Pagi yang cerah, aku berjalan menuju sebuah taman yang berada tidak jauh dari rumah. Di tengah perjalanan, aku hampir saja bertabrakan dengan seorang pria.
“Astagfirullah!” ucapku kaget. Untung saja aku tidak menabraknya.
“Astagfirullah. Maaf, hampir saja aku menabrak kamu,” ucap pria itu lalu mundur beberapa langkah dariku.
“Tidak apa-apa,” ucapku tersenyum pada pria itu.
Pria itu pun tersenyum, kemudian menyatukan kedua tangannya di depan dada.
“Oh ya, perkenalkan nama saya Raihan,” ucap pria itu memperkenalkan dirinya.
Masya Allah, baru kali ini aku bertemu dengan pria seperti ini. Aku pun melakukan hal yang sama sepertinya.
“Nama saya Riana.”
“Saya pergi dulu Riana, Assalamu alaikum,” ucapnya Raihan kemudian pergi.
“Wa’alaikum salam.”
Setelah kepergian Raihan, aku pun melanjutkan langkahku menuju ke taman. Setelah tiba di tempat tujuan, aku duduk di sebuah bangku. Menikmati keindahan di yang ada di sana. Entah mengapa, pikiranku tiba-tiba tertuju pada sosok pria tadi. Ya Allah, apa yang aku rasakan saat ini? Hatiku begitu bahagia mengingat senyum di wajahnya tampannya itu.
“Astagfirullah, apa sih yang aku pikirkan?” ucapku sambil megusap wajahku.
Ya Allah ampuni aku. Seharusnya aku tidak memikirkan pria yang bahkan baru saja kukenal. Keesokan harinya aku kembali ke taman. Aku memang suka ke tempat itu. Apalagi saat libur seperti ini, aku pasti sering ke sana. Seperti biasa, setelah tiba di taman, aku akan duduk di bangku. Namun, lagkahku terhenti saat kulihat ada seseorang yang duduk di sana. Terlihat seperti orang yang ku kenal. Benar saja, dia adalah Raihan. Pria itu duduk dengan memegang Al-Quran kecil yang sedang dia baca. Sungguh, dia pria shaleh. Aku merasakan debar dalam dada. Aku semakin menatapnya dengan serius.
Tanpa sadar aku pun senyum-senyum sendiri. Namun, aku tiba-tiba teringat sebuah hadist.
‘Mata itu berzina, hati juga berzina. Zina mata dengan melihat (yang diharamkan), zina hati dengan membayangkan (pemicu syahwat yang terlarang). Sementara kemaluan membenarkan atau mendustakan semua itu.’ (HR. Ahmad)
Mengingat hadist itu, aku segera berhenti menatap Raihan. Mencoba menahan debar dalam dada. Namun, apalah daya, aku tidak mampu menahannya. Justru semakin berdebar, apalagi setelah Raihan melihat ke arahku. Dia tersenyum. Ya Allah ampuni aku, aku tidak mampu menahan rasa ini. Apalagi melihat senyumannya itu. Manis sekali.
Tidak lama kemudian, Raihan menutup Al-Qurannya dan berjalan ke arahku. Ya Allah, aku semakin berdebar dibuatnya.
“Assalamu alaikum,” ucapnya.
“Wa … wa’alaikum salam,” jawabku sedikit gugup.
“Ternyata kamu juga suka ke sini, ya?”
“Iya.”
“Ya sudah, saya pergi dulu ya. Tidak baik mengobrol berdua seperti ini. Nanti yang ketiganya syetan.”
“Iya, tapi aku harap kita bisa bertemu lagi.” Entah dorongan apa yang membuatku mengucapkan itu.
“In syaa Allah, jika jodoh kita pasti bertemu lagi. Bukankah jodoh tak akan kemana? Pasti bertemu. Assalamu alaikum, saya pergi dulu, ya.”
“Wa’alaikum salam.”
Raihan pun pergi dari hadapanku. Sementara aku, melangkah menuju bangku taman. Duduk dan merenungi kata-kata Raihan tadi. ‘Jodoh tak akan kemana’. Entah apa maksud Raihan mengatakan itu padaku. Apakah dia juga berharap bertemu aku kembali? Entahlah, hanya Allah yang tahu. Karena jodoh,rezeki, dan maut ada di tangan Allah.
Setelah beberapa lama aku berada di taman, aku pun memutuskan untuk pulang ke rumah.
***
Hari ini aku pergi ke taman lagi. Dengan harapan aku bisa bertemu Raihan lagi. Namun, aku tidak melihatnya sama sekali. Dia tidak ada di mana pun. Aku merasa kecewa, sedih, karena tidak bertemu dengannya hari ini. Kemudian aku ingat pernah membaca sebuah kalimat, yang mengatakan ‘La Tahzan, kamu tidak berhak mengeluarkan air mata untuk dia yang belum halal bagimu’. Itu artinya aku tidak boleh sedih, karena Raihan belum halal bagiku. Bukankah Raihan mengatakan jodoh tak akan kemana? Jika Raihan adalah jodohku, dia tidak akan kemana-mana. Aku pasti bertemu dengannya. Kalau dia bukan jodohku, maka Allah akan menggantikan dengan yang lebih baik lagi.
