Tanpa berpikir panjang, Ali langsung membuka toko aplikasi di ponselnya dan mendownload aplikasi trading saham. Setelah mendaftar dan mengisi data-datanya, Ali mulai mempertimbangkan untuk menginvestasikan uangnya. “Aku punya sekitar 50 juta tabungan. Tapi, kalo aku investasikan semua, risikonya besar. Tapi kalo cuma separuhnya, mungkin nggak masalah,” gumamnya.
Ali memutuskan untuk mencoba. Ia memilih saham dengan kode ANNN, sebuah perusahaan tambang yang sedang terpuruk dan nyaris bangkrut. “Harganya murah banget sekarang. Kalo nanti naik, aku bisa untung besar,” pikir Ali. Dengan sedikit gemetar, ia menginvestasikan 25 juta uangnya ke saham itu. “Semoga ini keputusan yang tepat,” ujarnya dalam hati.
Ali tahu, ibunya pasti nggak akan setuju kalo tahu ia menginvestasikan uangnya ke saham. Sutini nggak pernah paham soal saham, dan pasti akan langsung melarang Ali mengambil risiko seperti ini. “Lebih baik nggak usah bilang dulu,” pikir Ali. “Nanti kalo udah untung, baru aku kasih tahu Ibu.”
Setelah selesai, Ali mencoba tidur, tapi pikirannya masih dipenuhi dengan berbagai kemungkinan. Besok ia akan bertemu Andini, dan saham yang baru saja ia beli mungkin akan mengubah hidupnya. “Semoga semuanya berjalan baik,” gumamnya sebelum akhirnya terlelap.
Esok pagi, Ali bangun lebih awal dari biasanya. Ia mandi dan berpakaian rapi, sambil sesekali mengecek ponselnya untuk memastikan nggak ada kabar terbaru dari Andini. Pukul 8.30, ia sudah siap menunggu di depan rumah. Hatinya berdebar-debar, menanti kedatangan Andini. “Ini kesempatan buat aku,” pikir Ali. “Aku nggak boleh sia-siakan.”
Sementara itu, di ponselnya, aplikasi saham masih terbuka. Ali sesekali mengecek pergerakan harga saham ANNN, berharap ada tanda-tanda kenaikan. Tapi, untuk saat ini, fokus utamanya adalah pertemuan dengan Andini. “Semoga hari ini jadi hari yang spesial,” ucapnya dalam hati, sambil menatap jalanan di depan rumahnya.
Keesokan paginya, Ali masih seperti biasa. Dia bangun pagi sekali untuk beribadah, lalu melanjutkan dengan lari pagi di sekitar kompleks dan melatih otot-ototnya di halaman rumah. Semangatnya hari ini terasa berbeda, dadanya berdebar menunggu pukul 8 pagi, saat pasar bursa akan dibuka.
Sejak kemarin, Ali sudah bersiap. Dia telah membeli saham di harga 150 per lembar, dan berdasarkan analisisnya, harga saham ini berpotensi melonjak tinggi. Tepat jam 8 kurang, tanpa ragu, Ali langsung mengatur aplikasi investasinya untuk menjual saham di angka 2000. Jemarinya menari di atas layar ponsel dengan penuh antusiasme. Beberapa detik kemudian, notifikasi muncul, penjualan berhasil! Saldo dalam akun investasinya kini mencapai 300 juta rupiah.
Ali terkejut sekaligus girang. Seperti mimpi di siang bolong! Teriakan kegembiraannya menggema di halaman rumah. “Hore! Aku kaya!” serunya spontan.
Sutini, yang sudah duduk di atas motornya bersiap pergi ke pasar, terkejut mendengar sorakan putranya. Dengan dahi berkerut, dia menoleh, “Ali, ada apa? Kenapa ribut-ribut pagi begini?”
Dengan senyum mengembang, Ali mendekat dan menunjukkan layar ponselnya. “Bu, lihat ini! Aku baru saja menjual sahamku, dan sekarang uangku jadi 300 juta!”
Sutini memandang layar ponsel itu dengan bingung. Ia tak terlalu paham tentang saham dan investasi. Dengan nada waspada, ia berkata, “Ali, hati-hati ya, jangan sampai main judi. Uang yang didapat dengan cepat bisa hilang dengan cepat juga.”
Ali tertawa kecil dan menjelaskan secara singkat tentang saham, bagaimana cara kerja investasi, dan bagaimana dirinya sudah mempelajarinya dengan sungguh-sungguh. Mendengar penjelasan putranya, Sutini pun akhirnya percaya.
“Bu, mulai besok, Ibu tidak usah dagang lagi. Aku sudah punya cukup uang, biar aku yang urus semuanya,” kata Ali penuh semangat.
Namun, Sutini menggeleng. “Tidak bisa begitu, Le. Ibu harus tetap ada kegiatan. Kalau tidak berdagang, Ibu mau ngapain?”
Ali terdiam sejenak, lalu tersenyum. “Baiklah, sementara ini boleh. Tapi, begitu rencana besar yang sedang aku jalankan berhasil, Ibu harus berhenti berdagang. Aku ingin Ibu istirahat dan menikmati hidup.”
Sutini menatap putranya dengan penuh kebanggaan. Ia tidak menyangka, anak yang dulu sering ia ajari berhitung dengan uang receh di warung kini sudah mulai membangun masa depannya sendiri. Dalam hati, ia berdoa agar langkah Ali selalu dimudahkan dan dilindungi.
