MAK Bab 3

MAK Bab 3
0
(0)

Ali terbangun dengan suara langkah kaki terburu-buru. Jantungnya berdegup kencang, matanya masih berat, namun suara itu terus mendekat.

Pintu kamar terbuka dengan kasar. Seorang pria masuk, wajahnya penuh dengan kecemasan. Itu Salam, teman ayahnya, Anton.

“Ali! Bangun! Cepat tolong ayahmu!” seru Salam tergesa-gesa.

Ali mengerjap, masih setengah sadar. “Apa? Ada apa?”

“Anton dipukuli bandar judi! Hutangnya sudah mencapai lima belas juta! Mereka hampir membunuhnya!” Salam menjelaskan dengan suara gemetar.

Ali terdiam. Otaknya berusaha mencerna informasi itu. Jika Anton dipukuli sekarang… lantas, apa kemarin saat Anton memukulnya hanya membuatnya pingsan? Jadi, dia tidak mati?

Saat pikiran itu berkelebat di benaknya, Salam kembali bersuara.

“Di mana ibumu, Ali? Aku perlu bicara dengannya!” tanyanya serius.

Ali semakin bingung. Apa yang terjadi kemarin hanya mimpi? Ibunya meninggal hanyalah ilusi?

“Pergi, Salam. Aku butuh waktu…” jawab Ali lemah.

Salam menatapnya sesaat, lalu menghela napas dan pergi. Ali masih terduduk di ranjang ketika ponselnya berdering. Nama Nando muncul di layar.

“Ali, cepat ke sekolah sekarang!” suara Nando terdengar panik.

Ali mengernyit. Apa yang terjadi? Dengan tangan gemetar, ia melihat kalender di ponselnya.

Matanya membesar. Hari ini… tanggal ini…

Ini adalah hari di mana ibunya akan meninggal karena dipukul Anton.

Tanpa berpikir panjang, Ali melompat dari tempat tidur dan berlari keluar rumah. Tanpa alas kaki, ia melesat menuju pasar, hanya untuk memastikan segalanya. Napasnya tersengal, kakinya perih terkena kerikil jalanan, namun dia tidak peduli.

Ia harus sampai sebelum semuanya terlambat.

Di kejauhan sana, Ali melihat Sutini, ibunya, sedang melayani pelanggan di pasar. Tanpa berpikir panjang, ia langsung berlari dan memeluk ibunya erat.

Sutini terkejut. “Ali? Ada apa, Nak? Kenapa tiba-tiba memeluk Ibu seperti ini?”

Ali menatap ibunya dengan mata berkaca-kaca. “Ibu baik-baik saja, kan? Ibu jangan kenapa-kenapa… Ali akan bahagiakan Ibu, akan selamatkan Ibu!” katanya dengan suara bergetar.

Sutini tersenyum, masih heran dengan tingkah putranya. Ia menepuk pundak Ali dengan lembut. “Semua baik-baik saja, Nak. Kenapa kamu berbicara seperti itu?”

Saat itu, ponsel Ali kembali berdering. Nama Nando muncul di layar, dan suara dari seberang telepon terdengar persis seperti sebelumnya, menyuruhnya segera ke sekolah.

Namun kali ini, Ali menjawab dengan tenang, “Aku akan ke sekolah besok. Hari ini nggak bisa.”

Waktu sudah siang. Sutini mulai membereskan dagangannya agar bisa segera pulang ke rumah. Ia menatap Ali dan berkata, “Nak, pergilah ke sekolah. Jangan sampai ketinggalan pelajaran.”

Ali menggeleng dengan tegas. “Aku nggak mau, Bu. Aku mau menemani Ibu.” Suaranya penuh tekad.

Sutini menatapnya dengan bingung, tetapi Ali tetap bersikeras. Baginya, ia harus memastikan apakah kejadian kemarin hanyalah mimpi… atau mungkin, ia benar-benar diberi kesempatan hidup kedua.

Ali dan Sutini akhirnya sampai di rumah. Tanpa menunda waktu, Ali segera menuju dapur dan mulai membuatkan nasi goreng kesukaan ibunya. Aroma harum bawang putih dan kecap mulai memenuhi ruangan. Sambil mengaduk wajan, dalam hatinya ia berpikir, ternyata semua yang terjadi hanya mimpi belaka. Mungkin semua ini hanyalah ketakutannya saja.

Namun, ketenangan itu tak bertahan lama.

Bruk!

Suara benda jatuh terdengar dari ruang tamu, diiringi teriakan panik dari ibunya.

