Bagi rakyat yang tinggal di kota Zuhra, sinar matahari merupakan hal yang langka bagi rumah mereka. Keadaan perekonomian yang carut-marut membuat kebanyakan rakyatnya memiliki kehidupan yang serba kekurangan. Bisa dibilang tidak ada yang berpihak kepada mereka, sekalipun pemimpin dan pemerintahannya. Pemimpin dan pemerintah di kota Zuhra ini seperti kebanyakan pejabat lainnya, hanya memihak kepada orang-orang yang memiliki uang dan jabatan saja. Bagaimana mereka bisa hidup enak, sistem perekonomian saja hanya dikuasai oleh orang-orang kaya yang merupakan keturunan bangsawan.
Pagi ini, Sinar mentari memasuki kamar Alisa melalui celah jendela kamarnya. Suara riuh orang-orang yang sedang bersiap pergi untuk bekerja dan sinar matahari yang menyilaukan mata membuat Alisa terbangun. Seperti hari biasanya, hal pertama yang dilakukan oleh Alisa saat bangun tidur adalah memanggil pengasuhnya, Bibi Ana, yang sudah mengasuhnya sejak dia lahir.
“Bibi, Bi Ana, Bibi di mana? Aku sudah bangun.” Teriak Alisa.
“Non, tunggu sebentar, Bibi sedang membuat teh di dapur.” Jawab Bibi Ana.
Alisa yang sedang menunggu kedatangan Bibi Ana ke kamarnya, bangkit dari tempat tidur lalu melihat ke luar jendela. kamarnya yang terletak di lantai 3 di rumah mewah ini, membuatnya bisa melihat hampir seluruh isi kota Zuhra yang penuh akan bangunan-bangunan kumuh.
Selalu menjadi saat-saat yang sangat menyesakkan hatinya. Sedih melihat nasib orang lain yang begitu menyedihkan, harus bekerja keras bahkan sampai membahayakan nyawanya sendiri, tapi hanya dibayar dengan upah yang sangat kecil. Kota Zuhra ini bisa dibilang merupakan kota yang paling kaya akan sumber daya alamnya. Bagaimana tidak, terdapat sumber daya emas yang tersimpan di dalam kota ini. Tapi naas, pemimpin dan pemerintah tidak ada di pihak mereka, mereka rakyat yang berada di garis terdepan untuk mengolah emas-emas tersebut. Pemimpin dan pemerintah yang tidak memiliki modal yang cukup untuk mengeksplorasi dan mengolah emas ini, terpaksa menarik para investor yang kebanyakan merupakan keluarga bangsawan untuk berinvestasi di tambang milik negara ini. Para orang kaya ini sama saja seperti pemimpin dan pemerintah, hanya mementingkan keuntungan pribadi. Hal ini selalu menjadi momok yang menyakitkan hati Alisa. Dan yang paling menyakitkan adalah, mau tidak mau harus menerima fakta bahwa ayahnya juga adalah bagian dari mereka yang serakah. Tapi sayang sekali, Alisa tidak bisa berbuat apa-apa, karena ayahnya tahu Alisa berbeda dengan dirinya, oleh karena itu walaupun Alisa sudah dewasa tapi ayahnya tidak pernah melibatkannya dalam bisnisnya.
“Non tumben sekali sudah bangun jam segini, ini tehnya. Silakan diminum.” Ucap Bibi Ana sambil meletakkan cangkir teh di meja kamar Alisa.
“Terima kasih Bi. Bibi jangan langsung pergi, diam dulu sejenak di sini. Aku ingin bercerita.” Ucap Alisa.
“Baik Non. Nona mau cerita apa? Sebelum bercerita apa mau Bibi buatkan sarapan terlebih dahulu?” Tanya Bibi Ana.
Alisa menghela nafas, “Tidak usah Bi, terima kasih aku belum lapar. Aku mimpi buruk semalam, mimpi yang benar-benar sangat buruk.”
“Mimpi apa? Mimpi itu hanya bunga tidur saja, tidak perlu dipikirkan.” Ucap Bibi Ana.
“Dalam mimpiku, aku melihat seluruh orang di rumah ini dibunuh oleh sekawanan pemberontak. Hanya aku dan Bibi yang selamat, itupun karena ibu datang menyelamatkan kita. Dalam mimpi itu, seisi rumah ini dipenuhi oleh tetesan darah orang-orang yang tewas, termasuk ayahku. Aku hanya takut, takut suatu hari nanti akan benar-benar terjadi. Mereka yang setiap hari bertaruh nyawa bekerja di tambang-tambang emas kota ini, mulai muak dan akhirnya memberontak ketidakadilan ini.”
