Sosok ayah dalam kehidupan anak sangat berpengaruh besar. Bahkan bisa dikatakan ayah adalah penentu masa depan seorang anak. Karena itulah, kenapa banyak pepatah mengatakan ayah adalah cinta pertama anak perempuan, ayah adalah teman sejati anak laki-laki. Akan tetapi, apakah semua ayah memang pantas menyandang gelar ‘ayah’?
Ali, seorang anak SMA yang baru menginjak usia 16 tahun di sebuah kabupaten. Tak seperti anak lainnya, sejak kecil Ali sudah merasakan pahit manisnya kehidupan.
“Ali, hari ini temani Ibu jualan saja, ya? Nggak usah sekolah dulu, besok baru sekolah lagi,” ujar Sutini, ibu Ali.
Ali yang baru saja selesai mandi langsung menjawab, “Baik, Bu! Lagipula, Ali sudah selesai ujian nasional, tinggal menunggu ijazah keluar saja.”
“Syukurlah kalau begitu. Ya sudah, Ali siap-siap ya. Semoga dagangan Ibu laku, biar Ali bisa kuliah.”
Ali tertegun mendengarnya. Dia jelas-jelas sudah mengatakan tidak ingin kuliah, tetapi ibunya sangat bersikeras.
“Bu, Ali mau kerja saja, bantuin Ibu. Sudah ya, 10 menit lagi Ali siap berangkat ke pasar sama Ibu,” ujar Ali lalu segera pergi ke kamarnya.
Sutini pun hanya bisa tersenyum mendengar jawaban anaknya. Pagi itu, mereka berdua pun cepat-cepat pergi ke pasar untuk berjualan sayur.
Sesampainya di pasar, para langganan Sutini langsung mengerubungi lapaknya.
“Eh, Ali, kamu nggak sekolah? Tumben temenin ibunya,” ujar salah satu pembeli.
“Hehe, iya nih. Ali sudah selesai ujian, jadi tinggal nunggu ijazah aja Bu,” jawab Ali sambil memasukan belanjaan pembeli tersebut.
“Bukannya anak-anak SMA 11 lagi sibuk urusin kuliah, ya? Kamu nggak lanjut apa gimana?” tanya pembeli itu lagi.
“Nggak Bu, Ali mau kerja saja. Bantu-bantu Ibu, hehe.”
Sutini pun terdiam mendengarnya, ternyata Ali benar-benar tidak ingin melanjutkan kuliah. Dia sedih bukan main, Ali adalah anak yang pintar dan rajin, sayang sekali jika tidak melanjutkan pendidikannya.
Tak terasa, waktu sudah menunjukkan pukul 12 siang dan sudah waktu pulang juga. Ali dan ibunya pulang ke rumah setelah selesai membereskan dagangan mereka.
Sesampainya di rumah, Ali mendengar suara telepon masuk dari ponselnya. Ali segera mengeluarkan ponselnya dan mengangkat telepon itu.
“Ali, cepat ke sekolah sekarang juga!”
“Aku lagi sibuk, emangnya ada ….”
Ali belum sempat menyelesaikan kata-katanya, tetapi sayang sekali ponselnya sudah mati. Saat ini sudah tahun 2010, orang-orang sudah mulai menggunakan ponsel pintar, sementara Ali masih menggunakan ponsel jadul dan sudah diikat karet juga pula.
Sutini yang mendengar telepon tadi, berkata pada Ali, “Kamu ke sekolah, gih. Siapa tahu ada pengumuman penting, ini ongkosnya.”
“Ada apa, ya? Aku minta 10 ribu aja, Bu. Makasih ya.” Ali menerima uang dari Ibu, tetapi dia mengembalikan setengahnya.
Untungnya sekolah Ali hanya berjarak 2 kilometer saja dari rumah, hanya butuh naik angkot selama 10 menit saja sudah sampai.
Sesampainya di sekolah, Ali disambut guru BK dan sahabatnya, Nando.