“Ali! Ini uang kuliah buat kamu! Kamu harus sekolah!” seru Sutini dengan nada penuh ketakutan.

Ali tersentak. Dengan cepat, ia mematikan kompor gas dan bergegas menuju ruang tamu. Pandangannya membelalak saat melihat Anton berdiri di sana, menggenggam sebuah balok kayu, siap menghantam kepala Sutini.

Ali hendak menangkis pukulan itu, namun yang terjadi justru dirinya yang terpukul. Rasa sakit menghantam kepalanya, pandangannya mengabur, dan kesadarannya perlahan menghilang.

Beberapa saat kemudian, samar-samar ia mendengar suara hujan. Tubuhnya terasa berat, namun akhirnya ia terbangun. Hal pertama yang keluar dari mulutnya adalah, “Ibu! Ibu di mana?”

Air mata mengalir deras di pipinya. Lagi-lagi, ia terlambat menyelamatkan ibunya.

Tak lama kemudian, Sutini datang membawakan obat. Ali terdiam, lalu menangis sejadi-jadinya. Ibunya masih hidup! Ia selamat!

Sutini duduk di sampingnya dan berkata lembut, “Ali, kamu sudah pingsan tiga hari. Ibu panik, takut kamu nggak bangun lagi.”

Ali belum sempat banyak bertanya ketika Sutini melanjutkan, “Nasib ayahmu, Anton, kini di penjara. Hari itu, Ibu memberanikan diri melaporkan kejadian itu ke polisi. Ibu bisa tahan jika harus tersiksa karena suami sendiri, tapi lain hal kalau sudah menyangkut anak.”

Ali menghela napas lega. Ia bersyukur ibunya akhirnya berani mengambil tindakan, tidak pasrah lagi jika disakiti Anton.

Saat Ali sedang memeluk ibunya, tiba-tiba pintu kamar terbuka. Nando, sahabatnya, dan Bu Dina, guru BK di sekolahnya, datang menjenguk.

Bu Dina tersenyum hangat. “Ali, kamu lulus di jurusan Teknik Sipil di Universitas Adara.”

Ali sempat terdiam. “Tapi… bagaimana dengan biaya?” tanyanya ragu.

Nando langsung menimpali, “Di Adara, ayahku punya kontrakan. Kamu bisa tinggal di sana secara gratis.”

Sutini dengan semangat menggenggam tangan Ali. “Nak, terima saja tawaran ini. Jangan hiraukan Ibu, yang penting masa depanmu.”

Namun, demi ketenangan dirinya, Ali akhirnya mengambil keputusan. Ia akan menerima beasiswa itu dan mengajak ibunya pindah ke Adara, agar mereka bisa memulai hidup baru, jauh dari bayang-bayang masa lalu.

Sore itu, Ali akhirnya bisa pulang dari rumah sakit. Langkahnya masih terasa berat, namun ia bersyukur bisa kembali ke rumah.

Begitu sampai di rumah, ia merasakan kepalanya sakit luar biasa. Sutini yang melihat anaknya kesakitan langsung panik dan segera membawakan obat pereda rasa sakit.

Ali meminum obat itu, berharap rasa nyerinya segera hilang. Namun, rasa sakit masih saja bersarang di kepalanya. Mungkin efek pukulan itu meninggalkan trauma yang mendalam.

Setelah sakit kepalanya agak reda, Ali yang mulai bosan di rumah akhirnya menyalakan TV butut yang ada di ruang tamu. Ia mencoba mencari hiburan, tetapi acara-acara yang ditampilkan terasa sangat membosankan.

Namun, ada hal yang aneh. Saat ia memfokuskan matanya pada layar TV, angka-angka yang menunjukkan nilai tukar rupiah dan harga saham melaju dengan cepat. Bahkan, acara TV yang sedang ia tonton tampak bergerak dengan kecepatan yang tidak normal.

Ali mengerutkan kening. Ia mencoba untuk tidak terlalu memikirkannya, tetapi rasa penasaran semakin besar. Setelah berhenti memfokuskan matanya, angka-angka itu pun ikut berhenti, diam selama sekitar 10 detik, lalu semuanya kembali berjalan seperti semula.

Ali mulai merasa ada yang tidak beres. Apa yang sebenarnya terjadi padanya? Apakah otaknya mengalami kerusakan parah akibat pukulan itu?

Ali segera mematikan TV. Ia merasa dirinya sangat aneh, seolah ada sesuatu yang berubah dalam dirinya.

