semua tanpa sentuhan.

“Bawa dia ke sini,” perintahnya dengan suara berat.

Tubuhku ditarik maju. Aku mencoba menahan langkah, meronta sekuat tenaga. “Lepaskan aku! Aku bukan milik kalian!” jeritku putus asa.

Namun para perempuan di sekeliling justru tertawa kecil. Salah satunya mendorong punggungku kasar, membuatku tersungkur ke arah kursi kepala suku. “Jangan sok suci. Bersyukurlah kepala suku menyukai kamu.”

Yang lain ikut mencibir, “Banyak perempuan di sini menunggu dipanggil. Kamu malah menolak? Bodoh!”

Air mataku jatuh deras. Aku berusaha mundur, tapi tangan-tangan mereka mendorongku semakin dekat. Kepala suku tertawa rendah, tangannya langsung membelai rambutku. Jemarinya kasar, menyusuri leher hingga membuatku bergidik ngeri.

“Aku tahu matamu penuh penolakan,” ucap kepala suku dengan suara serak tapi lantang. “Tapi dengar baik-baik, perempuan. Kau sudah diterima adat kami. Nggak ada lagi jalan keluar. Melawan hanya membuatmu hina. Berserah pada adat, itu satu-satunya jalan agar hidupmu tidak berakhir lebih cepat.”

Dia mendekatkan wajahnya, suaranya makin menusuk. “Kamu seharusnya bersyukur, dipilih dan disukai olehku. Banyak perempuan menunggu kesempatan ini. Kau menolak? Itu penghinaan terhadap kami semua.”

Tangan kasarnya mengusap pipiku, lalu berhenti di dagu, memaksaku menatap mata keriputnya. “Ingat, di sini adat lebih tinggi dari kehendakmu.”

Aku menunduk, tubuhku gemetar hebat. “Tolong… jangan…” suaraku nyaris hilang.

“Hei…” suaranya parau, hidungnya menyusuri pipiku, mengendus seperti binatang lapar.

Dan saat itu…

Braaak!

Pintu kayu besar didobrak keras dari luar. Obor bergetar, beberapa perempuan berteriak kecil. Kepala suku terhentak, menoleh dengan marah.

Aku menoleh juga, air mataku masih mengalir.

Di ambang pintu, sosok yang sangat kukenal berdiri.

Sosok itu menatapku dengan sorot mata penuh amarah dan tekad.

Rate cerita ini yuk Kak!

Click on a star to rate it!

Average rating 5 / 5. Vote count: 1

No votes so far! Be the first to rate this post.

DOSA DI BALIK GAPURA

DOSA DI BALIK GAPURA

Status: Completed Author: Released: 2025
Seorang wanita muda yang mulai jenuh dengan rumah tangganya terjerat dalam perselingkuhan dengan rekan sekantor penuh rayuan. Awalnya hanya pelarian sesaat, namun liburan yang dijanjikan berubah jadi jerat ketika ia justru dibawa ke desa terpencil dengan aturan adat yang keras, hingga terpaksa dinikahkan secara adat tanpa benar-benar rela. Di tengah upayanya mencari jalan keluar, sang suami yang resah akhirnya menemukan jejak istrinya. Pertemuan di desa itu pun jadi titik balik mengejutkan. Antara cinta, pengkhianatan, dan adat yang mengikat, akankah rumah tangga mereka masih bisa diselamatkan?

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Plugin Kapsule Corp

Options

not work with dark mode
Reset
Part of PT. King Alin Jaya