Sejak kejadian itu, suasana di pasar terasa berbeda bagi Ali dan ibunya, Sutini. Selama tiga hari, Sutini memilih untuk tidak berdagang di pasar. Mungkin ia butuh waktu untuk menenangkan diri setelah insiden yang membuatnya terluka, baik secara fisik maupun batin. Luka lebam di wajah Ali pun perlahan mulai sembuh, meski bekasnya masih terlihat samar. Namun, hidup harus terus berjalan. Tanggung jawab mencari nafkah tidak bisa diabaikan begitu saja. Maka, hari ini, Sutini memutuskan untuk kembali membuka lapaknya di pasar.
Ali, dengan hati yang lapang, memutuskan untuk menghadapi Bang Abrar. Ia tahu, konflik yang terjadi sebelumnya mungkin telah mengganggu bisnis Bang Abrar. Dengan niat tulus, Ali mendatangi Bang Abrar dan meminta maaf. “Bang, maafkan saya kalau selama ini bisnis saya sudah mengganggu bisnis Bang Abrar,” ujarnya dengan rendah hati.
Namun, apa yang terjadi di luar dugaan. Bang Abrar justru terlihat gugup, bahkan ketakutan. Ia malah meminta maaf pada Ali, seolah-olah ada sesuatu yang membuatnya takut pada Ali. Ali sendiri merasa heran. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa Bang Abrar tiba-tiba berubah sikap? Ali tidak bisa memahaminya, tapi ia memilih untuk tidak memikirkan hal itu terlalu dalam. Mungkin ini adalah awal yang baik untuk memperbaiki hubungan mereka.
Ali kembali ke lapak ibunya. Saat ia berkeringat karena cuaca yang panas, tanpa sengaja ia mengeluarkan sapu tangan putih yang diberikan oleh gadis misterius itu beberapa hari lalu. Sapu tangan itu masih terlihat bersih dan wangi, seolah mengingatkannya pada gadis yang telah menolongnya saat ia terjatuh. Ali pun mulai penasaran. Siapa sebenarnya gadis itu? Kenapa hari ini ia tidak terlihat lagi di pasar? Apakah ia hanya lewat saja, atau memang punya maksud tertentu?
Ali pun bertanya pada ibunya, “Bu, ibu tahu nggak siapa gadis yang memberikan sapu tangan ini? Gadis itu yang menolong saya waktu jatuh.”
Sutini menggeleng, “Nggak, Ali. Ibu juga nggak tahu siapa dia. Mungkin dia hanya orang baik yang lewat saja.”
Ali menghela napas. Ia merasa belum sempat berterima kasih pada gadis itu. Pertolongan yang diberikan gadis itu sangat berarti baginya. Sapu tangan itu bukan hanya sekedar kain, tapi juga simbol kebaikan yang tulus. Ali berharap suatu saat nanti ia bisa bertemu lagi dengan gadis itu, untuk mengucapkan terima kasih dan mungkin, mengetahui lebih banyak tentang dirinya.
Keesokan harinya, Ali bersiap untuk pergi ke sekolah. Hari ini, ia membawa ijazahnya dan berencana menanyakan perihal daftar ulang di kampus barunya. Dengan semangat, ia menaiki motor pertama dan kesayangannya, yang baru saja ia miliki. Nando, sahabat baik Ali, sudah menunggu di sekolah. Saat melihat Ali datang dengan motor barunya, Nando tersenyum lebar.
“Wah, akhirnya kamu punya motor juga, Ali! Keren banget!” seru Nando dengan antusias.
Ali tersenyum bangga. “Iya, Nando. Motor ini hasil tabungan lama. Lumayan buat nanti ke kampus.”
Nando mengangguk, lalu tiba-tiba bertanya, “Eh, Ali, kamu ada kesibukan sore ini? Aku mau ajak kamu lihat-lihat ponsel baru. Kan sejak kejadian itu, kamu nggak punya ponsel lagi.”
Ali berpikir sejenak, lalu menjawab, “Aku ada waktu, kok. Emang lagi butuh ponsel baru juga. Ayo, kita pergi saja.”
Mereka pun sepakat untuk pergi ke toko ponsel di kota setelah pulang sekolah. Toko itu berada sekitar 10 km dari sekolah mereka. Sebagai anak yang tinggal di kabupaten kecil, ini adalah pertama kalinya Ali pergi ke toko ponsel. Ia merasa sedikit gugup, takut ditipu soal harga. Ali memutuskan untuk fokus memperhatikan penjualnya, memastikan ia tidak akan dibohongi.
