MAK Bab 7

MAK Bab 7
0
(0)

Andini segera melangkah maju, menghalau kedua pria itu. “Eh, tunggu! Dia yang nyelametin aku dari perampok tadi! Jangan salah paham!”

Kedua pria itu terlihat bingung, tapi akhirnya nggak jadi marah. Andini kemudian berpaling ke Ali, wajahnya penuh rasa terima kasih. “Makasih banyak ya, Ali. Aku nggak tahu bakal gimana kalo kamu nggak ada di sini.”

Ali tersenyum, meski tangannya masih terasa perih. “Aku juga harus bilang makasih sama kamu, Andini. Kamu yang nyelametin aku waktu itu di pasar. Sekarang kita udah saling berhutang budi, ya.”

Andini tersenyum kecil, tapi kemudian wajahnya berubah serius. “Kita harus bersihin lukamu. Aku nggak mau kamu terluka karena aku.”

Pria yang tampak seperti pengawal Andini langsung membantu Andini bangkit dari tempatnya. Dengan suara tegas, ia berkata, “Kita harus cepat-cepat pulang, Nona. Ini bisa berbahaya.” Andini mengangguk, tapi matanya masih menatap Ali yang sedang memegangi tangannya yang terluka. Sebelum pergi, ia sempat melirik Ali sekali lagi, seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi akhirnya ia hanya tersenyum kecil sebelum dibawa pergi oleh pengawalnya.

Nando, yang dari kejauhan melihat kejadian itu, langsung menghampiri Ali. “Ali, kamu kenapa? Lukamu parah nggak?” tanyanya dengan wajah khawatir. Ali menggeleng, mencoba terlihat tenang. “Nggak parah, cuma kena pisau aja. Tapi kayaknya perlu dibersihin.”

Nando langsung mengambil inisiatif. “Aku ke apotik beli obat luka sama perban. Tunggu di sini ya!” Tanpa menunggu jawaban Ali, Nando langsung berlari ke apotik terdekat. Beberapa menit kemudian, ia kembali dengan obat luka dan perban. Mereka pun segera membersihkan dan membalut luka Ali.

Setelah lukanya dirawat, Ali dan Nando memutuskan untuk pulang. Nando mengiringi motor Ali sampai ke rumahnya. Sesampainya di rumah, Nando mampir sebentar untuk memastikan Ali benar-benar baik-baik saja. Sutini, ibu Ali, yang melihat kedatangan mereka, langsung menyambut dengan ramah. “Nando, makasih ya sudah nemenin Ali pulang,” ujarnya sambil mengeluarkan beberapa camilan ke meja ruang tamu.

Nando merasa agak nggak enak. “Ibu, nggak usah repot-repot. Aku cuma mau pastiin Ali baik-baik aja,” katanya sambil tersipu malu.

Sutini tersenyum. “Nggak apa-apa, Nando. Kamu kan sahabat Ali. Silakan dinikmati camilannya.”

Ali kemudian menjelaskan pada ibunya asal muasal lukanya. “Ibu, tadi aku nemu gadis yang waktu itu nyelametin aku di pasar. Tapi ada perampok, dan aku coba bantu dia. Nah, tanganku kena pisau gitu aja.”

Sutini menghela napas lega. “Syukurlah kamu nggak kenapa-kenapa, Ali. Tapi lain kali hati-hati ya, jangan sembarangan nolong orang kalo situasinya berbahaya.”

Ali mengangguk, tapi pikirannya masih tertuju pada Andini. Nando, yang duduk di sampingnya, nggak bisa menahan rasa penasarannya. “Ali, kamu tahu nggak siapa itu Andini?”

Ali menggeleng. “Nggak, aku cuma tahu dia yang nyelametin aku di pasar waktu itu. Kenapa? Kamu tahu siapa dia?”

Nando menghela napas, lalu berkata dengan nada serius, “Ali, Andini itu anak orang penting. Banyak warga sini yang takut sama sosok ayahnya.”

