MAK Bab 4

MAK Bab 4
0
(0)

Tidak terasa, dua minggu sejak kejadian pemukulan itu sudah berlalu. Hari ini, Sutini membawa Ali kembali cek ke rumah sakit.

“Kondisi kamu sudah membaik, Ali. Sudah boleh beraktivitas kembali, tapi tetap harus menjaga kondisi tubuh,” kata dokter dengan ramah.

Hari itu, Ali bersikeras ingin ikut ibunya ke pasar untuk berjualan. Ia tidak ingin melewatkan sedetik pun kesempatan untuk bisa menemani dan melindungi ibunya.

Saat di pasar, Ali membantu Sutini seperti biasanya. Ketika melihat pengepul sayuran di sana, Ali iseng memfokuskan matanya. Dalam sekejap, ia melihat kejadian hingga 10 jam ke depan. Malam harinya, pengepul sayuran itu mengeluh karena harga bawang merah yang semula murah dan tidak berharga tiba-tiba naik drastis hingga 10 kali lipat.

Kembali ke waktu semula, Ali menoleh ke ibunya. “Bu, ibu masih ada pegangan buat aku kuliah?”

Sutini tersenyum tipis. “Ada, Nak. Satu juta lagi. Waktu itu sempat terpakai buat biaya berobat kamu.”

Ali memohon, “Bu, aku pinjam uang itu ya? Aku mau coba bisnis sayuran.”

Sutini langsung menolak. “Sekarang bukan waktunya buat coba-coba, Ali. Uang ini untuk pendidikan kamu.”

Namun, pada akhirnya, sesampainya di rumah, Sutini menyerahkan uang itu kepada Ali dengan raut wajah khawatir. “Ibu sudah nggak punya cadangan uang lagi, Nak. Gunakan dengan baik.”

Ali tersenyum bahagia. Masih ada delapan jam sebelum harga bawang merah melonjak drastis. Ia berjanji pada ibunya, “Bu, Ali bakal balikin uang ini 10 kali lipat malam nanti. Percaya sama aku.”

Tanpa membuang waktu, Ali bergegas pergi ke petani yang sedang mengeluhkan hasil panennya tidak diterima pengepul.

“Kalau mau, ambil saja, nggak usah bayar,” kata petani itu dengan nada pasrah.

Ali tersenyum lebar. Kini, rencananya mulai berjalan.

“Total bawang di sini ada 250 kilogram. Daripada membusuk karena tidak laku, ambil saja kalau kamu mau,” kata petani bawang merah kepada Ali.

Ali bukan orang yang suka mengambil kesempatan dalam kesempitan. Ia bertanya, “Harga pasaran saat ini berapa, Pak?”

Petani itu menghela napas, “Cuma seribu per kilogram.”

Awalnya, Ali berpikir untuk membeli dengan harga itu, tapi ia tahu betapa sulitnya mencari uang. Setelah berpikir sejenak, ia berkata, “Pak, saya beli dengan harga tiga kali lipat dari harga pasaran. Tapi ada satu syarat, bawang yang akan dipanen berikutnya, saya yang ambil lagi.”

Petani itu menoleh ke ladangnya, melihat dua bidang tanah lagi yang belum dipanen bawang merahnya. Ia merasa tidak enak menerima tawaran Ali, tetapi pada akhirnya ia setuju dengan permintaan itu. “Baiklah, Nak. Semoga rezeki kamu lancar.”

Ali kembali ke rumahnya dan langsung menuju gudang untuk melihat sepedanya yang sudah lama tidak dipakai. Ban sepedanya kempes, rantainya putus. Untuk menjual sayuran ke pengepul, ia butuh transportasi. Tanpa pikir panjang, Ali pergi ke bengkel terdekat dan menservis sepeda bututnya.

Tak terasa, sore hari tiba, dan sepedanya sudah bisa digunakan lagi. Saat melewati pengepul sayuran lain yang letaknya agak jauh dari lapak ibunya, Ali mendengar percakapan antara pengepul dan distributor sayuran.

“Bang Ipul, kenapa sekarang permintaan bawang merah tiba-tiba banyak dan harganya naik drastis?” tanya Mas Hendra, distributor sayuran.

Bang Ipul menghela napas panjang. “Di kota, permintaan bawang melonjak, sementara barangnya nggak ada. Makanya harga jadi naik. Saya sendiri nggak ada stok bawang merah. Kemarin-kemarin saya terima bawang merah, tapi nggak laku sampai membusuk di gudang.”

Mendengar itu, Ali segera menghampiri Mas Hendra. “Saya punya stok bawang merah 250 kilogram, Mas.”

Bang Ipul menatap Ali curiga. “Kamu nggak ngarang, kan? Saya tahu kamu bukan petani. Ibu kamu juga cuma jualan makanan sarapan.”

Ali mengangguk yakin. Mas Hendra pun mengikuti Ali ke rumahnya dan langsung kegirangan saat melihat bawang merah yang tersimpan rapi.

“Saya beli semua, 15 ribu per kilogram!” kata Mas Hendra dengan penuh semangat.

Ali menghela napas lega. Ia tidak perlu repot-repot mengangkut bawang itu ke pengepul lagi. Mas Hendra segera menyuruh anak buahnya mengangkut bawang ke mobil pick-upnya.

Saat itu, Sutini bangun dari tidur siangnya dan terkejut saat Ali menyerahkan uang 2 juta kepadanya. Mata ibunya membelalak penuh kebingungan dan haru.