“Ali, selamat ya kamu lulus ke Universitas Adara Teknik Sipil jalur undangan, kamu juga dapat BIDIKMISI, jadi biaya kuliah kamu gratis, kamu juga bakal dapat uang saku,” ujar Nando.
Reaksi orang biasa harusnya bahagia ketika mendengar ini, tetapi tidak dengan Ali. Ali sudah memantapkan diri tidak akan kuliah.
“Ali nggak daftar, kenapa bisa lulus?” tanya Ali.
Bu Dina, guru BK Ali pun menjawab, “Kami, guru-guru tahu betul potensi Ali, jadi maaf ya, kami diam-diam daftarin kamu.”
“Sebelumnya Ali ucapin terima kasih banyak, pihak sekolah sudah begitu perhatian sama Ali. Tapi, Ali nggak bisa ambil kesempatan ini. Kalau Ali pergi, nanti ibu Ali sama siapa?” ucap Ali.
“Ada ayah kamu, ‘kan? Kamu bisa fokus kuliah, Li,” ujar Bu Dina.
Nando yang paham akan situasi keluarga Ali pun segera menjawab, “Soal ini, memang agak sulit Bu. Ali punya kondisi keluarga yang khusus.”
Ali sama sekali tidak tersinggung dengan ucapan Nando. Kondisi keluarganya memang khusus, tidak seperti keluarga lain yang setiap anggota keluarganya memiliki peran khusus.
Setelah mereka terdiam sejenak, Nando pun kembali angkat bicara, “Ali, ayahku punya kontrakan di Kota Adara, kebetulan dekat dengan kampus dan ada dua kamar juga. Gimana kalau kamu ajak Ibu kamu tinggal di sana juga? Buat kamu nggak apa-apa gratis, ayah aku juga sudah kenal kamu ini, ‘kan.”
Akhirnya, Ali memutuskan untuk mempertimbangkan hal ini dulu. Selama di jalan pulang, Ali memikirkan ini dengan serius. Membawa ibunya pergi dari sini adalah pilihan terbaik. Dengan begini, ibunya bisa hidup lebih bahagia.
Sesampainya di rumah, Ali dibuat terkejut karena rumah kosong dan ada percikan darah di sofa rumahnya. Ali pun segera pergi ke rumah tetangganya dan menanyakan apa yang sudah terjadi di rumahnya.
“Ali, Om anterin ke rumah sakit, ya. Nanti kamu tahu sendiri apa yang sudah terjadi,” ujar Arhan, tetangga Ali.
Ali langsung panik, hanya ada satu kemungkinan yang terbesit dalam benaknya. AYAHNYA!
Sesampainya di rumah sakit, Ali melihat kondisi ibunya terkulai lemas dan tak sadarkan diri di ranjang UGD.
“Om, sebenarnya apa yang terjadi?” tanya Ali pada Arhan.
“Tadi itu, ayah kamu pulang ke rumah, terus minta uang sama ibumu. Ibumu nggak kasih karena ibumu bilang uang itu buat kuliah kamu. Ayah kamu mukul ibumu sampe kepalanya kena ujung sofa.”
Emosi Ali langsung meluap. Namun, Ali sangat dewasa, dia meredam emosinya dan segera mengurus dokumen ibunya agar ibu bisa cepat-cepat masuk ruang rawat inap.
Setelah dokumen selesai diurus, Sutini sudah masuk ruang rawat inap. Dokter juga mengatakan kondisi ibunya akan pulih dalam waktu 2 sampai 3 hari lagi. Ali yang baru saja mendapat kabar dirinya diterima kampus ternama itu pun hanya bisa menyimpan kabar itu dulu untuk saat ini.
“Bu, kepalanya sakit banget?” tanya Ali sambil menggenggam tangan ibunya.
Sutini hanya bisa tersenyum, dadanya masih terasa sakit jika dia berbicara. Kejadian sore tadi itu, Anton, ayah Ali tiba-tiba pulang sambil merebut dompet Sutini. Sutini bersikeras menyimpan dompet itu dan akhirnya Anton memukul dada dan kepalanya.
