MAK Bab 11

MAK Bab 11
5
(1)

Ali pura-pura polos dan menatap Pak Ratman dengan bingung. “Ada yang salah dengan dokumen saya, Pak?” tanyanya dengan wajah lugu.

Pak Ratman menyerahkan kertas yang membuatnya terkejut tadi. Ali melirik sekilas, lalu menepuk dahinya dengan ekspresi menyesal. “Aduh, saya salah masukin dokumen, Pak. Itu bukan untuk sekarang. Perizinannya ada di bawah kertas itu.”

Pak Ratman segera memeriksa kembali tumpukan dokumen. Setelah mengecek surat perizinan yang asli, ia mengangguk pelan. “Hmm, semuanya aman. Dokumen ini lengkap dan sah.”

Ferdi, yang sedari tadi menunggu momen untuk menjatuhkan Ali, terlihat kesal. Namun, ia masih punya satu kartu untuk dimainkan. Dengan nada merendahkan, ia bertanya, “Tapi aku penasaran, Ali. Kamu bisa punya saham dengan kode NOANN sebanyak itu gimana caranya? Kalau dirupiahkan, totalnya 150 juta. Buat orang Halmora, itu duit yang banyak banget, kan?”

Ali belum sempat menjawab, Ferdi sudah menyeringai dan mengangkat ponselnya. “Dan kamu bodoh banget beli saham ini! Lihat nih!”

Ferdi menunjukan grafik saham NOANN yang sedang anjlok. “Sebentar lagi NOANN bakal hancur! Siap-siap rugi gede, Ali!” katanya sambil tertawa sinis.

Namun, Ali tetap tenang. Ia sudah melihat masa depan satu jam ke depan melalui kekuatannya. Ia tahu saham itu memang turun sebentar, tapi setelahnya akan naik lagi. Ia melirik layar ponsel Ferdi dan tersenyum.

“Iya, memang bakal turun sebentar,” kata Ali santai. “Tapi kalau dilihat dari pola grafiknya, ini bakal naik lagi dalam waktu dekat.”

Pak Ratman memperhatikan Ali dengan lebih serius. Selama beberapa hari ini, ia memang sudah diajarkan investasi saham oleh Ferdi. Rasa penasarannya bangkit. Ia mengeluarkan ponselnya sendiri dan mulai membuka aplikasi investasi sahamnya.

Tiba-tiba, Ali melirik Pak Ratman dan berkata, “Gimana kalau saya kasih saldo 15 juta, Pak? Biar Bapak bisa coba sendiri beli saham ini.”

Begitu kata-kata itu keluar dari mulutnya, Ali langsung merasa panik. Ia takut ucapannya akan dianggap melecehkan atau merendahkan Pak Ratman. Bagaimanapun, Pak Ratman adalah seorang bupati.

Namun, di luar dugaan, Pak Ratman malah tersenyum tipis. Tatapannya tajam, penuh rasa ingin tahu. “Menarik,” katanya. “Baik, saya terima tantanganmu, Ali.”

Tanpa ragu, Pak Ratman memasukkan semua uang yang Ali berikan untuk membeli saham NOANN. Ferdi, yang melihat itu, mendengus kesal. “Terserah deh. Jangan nyesel aja, Pak.”

Ali hanya tersenyum kecil. Ia tahu, dalam waktu dekat, mereka akan melihat siapa yang sebenarnya lebih paham soal saham.

Tak lama kemudian, suara motor tua terdengar mendekat ke peternakan. Sutini turun dari boncengan tetangganya dengan membawa rantang besar berisi nasi liwet dan berbagai lauk. Senyum ramahnya langsung menyapa para pekerja yang sedang beristirahat.

“Ali! Aku bawain makanan! Kalian pasti belum makan siang, kan?” seru Sutini sambil berjalan menuju gubuk.

Namun, langkahnya terhenti begitu melihat sosok Pak Ratman berdiri di sana. Wajahnya langsung pucat. Tangannya mencengkeram erat rantang yang dibawanya.

“Ya Allah, Ali… kamu nggak macam-macam kan? Ini orang penting, Nak!” bisik Sutini panik.

Ali tersenyum kecil, mencoba menenangkan ibunya. Ia pun kembali menggunakan kekuatannya untuk melihat kondisi 10 jam ke depan. Kali ini, tidak ada tanda-tanda keributan atau masalah besar seperti yang ia lihat sebelumnya. Ia menghela napas lega.