Sesampainya di toko, Ali dan Nando mulai melihat-lihat berbagai model ponsel. Ali memilih satu ponsel yang menurutnya cocok. Saat ia bertanya harganya, penjualnya berkata, “Ini harganya 3 juta, Bang.”
Ali langsung menatap tajam. “1 juta,” ujarnya tegas.
Nando terkejut. “Ali, harga pasaran ponsel itu memang 3 juta. Kamu yakin mau nawar segitu?”
Ali menggeleng. “Nggak, Nando. Aku nggak punya banyak waktu. Kalau nggak bisa 1 juta, nggak usah beli.”
Penjualnya terlihat bingung, tapi akhirnya mengalah. “Baiklah, 1 juta saja. Tapi ini khusus untuk kamu ya, Bang.”
Ali langsung membayar dan mengambil ponselnya. Nando masih heran, tapi Ali terlihat buru-buru. “Ali, ada apa sih? Kok kamu terlihat panik gitu?” tanya Nando.
Ali tidak langsung menjawab. Matanya terus memandang ke sekeliling toko, seolah mencari sesuatu. Tiba-tiba, ia melihat sosok yang sangat dikenalnya: gadis misterius dengan sapu tangan putih. Gadis itu sedang berjalan sendirian, mengenakan dress putih yang membuatnya terlihat mencolok. Namun, Ali juga melihat tiga pria berjaket kulit mulai mendekati gadis itu dengan tatapan yang tidak bersahabat.
“Ali, kamu lihat apa?” tanya Nando, mengikuti arah pandangan Ali.
Ali menunjuk ke arah gadis itu. “Itu dia, Nando. Gadis yang menolongku waktu itu. Tapi lihat, ada tiga pria mendekatinya. Aku rasa mereka mau berbuat jahat.”
Nando terkejut. “Kita harus bantu dia, Ali!”
Ali mengangguk. “Iya, tapi kita harus hati-hati. Aku nggak mau gadis itu terluka.”
Mereka berdua segera meninggalkan toko ponsel dan mengikuti gadis itu dari kejauhan. Ali berharap ia bisa mencegah kejadian buruk yang ia lihat dalam “penglihatannya” tadi.
Benar saja, ketiga pria berjaket kulit itu mengeluarkan belati mereka. Dengan gerakan cepat, mereka menodongkan belati itu ke arah gadis misterius, memaksanya untuk menyerahkan barang berharga yang ia bawa. Gadis itu terlihat ketakutan, matanya melirik ke sekeliling mencari pertolongan.
Ali, yang dari kejauhan mengamati situasi itu, tidak tinggal diam. Dengan sigap, ia berteriak sekeras mungkin, “Penjahat! Penjahat!” Suaranya menggema di jalanan yang sepi, membuat ketiga pria itu panik. Mereka buru-buru melarikan diri, tapi salah satu dari mereka tanpa sengaja mengayunkan belatinya ke arah Ali. Pisau itu mengenai tangan Ali, meninggalkan luka yang cukup dalam.
Gadis itu terkejut. Matanya terbuka lebar saat ia menyadari bahwa pria yang baru saja menyelamatkannya adalah orang yang sama yang ia tolong di pasar beberapa waktu lalu. “Kamu… kamu yang waktu itu di pasar?” tanyanya, suaranya gemetar.
Ali, meski tangannya terluka, tersenyum kecil. “Iya, aku Ali. Kamu ingat aku?”
Gadis itu mengangguk, tapi wajahnya masih dipenuhi kepanikan. Ia segera memegang tangan Ali yang terluka, mencoba menghentikan darah yang mengalir. “Kamu terluka! Ini parah, kita harus ke dokter!”
Ali menggeleng, mencoba menenangkannya. “Tidak usah khawatir, lukanya tidak parah. Aku baik-baik saja.” Tapi di dalam hatinya, Ali tahu ini adalah kesempatan yang tidak boleh ia lewatkan. Ia mengeluarkan pulpen dan selembar kertas dari tasnya, lalu dengan cepat menuliskan nomor ponselnya. “Ini nomor teleponku. Aku punya firasat, kita mungkin tidak akan mudah bertemu lagi setelah ini.”
Gadis itu terlihat heran. “Ini bukan waktu yang tepat, tapi…” Ali memotongnya, “Siapa namamu? Aku harus tahu.”
Gadis itu terdiam sejenak, lalu akhirnya menjawab, “Namaku Andini.”