Satu minggu kemudian, Ali mendapatkan pemberitahuan dari pihak kampus untuk segera melakukan daftar ulang. Malam itu, ia mengajak ibunya untuk pergi ke kota agar dapat mengurus semuanya dengan lancar.
“Bu, kita harus ke kota besok pagi. Aku harus daftar ulang ke kampus,” kata Ali sambil duduk di ruang tamu.
Sutini menghela napas. “Ah, Ibu tidak biasa bepergian jauh, Le. Kamu saja yang pergi.”
Ali tersenyum dan mendekat. “Aku sudah menyewa mobil, Bu. Kita juga akan menginap di hotel, jadi tidak perlu buru-buru pulang. Aku ingin Ibu ikut.”
Sutini tetap ragu. “Tapi bagaimana dengan warung?”
“Hanya sehari dua hari saja, Bu. Lagi pula, aku ingin kita menikmati waktu bersama di kota. Anggap saja ini liburan kecil,” bujuk Ali dengan penuh harap.
Setelah dibujuk terus-menerus, akhirnya Sutini mengangguk pelan. “Baiklah, Le. Kalau memang begitu, Ibu ikut.”
Ali tersenyum lebar. “Terima kasih, Bu! Aku janji perjalanan ini akan menyenangkan.”
Hari itu pun tiba, Ali sudah menyiapkan dokumen yang dibutuhkan untuk daftar ulang di kampusnya. Meski kini Ali terbilang cukup kaya di usia mudanya, ia tetap harus kuliah dan berpendidikan. Ali juga sudah memesan hotel di sekitar kampus melalui aplikasi, karena jika langsung pindahan, masih ada waktu dua bulan sampai perkuliahan dimulai.
Sesampainya di salah satu hotel kota Adara, Ali menuju resepsionis untuk check-in.
“Maaf, Pak, pemesanan Anda telah dibatalkan karena ada kesalahan sistem,” kata resepsionis dengan nada menyesal.
Ali mengernyit. “Lalu saya pesan lagi saja, ada kamar lain?”
Resepsionis menggeleng. “Mohon maaf, tapi semua kamar sudah penuh.”
Ali menghela napas, merasa kecewa. “Ini tidak bisa seperti ini. Saya sudah memesan jauh-jauh hari.”
Sutini menepuk pundak Ali dengan lembut. “Sudahlah, Le. Kita bisa menginap di masjid saja.”
Ali menggeleng. “Tapi ini hak kita, Bu. Mereka memang akan mengembalikan uangnya, tapi tetap saja tidak adil.”
Tak lama kemudian, di lobi hotel yang ramai, seorang pria seusia Ali datang membawa dua koper. Ia mendekati resepsionis, meletakkan sejumlah uang tunai di meja, lalu berkata, “Terima kasih ya, sudah menyediakan kamar tambahan. Saya sangat menghargainya.”
Ali menatap pemandangan itu dengan mata menyipit. Kini ia sadar, kamarnya dicancel bukan karena kesalahan sistem, melainkan karena ada tamu lain yang membayar lebih untuk mendapatkan kamar.
Saat itu, pria yang tadi baru datang tersenyum sinis. “Orang miskin tidak usah di hotel, ikut ibunya saja menginap di masjid,” katanya meremehkan.
Manajer hotel yang kebetulan baru tiba mendengar keributan ini. Setelah dibisiki oleh resepsionis, manajer itu berkata, “Kamar yang tersedia hari ini hanya tipe tertinggi, Presidensial Suite. Harga per malamnya tiga juta rupiah, lima kali lipat dari harga yang Anda pesan sebelumnya.”
Ali terdiam sejenak, memikirkan situasinya.
Saat itu juga, sepasang suami istri beserta seorang gadis muda tiba di lobi. Ali mengenali gadis itu, Andini, gadis misterius yang pernah ia temui.
Ferdi, pria sombong tadi, langsung menyapa mereka dengan penuh percaya diri. “Bu, Pak Ratman, Andini, kamar sudah siap. Ini tadi sempat ribut ada orang aneh yang berisik sekali.”
Ali menatap Ferdi dengan tatapan tajam. Dengan tenang, ia berkata kepada resepsionis, “Saya akan mengambil kamar itu.”
Semua mata tertuju padanya. Harga kamar itu memang fantastis, tetapi Ali kini memiliki uang sekitar 700 juta di rekeningnya.
Pak Ratman menoleh ke Ferdi dan berkata, “Wah, Ferdi, kau memang luar biasa. Memberikan hotel terbaik di kota untuk kami.”
Ferdi tersenyum bangga. “Tentu saja, Pak. Sebagai calon menantu, saya harus memberikan yang terbaik.”
Andini melihat Ali dan hanya tersenyum kecil, tidak berani menyapanya karena keberadaan ayahnya.
Namun, Ali mengambil inisiatif dan menyapa Andini lebih dulu. “Halo, Andini. Lama tidak bertemu.”
Andini tersentak, lalu tersenyum canggung. “Hai, Ali.”
Ali kemudian menoleh ke resepsionis dan berkata, “Saya akan memesan satu kamar Presidensial Suite lagi untuk keluarga Pak Ratman.”
Pak Ratman terkejut. “Tunggu, siapa sebenarnya Anda?”
Andini buru-buru menjelaskan. “Ayah, ini temanku di Halmora.”
Pak Ratman mengangguk pelan, masih bingung dengan situasi ini, sementara Ferdi tampak kesal dengan perkembangan yang tak ia duga.