Ibu kandung Alisa memiliki sifat yang sama dengan Putri semata wayangnya. sayang sekali memiliki nasib yang tidak begitu baik, ia diracun oleh seseorang sampai meninggal, saat Alisa masih berumur 6 tahun. Bibi Ana yang sudah merawatnya sejak ia lahir, otomatis menjadi ibu pengganti baginya. Di mata Alisa, dirinya sudah menganggap Bibi Ana seperti ibu kandungnya sendiri. Begitupun dengan Bibi Ana. Bibi Ana pernah memiliki seorang suami, tapi meninggalkannya setelah 10 tahun bersama tapi tak kunjung berhasil memberikannya keturunan. Oleh karena itu, begitu ada lowongan pekerjaan untuk mengisi posisi pengasuh, bibi Ana langsung berminat, karena ia tidak terpikirkan untuk menikah lagi. Bagi bibi Ana, Alisa sudah seperti anak kandungnya sendiri, mungkin karena ia mengurusnya sejak Alisa dilahirkan sampai saat ini, sampai Alisa menginjak usia 21 tahun.
“Hus, sudah sudah, jangan terlalu banyak pikiran. Nona bermimpi buruk mungkin karena terlalu lelah setelah berlatih piano seharian kemarin. Jangan katakan hal itu lagi, Bibi tidak mau melihat Nona dipukuli oleh tuan besar lagi. Sebisa mungkin pura-pura tidak tahu saja ya, fokus pada kegiatan Nona sendiri.” Jawab Bibi Ana.
“Tapi Bi, bukannya ayah sedang pergi ke luar kota ya? Jadi sekarang kita bisa membahas hal ini. Setidaknya aku perlu teman diskusi tentang hal ini. Aku yakin Bibi tidak sama seperti ayah, iya kan Bi? Bibi masih memiliki rasa kasihan kan melihat mereka banting tulang tapi masih tersiksa seperti itu?” Lanjut Alisa.
Bibi Ana memberi isyarat untuk diam, menggunakan telunjuknya kepada Alisa. Sambil setengah berbisik, Bibi Ana berkata, “Bibi mengerti, Bibi sangat paham apa yang Nona pikirkan dan rasakan. Tapi semua orang di sini memihak kepada tuan besar. Bibi takut, pengawal yang berjaga di depan pintu kamar Nona, akan mendengar kita, lalu berujung Nona diberi hukuman lagi oleh tuan besar. Bibi berjanji, Bibi akan mengusahakan untuk mencari waktu yang tepat untuk membicarakan hal ini dengan Nona.”
Alisa tak kuasa menahan air matanya. Dia benar-benar terharu, ternyata ia masih memiliki seseorang yang selalu berada di pihaknya. Terlebih lagi semenjak ibu Alyssa meninggal dunia. Alisa selalu merasa hidupnya sangat tidak bahagia. Karena perlakuan ayahnya berbanding terbalik dengan sikap ibunya. Satu-satunya kasih sayang yang bisa ia rasakan hanya dari Bibi Ana saja. Walaupun saat ini ia sudah memiliki seorang tunangan, tapi tetap saja, orang yang menyayanginya hanya Bibi Ana saja.
“Sudah jangan menangis lagi, nanti cantiknya Nona hilang. Bibi sudah panaskan air, 15 menit lagi mungkin sudah mendidih. Nona siap-siap untuk mandi ya.” Ucap Bibi Ana menenangkan Alisa.
Alisa menyeka air matanya, “Baik Bi. Aku tahu terima kasih saja tidak cukup, tapi untuk saat ini aku hanya bisa membalas semua jasa Bibi dengan ucapan terima kasih saja.”
“Tidak perlu dipikirkan, Nona. Ngomong-ngomong, apa tuan Edward jadi datang hari ini?” Sahut Bibi Ana.
“Laki-laki pemarah itu.. Entahlah Bi. Tidak usah bahas dia dulu.” Ucap Alisa yang tampak sedkit kesal saat mendengar nama tersebut.
“tapi bagaimanapun, tuan Edward kan, tun…..” Belum selesai ucapan Bibi Ana terucap, tiba-tiba terdengar suara gebrakan pintu.
“Braaakkkk”
*****
Terima kasih sudah membaca novel kami. Untuk menyemangati author agar terus update, jangan lupa share, komen dan klik salah satu iklan di web kami(Hehehe lumayan bisa beli cemilan untuk menemani author nulis XD)