Sutini menatap Ali dengan penuh tanya. “Kamu kok bisa tahu harga bawang bakal naik, Nak?”

Ali sedikit panik mendengar pertanyaan itu. Namun, ia segera menenangkan diri dan menjawab, “Aku lihat harga bawang terus turun, Bu. Biasanya kalau stok di pasaran mulai berkurang, permintaan pasti naik.”

Kini, uang di tangan Ali masih tersisa 1,7 juta. Ia ingin pergi menemui petani yang ditemuinya tadi siang.

Sesampainya di ladang, petani itu berkata, “Tadi ada pengepul yang nawar bawang merah ini 10 ribu per kilogram. Tapi karena saya sudah janji sama kamu, saya nggak kasih ke mereka.”

Ali tersenyum dan berkata, “Terima kasih banyak, Pak.”

Petani itu tersenyum gugup. “Harga bawang udah naik. Kamu tetap mau beli di harga yang sama?”

Ali mengangguk. “Saya akan beli sesuai harga pengepul tadi. Tapi saya akan bayar nanti malam.”

Petani itu pun kegirangan. Ia percaya Ali tidak punya niat jahat kepadanya.

Sore itu juga, petani tersebut menyuruh keluarganya turun ke ladang untuk memanen sisa bawang merah. Ternyata beratnya mencapai 1 ton!

Ali segera menelepon Mas Hendra. Mereka sempat bertukar kontak tadi siang. Mas Hendra pun antusias dan berkata akan segera menjemput bawang merah itu.

Kali ini, karena barangnya banyak, Ali meminta harga menjadi 16 ribu per kilogram. Mengingat permintaan yang melonjak, Mas Hendra menyetujui permintaan Ali tanpa ragu.

Ali tersenyum bahagia dan bangga dalam perjalanan pulangnya. Total uang yang ia dapatkan hari ini mencapai 7,7 juta. Jumlah yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Sesampainya di rumah, Sutini langsung menyambut Ali dengan penuh penasaran.

Ali mengeluarkan uang 6 juta tambahan dari jual beli tadi dan berkata, “Bu, mulai sekarang aku yang akan bahagiakan Ibu. Ibu nggak perlu berjuang sendirian lagi.”

Sutini menatap uang itu dengan mata berkaca-kaca. “Nak… Ibu belum pernah lihat uang sebanyak ini.”

Ali tersenyum dan menggenggam tangan ibunya. “Kita nggak akan hidup susah lagi, Bu.”

Sutini menghela napas haru, lalu menatap Ali penuh kasih. “Tapi, Nak, jangan sampai jadi angkuh. Harus tetap ingat sekitar, jangan lupa berbagi, ya.”

Ali mengangguk mantap. “Tentu, Bu. Aku nggak akan lupa.”

Malam itu, di desa sedang ada pasar malam. Ali mengajak ibunya pergi ke sana. Saat berjalan-jalan, mereka melewati pedagang pakaian. Ali ingin membelikan baju baru untuk ibunya.

Kemudian, Ali lagi-lagi iseng memfokuskan matanya. Dalam kilasan masa depan yang ia lihat, satu jam kemudian api tiba-tiba berkobar besar di tengah pasar malam.

Ali langsung menggenggam tangan ibunya dengan erat. “Bu, kita harus keluar dari sini sekarang!” katanya panik.

Sutini heran. “Lho, kenapa, Nak? Bukannya kita baru saja datang?”

Ali tidak menjawab dan segera menarik ibunya menjauh. Setelah memastikan ibunya aman, ia berlari ke arah seorang pedagang permen harumanis yang sedang menggunakan toa untuk berpromosi. Dengan cepat, ia merebut toa itu dan berteriak, “Semua orang harus pergi dari sini sekarang! Akan ada kebakaran!”

Namun, alih-alih panik, orang-orang justru menatapnya dengan tatapan aneh. Beberapa di antara mereka mulai berbisik-bisik.

“Dia gila, ya?”

“Mungkin dia kesurupan…”

“Anak ini ngigau kali. Mana ada kebakaran, aman-aman aja tuh!”

Ali merasa frustasi. Ia tahu kebakaran itu nyata. Dan hanya tinggal menghitung waktu sebelum semuanya terjadi!

Rate cerita ini yuk Kak!

Click on a star to rate it!

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Mak Ali Kaya!

Mak Ali Kaya!

Status: Completed Author:

Terlahir di tengah kemiskinan dan hidup di bawah bayang-bayang ayah yang kasar, Ali tumbuh dengan luka yang tak terlihat. Hari-harinya penuh kekerasan, hingga satu peristiwa tragis menimpa ibunya, satu-satunya sosok yang memberinya kasih.

Namun justru dari titik terendah itulah, semangat Ali bangkit. Di tengah keputusasaan, ia menemukan sebuah kekuatan misterius yang perlahan mengubah segalanya. Tak cuma kekuatan fisik, tapi juga keberanian untuk menantang nasib yang selama ini menindasnya.

Dengan tekad baja dan kekuatan tak dikenal, Ali melangkah melawan takdir, berjuang menegakkan keadilan bukan hanya untuk dirinya, tapi untuk semua yang pernah terinjak seperti dirinya.

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Plugin Kapsule Corp

Options

not work with dark mode
Reset
Part of PT. King Alin Jaya