Setelah hari itu, aku tidak pernah lagi ke taman. Kini, waktu aku habiskan di rumah dan lebih rajin beribadah untuk lebih dekat dengan Allah. Itu aku lakukan agar hatiku menjadi lebih tenang. Sehingga aku tak terlalu memikirkan Raihan.
***
Seminggu pun berlalu, Ayah tiba-tiba ingin membicarakan sesuatu padaku. Aku tidak tahu apa yang ingin dibicarakan, tapi kelihatannya sesuatu yang sangat serius.
“Ria, ayo sini! Ayah mau bicara.”
Aku pun duduk di samping ayahku dan mulai menyimak apa yang ingin ia bicarakan.
“Ayah mau bicara tentang apa?”
“Ayah mau bicara tentang kamu. Teman Ayah ingin datang melamar kamu untuk putranya. Apa kamu mau menerimanya? Untuk masalah kuliah kamu, mereka tidak keberatan jika kamu melanjutkan kuliah setelah menikah.” Ucapan ayah membuatku diam seketika.
Entah mengapa aku masih saja memikirkan Raihan. Namun, ini mungkin adalah takdirku. Aku dan Raihan tidak ditakdirkan bersama.
“Terserah Ayah saja. Jika menurut Ayah dia lelaki yang baik. Bukankah ada hadits yang artinya, ‘Jika datang kepada kalian seorang lelaki yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia. Jika tidak, maka akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar.’ (HR. Tirmidzi).”
“Baiklah, Nak, tapi jika kamu tidak menyukainya kamu bisa menolaknya.”
Aku hanya mengangguk mendengar ucapan Ayah.
Sehari setelah ayah membicarakan hal itu padaku. Keluarga pria itu pun datang ke rumah. Betapa terkejutnya aku, setelah melihat pria yang akan melamarku.
“Raihan?” batinku.
Jantungku kembali berdebar hebat. Aku sudah berusaha mencoba melupakannya, dan kini ia datang untuk melamarku.
“Nah, ini putri saya. Riana,” ucap ayah memperkenalkanku pada orangtua Raihan.
Aku pun menyatukan kedua tanganku di depan dada, tanda salamku pada mereka.
“Anaknya cantik ya, pantas saja Raihan suka dan memilih Riana untuk jadi pendampingnya” ucap Umminya Raihan memujiku.
Apa? Raihan menyukaiku? Bagaimana bisa? Banyak pertanyaan yang muncul dibenakku. Entah sejak kapan ia menyukaiku.
“Tidak Ummi. Saya menyukai Riana bukan karena kecantikannya, tapi karena agamanya. Bukankah ada hadist yang mengatakan bahwa ‘Wanita dinikahi karena empat hal; karena kecantikannya, karena keturunannya, karena hartanya, dan karena agamanya. Maka hendaklah kamu pilih agamanya, sebab kalau tidak, niscaya kamu akan celaka.’ (H.R. Bukhari 6:123, Muslim 4:75)”
“Baiklah Nak Riana, apakah menerima lamaran anak kami, Raihan?” tanya Abinya Raihan padaku.
Aku sangat senang karena Raihan melamarku, tapi aku malu untuk menjawab. Aku hanya diam dan tertunduk malu.
“Riana, bagaimana? jika kamu tidak menerimanya katakan saja,” ucap ayahku.
“Diam tandanya setuju loh. Seperti sabda Rasulullah ‘Dan diamnya adalah persetujuannya.’ (H.R. Muslim),” ucap Raihan yang lagi-lagi menyebutkan sebuah hadist.
Aku hanya tersenyum malu. Hingga akhirnya Ayah dan Abinya Raihan pun memutuskan tentang pernikahan kami. Bulan depan. Ya Allah, aku sungguh tidak menyangka jika Raihan adalah jodohku. Mungkin itulah maksud perkataannya dulu, bahwa jodoh tak akan kemana. Aku pernah mencarinya, tapi tidak kutemukan. Sekarang, dia sendiri yang datang ke rumah untuk melamarku.
***
Waktu terasa bergulir begitu cepat. Hingga aku tidak menyadari bahwa sebulan telah berlalu. Kini tiba hari dimana aku dan Raihan telah terikat janji suci yang dia ucapkan saat ijab qabul. Sungguh, aku teramat bahagia dengan pernikahanku. Memang rencana Allah sangat indah. Ia mempertemukanku dengan seorang pria yang sholeh dan kini telah menjadi imamku. Tidak ada lagi yang mampu kuucapkan, selain rasa syukur kepada Allah. Semoga aku bisa menjadi istri yang baik untuk suamiku.
Tamat.
Nama Author : Aspa Rhya