Ali terkejut. “Ayahnya siapa?”

Nando menatap Ali dengan tatapan serius. “Ayah Andini itu Bupati Kabupaten Halmora. Keluarganya sangat dihormati, tapi juga ditakuti. Apalagi ayahmu, Pak Ratman, kan pensiunan militer. Jadi, banyak orang makin segan sama keluarga Andini.”

Ali terdiam sejenak, mencerna informasi yang baru saja ia dengar. “Jadi, Andini itu anak bupati? Nggak heran dia punya pengawal.”

Nando mengangguk. “Iya, Ali. Kamu harus hati-hati. Jangan sampai kamu terlibat masalah sama keluarga mereka.”

Ali menghela napas, tapi di dalam hatinya, ia merasa ada sesuatu yang lebih besar yang mempertemukannya dengan Andini. Meski Nando memperingatkannya, Ali nggak bisa menepis rasa penasarannya. “Aku cuma pengen ngucapin terima kasih sama dia, Nando. Nggak lebih dari itu.”

Nando menggeleng, seolah nggak percaya. “Ya udah, Ali. Tapi inget, jangan sampai kamu kelewat jauh. Keluarga mereka itu… beda sama kita.”

Ali mengangguk, tapi hatinya masih penuh tanda tanya. Siapa sebenarnya Andini? Dan kenapa pertemuan mereka selalu diwarnai dengan kejadian-kejadian yang nggak terduga?

Setelah Nando pergi, Sutini menghampiri Ali yang sedang duduk di ruang tamu. Wajahnya terlihat serius, seperti sedang memikirkan sesuatu yang berat. “Ali,” ujarnya pelan, “Ibu mau ngomong sesuatu. Jangan sampai ada apa-apa sama Andini, ya. Kita ini cuma orang kecil, jangan sampai nyinggung perasaan orang besar kayak mereka.”

Ali hanya tersenyum mendengar nasihat ibunya. “Ibu, tenang aja. Aku cuma pengen ngucapin terima kasih sama dia. Nggak lebih dari itu.”

Sutini menghela napas, seperti nggak sepenuhnya percaya. “Ya sudah, Ali. Tapi ingat, jangan sampai kamu kelewat jauh. Dunia mereka itu beda sama dunia kita.”

Ali mengangguk, tapi di dalam hatinya, ia merasa ada sesuatu yang nggak bisa ia abaikan. Malam itu, setelah ibunya pergi ke kamar, Ali membuka ponsel barunya. Matanya langsung terpaku pada notifikasi WhatsApp. Ada pesan baru yang masuk. Dengan deg-degan, Ali membukanya.

“Halo, Ali. Ini nomor Andini.”

Ali hampir nggak percaya. Jantungnya berdebar kencang, dan wajahnya langsung berseri-seri. “Ini beneran Andini?” gumamnya sendiri. Tanpa berpikir panjang, ia langsung membalas pesan itu. “Halo, Andini. Makasih ya buat tadi. Aku seneng bisa ketemu kamu lagi.”

Tapi, setelah pesan itu terkirim, nggak ada balasan dari Andini. Ali menunggu sampai keesokan harinya, tapi chat-nya masih sepi. Dengan sedikit keberanian, Ali mencoba mengirim pesan lagi. “Selamat pagi, Andini. Semoga kita bisa ketemu lagi suatu hari nanti.”

Lagi-lagi, nggak ada balasan. Perasaan kecil hati mulai menyelinap di hati Ali. “Mungkin aku ini cuma orang biasa buat dia,” pikirnya. “Aku ini siapa sih? Bahkan buat sekadar berteman aja kayaknya nggak mungkin.”

