MAK Bab 10

MAK Bab 10
5
(1)

Pagi itu, Ali duduk di kursi kayu sederhana di tepi lahannya yang luas, memperhatikan para tukang bangunan menyusun rangka kandang ayam modern yang akan segera berdiri. Ia baru saja memesan kandang dengan kapasitas 1.000 ekor ayam. Di tangannya, ada secangkir kopi yang mengepul, menemani pikirannya yang tengah sibuk memikirkan langkah-langkah ke depan.

Tiba-tiba, ponselnya berdering. Nama Nando muncul di layar. Ali segera mengangkatnya.

“Halo, Ali! Kamu di mana? Aku bosan banget hari ini. Ayo main!” suara Nando terdengar bersemangat.

Ali tersenyum kecil. “Aku lagi di lahan kandang ayam, Ndo. Eh, kebetulan banget, aku memang pengin ketemu kamu juga.”

“Serius? Oke, aku nyusul sekarang!” sahut Nando cepat sebelum menutup telepon.

Sekitar 30 menit kemudian, suara motor Nando terdengar mendekat. Saat sampai, ia melihat Ali berdiri di tengah lahan seluas satu hektar itu, menyaksikan tukang-tukang sibuk merakit rangka kandang ayam modern. Beberapa pekerja sedang memasang dinding dan atap kandang yang terbuat dari bahan berkualitas, sementara lainnya menyiapkan sistem sirkulasi udara dan tempat pakan otomatis.

Nando turun dari motornya dan berjalan mendekati Ali. Ia menepuk bahu sahabatnya dengan bangga.

“Gila, Li… aku benar-benar kagum sama kamu. Dulu kita cuma anak kampung yang nggak punya apa-apa, sekarang kamu udah sejauh ini. Kamu bangkit dan maju, bro!” ucap Nando dengan nada tulus.

Ali tersenyum dan menatap sahabatnya itu. “Makasih, Ndo. Kalau bukan karena kamu, mungkin aku nggak akan bisa sampai di titik ini. Kamu selalu ada waktu aku jatuh. Makasih udah jadi sahabat yang baik.”

Nando menepuk dada dengan bangga. “Jelas dong! Kita ini bukan cuma sahabat, tapi saudara. Aku bakal selalu dukung kamu, Li.”

Setelah berkeliling lahan, mereka kembali ke gerbang kayu di pintu masuk. Tak lama kemudian, sebuah mobil pick-up melaju pelan mendekati mereka. Di bak belakangnya, ada dua motor trail yang terlihat mengilap, masih baru dengan plastik yang belum dilepas.

Mata Nando membelalak. “Eh, itu motor siapa? Kok ada dua?” tanyanya curiga.

Ali tersenyum lebar dan menepuk bahu Nando. “Yang hitam buat aku… dan yang merah buat kamu.”

Nando terdiam, matanya membesar nggak percaya. “Serius, Li?! Ini motor impian kita sejak dulu! Kamu beliin buat aku juga?”

Ali mengangguk mantap. “Iya, Ndo. Kamu selalu ada buat aku, dan aku pengin kita sama-sama ngerasain hasil dari kerja keras ini. Jadi, ayo kita nikmati hidup juga.”

Nando tiba-tiba melompat kegirangan, berlari ke arah motor merah itu. “Ali, sumpah! Ini mimpi atau kenyataan?! Aku nggak percaya! Aduh, makasih, bro! Kita harus segera coba ini!”

Ali tertawa melihat reaksi sahabatnya. “Tenang, kita bakal sering main bareng pakai ini. Tapi sebelum itu, bantuin aku beresin lahan ini dulu!”

Nando mengangguk semangat. “Siap, bos! Pokoknya aku bakal bantuin kamu sukses!”

Ferdi masih belum bisa melupakan kejadian di Kota Adara. Rasa malu karena dipermalukan Ali di depan calon mertuanya masih membekas di hatinya. Sekarang, ia sudah kembali ke Kabupaten Halmora, tapi dendamnya belum juga padam.

Sore itu, Ferdi sedang berada di toko bangunan milik temannya. Ia bersandar di meja kasir, main dengan ponselnya sambil ngobrol santai. Dari arah belakang, terdengar suara para tukang yang tengah sibuk berbincang.

“Bos, pesanan buat kandang ayam atas nama Ali ini besar banget. Ini orang kaya baru atau orang kota, ya?” salah satu tukang bicara ke pemilik toko.

Teman Ferdi tertawa kecil. “Katanya sih orang sini. Entah kaya baru atau bukan, yang penting ordernya banyak. Bagus buat bisnis kita.”

Ferdi yang awalnya nggak peduli, tiba-tiba mengangkat kepalanya. Nama “Ali” yang disebut barusan menarik perhatiannya. Ia menyipitkan mata, mencerna informasi itu.

“Ali? Jangan-jangan… Ali yang itu?” pikir Ferdi.

Pikiran licik pun mulai terlintas di benaknya. “Orang kayak dia pasti masih polos. Meski punya uang, aku yakin dia nggak ngerti urusan perizinan. Kalau dia bangun peternakan tanpa izin, itu bisa jadi masalah besar buat dia.”

Malamnya, Ferdi pergi ke rumah Andini. Tapi tujuannya bukan buat ketemu Andini, melainkan ayahnya, Pak Ratman. Dengan penuh percaya diri, Ferdi masuk ke ruang tamu dan bicara dengan nada serius.

