MAK Bab 2

MAK Bab 2
0
(0)

Seandainya waktu bisa diulang, Ali lebih memilih tinggal di rumah saja. Jika Ali tidak pergi ke sekolah, nyawa ibunya mungkin masih bisa selamat.
Dalam keadaan hati yang hancur, Ali mulai memandikan jenazah ibunya.
Melihat Ali yang tak kuasa menahan air matanya, seorang pemuka agama menghampiri Ali dan berkata, “Nak, kembali saja ke rumah, biar kami yang mengurus jenazah ibumu.”

Rumah Sakit Daerah 1
Dua orang teman kerja Anton cepat-cepat membawa Anton yang sudah jatuh pingsan ke IGD Rumah Sakit Daerah 1.
“Si Ali ternyata tenaganya besar juga, ya. Anton yang badannya gede gini bisa loh dihabisin sampai seperti ini,” ujar Salam.
Setelah melewati proses pemeriksaan, dokter yang memeriksa Anton segera menghampiri Salam dan yang lainnya, “Bapak-bapak, kondisi pasien sangat parah, apalagi kondisi kemaluannya yang hancur. Jadi ….” Dokter itu terdiam sejenak.
“Jadi harus bagaimana, Dok?” tanya Ardi, teman Anton yang lainnya.
Dokter itu melanjutkan lagi, “Jadi, kemaluan pasien terpaksa harus diamputasi setengahnya, harus dibuang bagian yang sudah hancurnya.”
“Waduh! Aset berharganya harus diamputasi? Nggak ada cara lain, Dok?” tanya Salam.
“Mohon maaf, nggak ada cara lain. Kalau dibiarkan saja, nanti bisa busuk sendiri, yang ada malah akan menginfeksi bagian yang masih utuhnya,” jawab Dokter.
Salam dan Ardi pun berdiskusi sebentar, akhirnya mereka memutuskan untuk menelepon Ali untuk meminta masukannya.
Tak butuh waktu lama, Ali langsung mengangkat telepon Salam, “Halo.”
“Ali, ayahmu masuk rumah sakit gara-gara kamu. Kamu ke sini dulu, penting, kondisinya parah,” ujar Salam dengan terus-terang.
Ali masih larut dalam kesedihan dan emosi yang mendalam, dia pun menjawab dengan penuh emosi, “Ali nggak peduli, mau Ayah mati atau gimana, Ali nggak peduli. Selepas jenazah Ibu dimakamkan, Ali akan laporkan Ayah ke polisi.”
Salam menyalakan speaker telepon itu. Alhasil, Ardi yang ikut mendengarnya pun turut terkejut.
“Maksudnya gimana, Ali? Memangnya salah apa ayah kamu?” tanya Ardi yang merebut ponsel Salam.
“Ayah sudah bunuh Ibu, Ibu Ali meninggal karena ayah. Sekarang terserah kalian mau diapakan dia, Ali nggak peduli. Sudah dulu, ya!” ucap Ali dengan emosi.
Ardi dan Salam akhirnya menyetujui prosedur amputasi kemaluan Anton.