Waktu sudah menunjukkan saatnya untuk minum obat. Dengan sedikit ragu, ia segera makan masakan ibunya dan meminum obat yang telah diresepkan oleh dokter.

Tak lama kemudian, efek obat mulai bekerja. Kelopak matanya terasa berat, dan ia kembali tertidur.

Keesokan paginya, Ali terbangun dengan perasaan sedikit lebih baik. Ia meyakinkan dirinya bahwa kejadian aneh kemarin hanya efek pukulan yang ia terima.

Namun, rasa penasaran kembali mengusiknya. Ia memutuskan untuk mencoba lagi. Ali memfokuskan pandangan matanya, dan sekali lagi, rentetan waktu di sekitarnya tampak bergerak lebih cepat. Dalam kilasan waktu yang melaju itu, ia melihat ibunya datang membawakan makanan dan obat, lalu membereskan kasurnya.

Ali mengedipkan mata dan semuanya kembali seperti semula. Tak lama setelah itu, ibunya benar-benar datang membawakan makanan dan obat, lalu membereskan kasurnya dengan pakaian yang sama persis seperti yang ia lihat tadi!

Ali tercengang. Apa yang terjadi padanya? Pukulan itu… apakah justru memberinya kekuatan baru?

Hari itu, Ali menghabiskan waktunya dengan istirahat total. Ia benar-benar harus mencoba dan memahami kekuatan barunya.

Sore harinya, kebetulan Nando datang ke rumah untuk menjenguknya. Ali merasa ini adalah momen yang tepat untuk menguji kekuatannya.

Nando datang dengan membawa satu keranjang jeruk. Ali menatap sahabatnya dan mulai memfokuskan matanya. Dalam pandangan yang dipercepat, ia melihat Nando tiba, lalu dalam kelabatan waktu itu, ia menjeda fokusnya dan mendengar Nando berkata, “Kapan akan pergi ke Adara untuk daftar ulang?”

Ali kembali memfokuskan dirinya, dan kali ini ia melihat sesuatu yang lebih jauh. Terlihat Nando berpamitan dan pergi, lalu ibunya, Sutini, datang menggantikannya. Namun, tak lama setelah itu, penglihatannya kembali ke keadaan normal.

Ali terdiam. Ia baru menyadari satu batasan dari kekuatannya, waktu maksimal yang bisa ia lihat ke depan hanyalah 10 jam.

Satu hal lagi yang harus Ali pastikan, apakah saat dirinya menerawang waktu, dirinya terlihat seperti melamun atau tetap terlihat normal?

“Nando, apa aku terlihat aneh? Apa aku terlihat kadang melamun, nggak bisa diajak ngobrol?” tanya Ali, ingin memastikan.

Nando tampak heran dengan pertanyaan itu. Ia mengernyitkan dahi sebelum menjawab, “Nggak, biasa aja. Nggak ada keanehan apa pun.”

Ali langsung menanggapi, “Tapi tadi, pas aku nyapa kamu?”

Nando masih tampak kebingungan. “Nggak ada yang aneh, Li. Aku nyaut kayak biasa.”

Ali terdiam sejenak. Kini ia menyimpulkan satu hal penting, waktu seolah terhenti saat dirinya menggunakan kekuatan itu.

Sore itu, Nando menemani Ali mengobrol hingga sekitar pukul 8 malam. Mereka membicarakan banyak hal, dari rencana ke Adara hingga kehidupan sehari-hari, sementara di benak Ali, ia terus mencoba memahami kekuatan barunya.

Rate cerita ini yuk Kak!

Click on a star to rate it!

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Mak Ali Kaya!

Mak Ali Kaya!

Status: Completed Author:

Terlahir di tengah kemiskinan dan hidup di bawah bayang-bayang ayah yang kasar, Ali tumbuh dengan luka yang tak terlihat. Hari-harinya penuh kekerasan, hingga satu peristiwa tragis menimpa ibunya, satu-satunya sosok yang memberinya kasih.

Namun justru dari titik terendah itulah, semangat Ali bangkit. Di tengah keputusasaan, ia menemukan sebuah kekuatan misterius yang perlahan mengubah segalanya. Tak cuma kekuatan fisik, tapi juga keberanian untuk menantang nasib yang selama ini menindasnya.

Dengan tekad baja dan kekuatan tak dikenal, Ali melangkah melawan takdir, berjuang menegakkan keadilan bukan hanya untuk dirinya, tapi untuk semua yang pernah terinjak seperti dirinya.

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Plugin Kapsule Corp

Options

not work with dark mode
Reset
Part of PT. King Alin Jaya