Ali mengangguk, senyum kecil mengembang di bibirnya. “Terima kasih, Andini. Aku Ali.”
Namun, sebelum mereka bisa melanjutkan percakapan, dua pria berpakaian rapi tiba-tiba muncul dari arah yang berlawanan. Wajah mereka penuh amarah, dan salah satu dari mereka langsung menghampiri Ali, siap memukul. “Apa yang kamu lakukan pada nona ini?!” teriak salah satu pria itu.
Andini segera melangkah maju, menghalau kedua pria itu. “Tunggu! Dia yang menyelamatkanku dari perampok tadi! Jangan salah paham!”
Kedua pria itu terlihat bingung, tapi akhirnya mengendurkan sikap mereka. Andini kemudian berpaling ke Ali, wajahnya penuh rasa terima kasih. “Terima kasih banyak sudah menyelamatkanku, Ali. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika kamu tidak ada di sini.”
Ali tersenyum, meski tangannya masih terasa perih. “Aku juga harus berterima kasih padamu, Andini. Kamu sudah menyelamatkanku waktu itu di pasar. Sekarang kita sudah berhutang budi satu sama lain.”
Andini tersenyum kecil, tapi kemudian wajahnya berubah serius. “Kita harus membersihkan lukamu. Aku tidak mau kamu terluka karena aku.”
Ali mengangguk, tapi di dalam hatinya, ia merasa lega. Akhirnya, ia berhasil mengetahui nama gadis misterius itu. Meski pertemuan mereka singkat dan penuh kejadian tak terduga, Ali yakin ini bukanlah pertemuan terakhir mereka. Ada sesuatu yang lebih besar yang mempertemukan mereka, dan Ali tidak sabar untuk mengetahui apa itu.
koreksi, bagian dialog dalam tanda kutip pakai bahasa sehari hari, ganti tidak dengan nggak, jangan terlalu formal
Benar saja, ketiga pria berjaket kulit itu mengeluarkan belati mereka. Dengan gerakan cepat, mereka menodongkan belati itu ke arah gadis misterius, memaksanya untuk menyerahkan barang berharga yang ia bawa. Gadis itu terlihat ketakutan, matanya melirik ke sekeliling mencari pertolongan.
Ali, yang dari kejauhan mengamati situasi itu, nggak tinggal diam. Dengan sigap, ia berteriak sekeras mungkin, “Penjahat! Penjahat!” Suaranya menggema di jalanan yang sepi, membuat ketiga pria itu panik. Mereka buru-buru kabur, tapi salah satu dari mereka tanpa sengaja mengayunkan belatinya ke arah Ali. Pisau itu mengenai tangan Ali, meninggalkan luka yang cukup dalam.
Gadis itu terkejut. Matanya terbuka lebar saat ia menyadari bahwa pria yang baru saja menyelamatkannya adalah orang yang sama yang ia tolong di pasar beberapa waktu lalu. “Kamu… kamu yang waktu itu di pasar?” tanyanya, suaranya gemetar.
Ali, meski tangannya terluka, tersenyum kecil. “Iya, aku Ali. Kamu ingat aku?”
Gadis itu mengangguk, tapi wajahnya masih dipenuhi kepanikan. Ia segera memegang tangan Ali yang terluka, mencoba menghentikan darah yang mengalir. “Kamu terluka! Ini parah, kita harus ke dokter!”
Ali menggeleng, mencoba menenangkannya. “Nggak usah khawatir, lukanya nggak parah. Aku baik-baik saja.” Tapi di dalam hatinya, Ali tahu ini adalah kesempatan yang nggak boleh ia lewatkan. Ia mengeluarkan pulpen dan selembar kertas dari tasnya, lalu dengan cepat menuliskan nomor ponselnya. “Ini nomor teleponku. Aku punya firasat, kita mungkin nggak akan gampang ketemu lagi setelah ini.”
Gadis itu terlihat heran. “Ini nggak waktu yang tepat, tapi…” Ali memotongnya, “Siapa namamu? Aku harus tahu.”
Gadis itu terdiam sejenak, lalu akhirnya menjawab, “Namaku Andini.”
Ali mengangguk, senyum kecil mengembang di bibirnya. “Terima kasih, Andini. Aku Ali.”
Namun, sebelum mereka bisa lanjut ngobrol, dua pria berpakaian rapi tiba-tiba muncul dari arah yang berlawanan. Wajah mereka penuh amarah, dan salah satu dari mereka langsung menghampiri Ali, siap mukul. “Mau apa kamu sama Nona?!” teriak salah satu pria itu.