Tiga hari berlalu dengan begitu lambat bagi Ali. Hari ini, hari ketiga Ali tanpa sosok ibu dalam hidupnya. Kondisi Ali yang sudah mulai lebih tenang pun segera pergi ke rumah Arhan untuk ditemani ke kantor polisi membuat laporan pembunuhan ibunya.
“Om Arhan, Ali mau minta tolong temani ke kantor polisi, ya?” tanya Ali pada Arhan.
Arhan sudah bertetangga dengan keluarga Ali sejak lama, dia tahu betul bagaimana sikap Anton pada istri dan anaknya. Jadi, Arhan pun menemani Ali ke kantor polisi.
Sesampainya di kantor polisi, salah satu polisi yang menangani kasus laporan Ali bertanya, “Dek, kamu yakin mau laporin ayah kamu? Kalau sudah buat laporan, lalu laporannya sudah maju ke penyidikan, kamu udah nggak bisa mencabut laporannya lagi. Saya rasa, lebih baik kamu pertimbangin la ….”
Polisi itu belum sempat meneruskan ucapannya, Ali sudah memotong, “Saya yakin, Pak. Orangnya sekarang masih di rumah sakit, saya mau mengaku juga saya sudah memukuli ayah saya saat hari kejadian. Saya emosi Pak saat itu.”
Ali yang berbudi pekerti luhur tak pernah melakukan kekerasan apa pun sebelumnya. Dirinya saja masih agak menyesal setelah memukuli ayahnya habis-habisan, ditambah Ali juga takut dilaporkan balik oleh ayahnya.
Namun, respons polisi langsung membuat hati Ali lega, polisi itu berkata, “Saya paham Dek, saya juga mungkin akan melakukan hal yang sama kalau saya ada di posisi kamu. Yang pasti, kamu jangan ulangi pakai kekerasan lagi ke depannya.”
Ali pun menjawab dengan tegas, “Ini pertama dan terakhir Pak, saya nggak pernah pakai kekerasan sebelumnya dan nggak akan pernah terulang lagi.”
Laporan polisi pun selesai dibuat, sambil menunggu proses selanjutnya, Arhan mengajak Ali untuk melihat kondisi ayahnya. Ali awalnya sangat enggan untuk menemuinya, tetapi akhirnya tetap menyetujui ajakan Arhan. Polisi juga turut ikut ke rumah sakit untuk melihat kondisi Anton dan menanyainya beberapa pertanyaan mengenai kasus ini.
Jika hal ini terjadi di sinetron, mungkin reaksi Anton akan menyesal dan membenci dirinya sendiri karena sudah membunuh istrinya. Sayang sekali, realita tak selalu berjalan begitu mulus.
Begitu melihat Ali masuk ke ruang rawatnya, Anton langsung berteriak, “Ali! Harusnya saya juga bunuh kamu sekalian! Anak kurang ajar! Lihat apa yang sudah kamu lakukan. Dasar kamu anak durhaka, setelah ibumu, saya akan bunuh kamu juga! Jangan pernah panggil saya ayah lagi, saya bukan ayah kamu mulai sekarang!”
Ali baru saja masuk ruang rawat itu, dia pun segera mundur ke pintu lagi dan memanggil polisi yang berada di luar pintu.
“Pak, sepertinya kasus ini nggak perlu interogasi lagi, pelakunya sudah mengaku sendiri. Sepertinya, pasalnya bisa bertambah, barusan ada ancaman pembunuhan untuk saya juga,” ujar Ali dengan tenang.
Ketenangan jiwa ini entah berasal dari mana. Rasa dendam pada ayahnya sudah tidak begitu membuncah. Mungkin, ibunya terus memeluk jiwanya dari kejauhan sana, atau mungkin jiwa ibunya masih berada di sampingnya.
Anton terkejut bukan main begitu mendengarnya. Dia tidak menyangka bahwa putranya akan mengambil langkah ini. Anton panik dan berkata, “Pak, nggak begitu kejadian aslinya. Barusan saya karena emosi saja. Saya bisa jelasin, waktu itu ibunya jatuh karena tersandung. Ibunya itu udah sakit-sakitan, gampang jatuh. Yang harus dipenjara itu malah si Ali ini, dia sudah pukulin saya sampai aset penting saya harus diamputasi. Saya sudah tidak berguna lagi.”
Polisi yang menangani kasus itu hanya tersenyum dan berkata, “Pak, tenang dulu. Saksi mata kejadian itu banyak, tetangga Bapak banyak yang mendengar dan melihat langsung kejadiannya. Barusan saya sudah konsultasi sama dokter, Bapak sudah bisa dirawat di rumah. Jadi, Bapak siap-siap mental dan diri dulu, ya. Sore ini juga Bapak ikut saya ke kantor polisi.”