Anton berprofesi sebagai sopir truk yang mengangkut bahan logistik. Penghasilan Anton terbilang lumayan untuk ukuran di kabupaten. Namun, Anton tak pernah memberikan nafkah pada Sutini, Anton memiliki kebiasaan buruk berjudi dan main wanita.
Malam itu terasa sangat panjang bagi Ali. Ali tak bisa tidur karena takut terjadi sesuatu pada ibunya.
Keesokan paginya, Ali buru-buru pulang ke rumah untuk mengambil uang tabungan yang dia kumpulkan secara diam-diam. Uang tabungannya itu mencapai 2 juta rupiah, cukup untuk bekal selama di rumah sakit. Setelah membeli bubur, Ali pergi ke ruang rawat ibunya untuk menyuapinya.
“Bu, makanan rumah sakit nggak enak, Ibu makan bubur aja ya.”
Sutini hanya menggelengkan kepalanya. Tak lama kemudian, Sutini berkata dengan dada yang sangat sesak, “Ali, sudah besar nanti kamu harus hormati, sayangi, cintai istri kamu, ya. Kamu jadi laki-laki sejati, kamu nggak boleh benci ayah kamu, kamu harus maafin kesalahannya. Maafin Ibu, ya. Ibu nggak bisa jadi Ibu yang baik buat kamu, Ibu nggak bisa penuhin kebutuhan kamu. Ibu sayang banget sama Ali.”
Ali belum sempat menjawab pertanyaan Sutini, Sutini sudah mengembuskan napas terakhirnya.
“Bu! Ali nggak mau nikah! Ali cuma mau sama Ibu selamanya! Ibu jangan pergi! Ibu jangan pergi!”
Arhan yang kebetulan datang untuk menjenguk Sutini kaget saat mendengar tangisan Ali dari luar ruang rawat. Kemudian, Arhan melihat Ali pergi dengan penuh emosi.
“Ali, kamu mau ke mana?” tanya Arhan.
“Om, tolong bantu administrasi Ibu, ini kartu asuransi pemerintah Ibu, Ali ada urusan mendesak.”
Ali tak bisa ditahan, Arhan pun hanya bisa mengurus administrasi Sutini.
Proses pemulangan jenazah bisa memakan waktu sampai 3 jam, apalagi mereka pakai asuransi pemerintah, prosedurnya jelas sangatlah panjang.
Tak seorang pun tahu ke mana perginya Ali.
Saat itu, Ali buru-buru pergi ke gudang tempat ayahnya bekerja.
“Anton! Keluar kamu! Saat ini juga, detik ini juga, kamu bukan ayah saya lagi! Kamu musuh abadi saya! Keluar kamu Anton!” teriak Ali dengan berlinang air mata.
Anton yang baru saja ingin istirahat setelah mengendarai truk semalaman pun terkejut mendengarnya. Dia buru-buru berlari keluar menemui Ali.
Tepat saat Anton akan memukul kepala Ali, Ali segera menangkasnya dan memukul balik Anton.
Anton terkejut, ternyata tenaga anaknya sangat besar. Selama ini, Ali tak pernah melawan saat dipukul oleh dirinya. Kenapa kali ini berbeda?
“Anton, nyawa tukar nyawa!” teriak Ali.
Ali mulai memukuli Anton sampai seluruh tubuh Anton bengkak. Setelah Anton terkapar lemas, Ali berkata, “Anton, jangan pikir semua tindakanmu selama ini tidak akan ada balasannya. Sebelum pengadilan Tuhan nanti, saya adili dulu kamu di dunia.”
Setelah itu, Ali mulai menginjak-injak kemaluan Anton dengan penuh emosi.
Suara kegaduhan itu pun mulai memancing perhatian orang-orang di gudang, mereka terkejut saat melihat kondisi Anton yang sangat memprihatinkan. Sementara itu, Ali kembali ke rumah sakit untuk mengurus jenazah ibunya dengan kondisi linglung.
Mentari kehidupannya sudah terbenam dan tak akan bersinar lagi. Gelap sudah langit Ali sejak saat itu.