Ajudan Pak Ratman tampak ragu. “Pak, sebaiknya kita tidak sembarangan menerima makanan dari orang lain.”

Pak Ratman hanya menepuk pundaknya sambil tersenyum. “Tidak apa-apa. Nasi liwet itu makanan kesukaanku waktu kecil.”

Akhirnya, mereka semua duduk berkumpul di gubuk kecil itu, menikmati makanan yang dibawa Sutini. Para pekerja juga ikut makan dengan lahap. Bahkan Ferdi, yang masih menyimpan kebencian pada Ali, tak bisa menolak aroma lezat hidangan itu.

Dalam hati, Ferdi terus menantikan momen di mana saham NOANN yang dibeli Pak Ratman jatuh, membuat Ali malu besar. Ia sesekali melirik ponselnya dengan penuh harapan.

Namun, tak lama setelah mereka selesai makan, sesuatu yang tidak ia duga terjadi. Pak Ratman berbisik pada salah satu ajudannya. Ajudan itu pun segera berjalan menuju mobil dinasnya, seolah mengambil sesuatu.

Sutini semakin panik. Ia mencubit lengan Ali. “Ali… kita ada salah ngomong atau gimana? Kenapa ajudannya pergi ke mobil?” bisiknya cemas.

Ali sendiri ikut bertanya-tanya. Tapi, ia tetap mencoba tenang.

Setelah para pekerja kembali melanjutkan tugas mereka, di gubuk itu hanya tersisa Ali, Sutini, Nando, Ferdi, Pak Ratman, dan kedua ajudannya.

Ajudan tadi kembali dengan sebuah amplop tebal. Ia menyerahkannya kepada Pak Ratman, yang kemudian memberikan amplop itu kepada Ali.

Ali langsung panik. “Ini uang apa, Pak?” tanyanya dengan kaget.

Pak Ratman tersenyum sambil melirik ponselnya. “Ini uang yang tadi kamu pinjamkan untuk membeli saham NOANN. Barusan saya cek, harganya naik 10 kali lipat.”

Ali membelalak. Ia buru-buru menggeleng dan menolak amplop itu. “Pak, saya nggak butuh pengembalian dalam bentuk cash. Lagipula, saya nggak ada niat mengambil keuntungan dari Bapak…”

Pak Ratman menatapnya dengan tegas. “Ali, saya bukan pejabat yang haus akan uang yang bukan hak saya. Saya tidak mengambil keuntungan dari uang orang lain. Ini adalah hakmu.”

Ali masih ragu, tapi melihat tatapan serius Pak Ratman, ia akhirnya menerima amplop itu dengan penuh hormat. Dalam hati, ia tersenyum puas. Hari ini, ia tidak hanya membuktikan bahwa dirinya bukan orang sembarangan, tapi juga berhasil membuat Ferdi semakin geram.

Ferdi hanya bisa terdiam, rahangnya mengatup erat. Ia tidak percaya apa yang baru saja terjadi. Rencana untuk mempermalukan Ali malah berbalik menghantamnya. Namun, yang paling menyakitkan adalah kalimat terakhir dari Pak Ratman sebelum pergi.

“Ali, kalau ada waktu, main ke rumah. Ajarkan Andini tentang saham juga.”

Ali tersenyum bahagia mendengar itu. Kalimat itu seperti lampu hijau untuknya. Setidaknya, ia punya alasan untuk lebih dekat dengan Andini, tanpa harus takut dengan tekanan dari Pak Ratman.

Sementara itu, Ferdi hanya bisa menahan amarahnya. Ia ingin protes, tapi bagaimana caranya? Pak Ratman sendiri yang mengatakannya.

Saat mobil-mobil berplat merah itu pergi, Ali menatap Nando dengan senyum penuh arti. “Nando, cek akun saham kamu.”

Nando mengernyit, lalu mengeluarkan ponselnya. Begitu membuka aplikasi investasi, matanya melebar kaget. “Ali! Ini apa?! Kok ada saldo 150 juta?! Aku nggak pernah beli saham apa pun!”

Ali tertawa kecil. “Aku baru saja transfer saham yang sama senilai 15 juta ke akun kamu. Sama seperti yang aku tawarkan ke Pak Ratman tadi.”