“Pak, saya ada informasi penting soal warga di Halmora yang bangun usaha ilegal. Ini bisa bahaya buat lingkungan dan menyalahi aturan.”

Pak Ratman mengangkat alis. “Siapa?”

Ferdi tersenyum tipis. “Ali, Pak. Dia lagi bangun peternakan ayam besar, tapi saya yakin dia nggak punya izin resmi.”

Pak Ratman menghela napas, tampak berpikir. Tapi karena posisinya sebagai bupati, ia tetap harus memastikan kebenaran informasi itu. Ia pun memutuskan buat menindaklanjutinya.

Di lahan peternakan Ali, suasana cukup sibuk. Kandang ayam hampir selesai dibangun, dan truk yang bawa anak-anak ayam baru aja tiba. Ali dan Nando berdiri di dekat gerbang, mengamati pekerja yang sedang sibuk menata tempat pakan dan minum buat ayam-ayam yang bakal datang.

“Akhirnya, semua hampir beres,” ujar Nando sambil tersenyum.

Ali mengangguk. “Iya. Ini bakal jadi langkah besar buat kita, Ndo.”

Tapi, nggak lama kemudian, suara deru mesin mobil terdengar mendekat. Mereka menoleh dan melihat tiga mobil berplat merah berhenti di depan gerbang peternakan. Dari mobil pertama, keluar Pak Ratman dengan ajudannya, diikuti Ferdi yang jalan dengan ekspresi penuh kemenangan.

Nando langsung merasa ada yang nggak beres. Ia menoleh ke arah Ali dengan wajah tegang. “Li… ini pasti ada masalah. Kenapa tiba-tiba bupati datang ke sini?”

Ali tetap tenang dan tersenyum tipis. “Santai, Ndo. Aku udah urus semuanya. Nggak ada yang perlu dikhawatirkan.”

Tapi di dalam hatinya, Ali sudah tahu, ini pasti ulah Ferdi.

Udah beberapa hari sejak sibuk bangun peternakan, Ali nggak pakai kekuatannya buat lihat masa depan. Tapi hari ini, entah kenapa firasatnya nggak enak. Ada sesuatu yang janggal dari kedatangan Pak Ratman dan Ferdi.

Ali menarik napas dalam-dalam, lalu memejamkan mata. Ia memfokuskan pikirannya buat lihat kondisi 10 jam ke depan.

Pandangannya tiba-tiba berubah. Dalam penglihatannya, ia lihat puluhan Satpol PP datang ke peternakannya. Mereka menghancurkan kandang ayam yang baru aja selesai dibangun. Terdengar teriakan penuh amarah. “Jangan macam-macam! Kamu udah macam-macam sama orang yang salah!”

Ali tersentak dan kembali ke waktu sekarang. Keringat dingin mengalir di pelipisnya. Ia tahu masa depan masih bisa diubah. Ia harus hati-hati dalam ambil langkah.

Nggak lama, Pak Ratman turun dari mobil bareng dua ajudannya. Ferdi jalan di belakang dengan ekspresi puas, seolah yakin Ali bakal segera dapat masalah besar.

Pak Ratman langsung tanya dengan nada tajam. “Ali, izin usaha dan urusan pajak ke pemerintah udah beres?”

Ali sedikit gugup, tapi tetap tenang. “Udah, Pak. Semua dokumen lengkap. Ada di gubuk dekat gerbang itu.”

Ferdi menyeringai, jelas berharap Ali ketakutan. Tapi Ali nggak semudah itu dijatuhkan. Ia tahu siapa lawan sebenarnya. Bukan Pak Ratman, tapi Ferdi dengan otak liciknya.

Ali melangkah ke gubuk kayu kecil tempat ia simpan dokumen-dokumen penting. Ia membuka mapnya dan sengaja nyelipin selembar kertas di antara dokumen izin usahanya.

Saat Pak Ratman menerima dan membuka dokumen itu, matanya langsung membesar. Ia terkejut lihat selembar kertas yang terselip di sana.

Ferdi, yang awalnya yakin bisa jatuhin Ali, mendadak kelihatan panik. “Apa itu, Pak?” tanyanya dengan cemas.

Pak Ratman nggak langsung jawab. Wajahnya berubah serius, dan sekarang ia menatap Ali dengan tatapan berbeda. Sesuatu dalam kertas itu udah mengguncang pikirannya.

Rate cerita ini yuk Kak!

Click on a star to rate it!

Average rating 5 / 5. Vote count: 1

No votes so far! Be the first to rate this post.

Mak Ali Kaya!

Mak Ali Kaya!

Status: Completed Author:

Terlahir di tengah kemiskinan dan hidup di bawah bayang-bayang ayah yang kasar, Ali tumbuh dengan luka yang tak terlihat. Hari-harinya penuh kekerasan, hingga satu peristiwa tragis menimpa ibunya, satu-satunya sosok yang memberinya kasih.

Namun justru dari titik terendah itulah, semangat Ali bangkit. Di tengah keputusasaan, ia menemukan sebuah kekuatan misterius yang perlahan mengubah segalanya. Tak cuma kekuatan fisik, tapi juga keberanian untuk menantang nasib yang selama ini menindasnya.

Dengan tekad baja dan kekuatan tak dikenal, Ali melangkah melawan takdir, berjuang menegakkan keadilan bukan hanya untuk dirinya, tapi untuk semua yang pernah terinjak seperti dirinya.

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Plugin Kapsule Corp

Options

not work with dark mode
Reset
Part of PT. King Alin Jaya