Ali mencoba melupakan perasaannya dengan fokus pada hal lain. Masih ada waktu dua bulan sebelum ia pindah ke Kota Adara untuk kuliah. Hari itu, setelah selesai mengirim sayuran ke kota, Ali kembali ke rumah dan menyalakan TV. Berita tentang pasar saham sedang ramai dibahas. Harga saham disebut-sebut stagnan, bahkan terus turun. Ali memfokuskan matanya pada layar TV, dan tiba-tiba, seperti ada firasat, ia merasa besok harga saham akan melonjak naik.

Tapi, masalahnya, Ali nggak tahu banyak tentang saham. Pengetahuannya sangat minim. “Ini kesempatan,” pikir Ali. “Aku harus cari tahu lebih banyak.”

Dengan ponsel pintar barunya, Ali segera membuka browser dan mulai mencari informasi tentang seluk-beluk saham. Ia membaca artikel, menonton video tutorial, dan bahkan bergabung dengan beberapa grup diskusi online tentang investasi. Semakin ia belajar, semakin ia tertarik. “Mungkin ini cara buat aku meraih sesuatu yang lebih besar,” gumamnya.

Meski hatinya masih sedikit sedih karena pesannya ke Andini belum dibalas, Ali mencoba fokus pada hal positif. “Aku nggak boleh menyerah. Aku harus terus belajar dan berusaha. Siapa tahu, suatu hari nanti, aku bisa jadi orang yang lebih baik. Dan mungkin, suatu hari nanti, aku bisa bertemu Andini lagi dengan posisi yang lebih setara.”

Ali tersenyum kecil, lalu kembali fokus pada layar ponselnya. Malam itu, ia memutuskan untuk terus belajar tentang saham. Siapa tahu, besok adalah awal dari sesuatu yang besar.

Sebelum tidur, Ali tiba-tiba mendengar bunyi notifikasi dari ponsel barunya. Matanya langsung terbuka lebar saat ia melihat nama “Andini” muncul di layar. Jantungnya berdebar kencang saat ia membuka pesan itu. “Ali, besok aku mau ke desamu. Kamu bisa nemenin aku jalan-jalan nggak?” tulis Andini.

Ali hampir nggak percaya. Dengan cepat, ia membalas pesan itu. “Bisa banget! Aku seneng banget kamu mau ke sini. Jam berapa kamu dateng?”

Beberapa detik kemudian, Andini membalas. “Aku perkirakan sampai jam 9 pagi. Gimana?”

Ali langsung mengiyakan. “Oke, jam 9 pagi aku tunggu di rumahku ya. Nanti aku temenin kamu jalan-jalan keliling desa.”

Setelah mengirim pesan itu, Ali merasa semangatnya membara. Ia nggak bisa tidur karena terlalu bersemangat menunggu pertemuan besok. Tapi, sebelum mematikan lampu, pikirannya tiba-tiba kembali ke pelajaran saham yang baru saja ia pelajari tadi sore. “Saham itu nggak serumit yang kubayangkan,” pikir Ali. “Sekarang beli saham bisa lewat aplikasi. Gimana kalo aku coba?”

Rate cerita ini yuk Kak!

Click on a star to rate it!

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Mak Ali Kaya!

Mak Ali Kaya!

Status: Completed Author:

Terlahir di tengah kemiskinan dan hidup di bawah bayang-bayang ayah yang kasar, Ali tumbuh dengan luka yang tak terlihat. Hari-harinya penuh kekerasan, hingga satu peristiwa tragis menimpa ibunya, satu-satunya sosok yang memberinya kasih.

Namun justru dari titik terendah itulah, semangat Ali bangkit. Di tengah keputusasaan, ia menemukan sebuah kekuatan misterius yang perlahan mengubah segalanya. Tak cuma kekuatan fisik, tapi juga keberanian untuk menantang nasib yang selama ini menindasnya.

Dengan tekad baja dan kekuatan tak dikenal, Ali melangkah melawan takdir, berjuang menegakkan keadilan bukan hanya untuk dirinya, tapi untuk semua yang pernah terinjak seperti dirinya.

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Plugin Kapsule Corp

Options

not work with dark mode
Reset
Part of PT. King Alin Jaya