Nando menatap Ali dengan penuh haru. “Ali… Aku bahkan belum pernah benar-benar beli saham di akun ini. Aku cuma bikin akunnya seminggu lalu buat iseng-iseng belajar.”

Ali menepuk pundak sahabatnya. “Aku nggak mau sukses sendiri, Do. Kita sudah sama-sama susah, jadi sekarang saatnya kita sama-sama naik.”

Mata Nando memerah. Ia tak bisa menahan air matanya. Setelah dibelikan motor impian, kini Ali juga memberinya jalan menuju dunia investasi.

“Kamu itu baik banget, Li… Aku nggak tahu harus bilang apa…” ucapnya dengan suara bergetar.

Ali hanya tersenyum. Ia tahu, ini baru awal dari perjalanan mereka. Tapi satu hal yang pasti, ia tidak akan berjalan sendiri.

Waktu sudah mulai sore. Matahari mulai tenggelam, langit berubah menjadi jingga keemasan. Sutini mengajak Ali dan Nando untuk pulang.

“Ali, ayo pulang. Kamu juga Nando, sudah seharian di sini,” ucap Sutini, menyeka keringat di dahinya.

Ali mengangguk, lalu merapikan barang-barangnya. Namun, sebelum mereka benar-benar beranjak, ponsel Ali bergetar. Ada panggilan masuk dari Salam, seorang kenalan lama yang merupakan teman Anton, ayahnya.

Ali ragu sejenak sebelum mengangkatnya. “Halo, Pak Salam?”

Suara berat di seberang terdengar agak tergesa. “Ali, bapakmu sudah dibebaskan.”

Jantung Ali berdegup kencang. Ia mengerutkan kening. “Apa? Siapa yang menjaminnya?”

Ada jeda sebentar sebelum Salam menjawab. “Seorang bandar judi. Mereka pikir lebih baik membebaskan bapakmu supaya dia bisa kerja dan membayar utangnya. Termasuk uang jaminan yang harus dibayar juga nantinya.”

Ali mengepalkan tangannya. Ini berita buruk. Jika Anton keluar dengan beban utang dari orang-orang seperti itu, pasti hanya akan membawa masalah baru.

Ia menghela napas panjang dan melirik ibunya yang tampak kelelahan. Dalam hatinya, Ali bersumpah harus menjaga ibunya lebih ketat.

Tanpa membuang waktu, mereka segera pulang. Hatinya sudah dipenuhi firasat buruk.

Begitu sampai di depan rumah, firasat itu langsung terbukti. Di ruang tamu, seorang pria berusia paruh baya duduk santai di kursi reyot. Wajahnya kasar, penuh kerutan keras kehidupan. Matanya tajam, menyorotkan sesuatu yang tidak disukai Ali.

Anton.

Ali langsung melangkah masuk dan berdiri di depan ibunya, seolah menjadi tameng. Matanya tak lepas menatap pria itu.

“Kenapa kamu di sini?” tanya Ali, suaranya dingin dan tegas.

Anton menatap putranya, lalu menyeringai kecil. “Kenapa? Nggak senang bapakmu pulang?”

Sutini gemetar di belakang Ali. Ali semakin waspada. Dalam benaknya, ia tahu… masalah besar baru saja dimulai.

Rate cerita ini yuk Kak!

Click on a star to rate it!

Average rating 5 / 5. Vote count: 1

No votes so far! Be the first to rate this post.

Mak Ali Kaya!

Mak Ali Kaya!

Status: Completed Author:

Terlahir di tengah kemiskinan dan hidup di bawah bayang-bayang ayah yang kasar, Ali tumbuh dengan luka yang tak terlihat. Hari-harinya penuh kekerasan, hingga satu peristiwa tragis menimpa ibunya, satu-satunya sosok yang memberinya kasih.

Namun justru dari titik terendah itulah, semangat Ali bangkit. Di tengah keputusasaan, ia menemukan sebuah kekuatan misterius yang perlahan mengubah segalanya. Tak cuma kekuatan fisik, tapi juga keberanian untuk menantang nasib yang selama ini menindasnya.

Dengan tekad baja dan kekuatan tak dikenal, Ali melangkah melawan takdir, berjuang menegakkan keadilan bukan hanya untuk dirinya, tapi untuk semua yang pernah terinjak seperti dirinya.

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Plugin Kapsule Corp

Options

not work with dark mode
Reset
Part of PT. King Alin Jaya