Sore itu, Ali kembali ke rumahnya yang sudah tak hangat lagi. Memang benar, rumah akan kacau ketika sosok ibu telah tiada.
“Ali, kamu kuliah, ya. Jangan lama-lama larut dalam kesedihan, Ibu sudah bahagia di sini.”
Ali terkejut, dia melihat ibunya begitu cantik dan muda seperti saat dirinya masih duduk di bangku sekolah dasar.
“Bu, Ali nggak mau kuliah, Ali mau sama Ibu aja. Untuk apa Ali hidup kalau tanpa Ibu?”
Ali melihat ibunya mulai pergi meninggalkannya.
Setelah itu, Ali pun terbangun dari mimpinya dengan mata yang basah.
“Mimpi apa ini? Jadi, ibu meninggal itu hanya mimpi saja?” gumam Ali.
Begitu melihat ke kanan dan ke kiri, Ali pun tersadar, ibunya benar-benar sudah pergi. Kini, Ali yakin, ibunya sudah bahagia di sana.
Namun, harus pergi ke mana sekarang? Rumah adalah tempat pulang, tetapi rumah Ali sudah pergi.
Hujan rintik-rintik membasahi tanah di halaman rumah, seolah ikut meratapi kepergian seorang ibu yang begitu dicintai. Di sudut kamar yang remang-remang, Ali terduduk dengan lutut terlipat, tangannya menggenggam foto ibunya yang kini hanya tinggal kenangan. Isak tangisnya lirih namun menyayat hati, memenuhi ruangan dengan kesedihan yang tak bertepi.
Tiba-tiba, suara langkah kaki tergopoh-gopoh terdengar dari luar. Ali menoleh dengan mata sembab. Pintu terbuka dengan kasar, menampilkan sosok Anton, ayahnya yang baru saja pulang dari rumah sakit. Napasnya tersengal, tubuhnya basah oleh keringat dan hujan, namun yang paling mencolok adalah balok kayu yang digenggam erat di tangannya.
Anton melangkah mendekat, wajahnya dipenuhi amarah yang membara. Matanya tajam, menusuk Ali yang masih terisak di lantai.
“Kalau tahu begini jadinya,” suara Anton serak dan berat, “lebih baik dari dulu aku tidak punya anak sepertimu!”
Ali membeku. Hatinya yang sudah hancur kini remuk sepenuhnya.
“Kau lebih baik ikut ibumu saja!” lanjut Anton dengan suara menggelegar.
Sebelum Ali sempat berkata apa-apa, balok kayu itu terangkat tinggi, lalu menghantam kepalanya dengan keras. Seketika, nyeri luar biasa menyebar ke seluruh tubuhnya, dan darah hangat mengalir membasahi wajah serta lantai kayu di bawahnya.
Dunia mulai berputar. Pandangannya kabur, tubuhnya terasa ringan. Di sela-sela kesadarannya yang memudar, Ali melihat sosok ibunya berdiri di dekat pintu, tersenyum lembut padanya. Gaun putih yang dikenakan ibunya berkibar pelan, seolah mengundangnya untuk mendekat.
Ali tersenyum lemah, air matanya bercampur darah yang mengalir dari dahinya.
“Memang lebih baik aku pergi bersamamu, Bu…” gumamnya lirih sebelum segalanya berubah menjadi gelap.

Rate cerita ini yuk Kak!

Click on a star to rate it!

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Mak Ali Kaya!

Mak Ali Kaya!

Status: Completed Author:

Terlahir di tengah kemiskinan dan hidup di bawah bayang-bayang ayah yang kasar, Ali tumbuh dengan luka yang tak terlihat. Hari-harinya penuh kekerasan, hingga satu peristiwa tragis menimpa ibunya, satu-satunya sosok yang memberinya kasih.

Namun justru dari titik terendah itulah, semangat Ali bangkit. Di tengah keputusasaan, ia menemukan sebuah kekuatan misterius yang perlahan mengubah segalanya. Tak cuma kekuatan fisik, tapi juga keberanian untuk menantang nasib yang selama ini menindasnya.

Dengan tekad baja dan kekuatan tak dikenal, Ali melangkah melawan takdir, berjuang menegakkan keadilan bukan hanya untuk dirinya, tapi untuk semua yang pernah terinjak seperti dirinya.

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Plugin Kapsule Corp

Options

not work with dark mode
Reset
Part of PT. King Alin Jaya