Ferdi langsung tersulut emosi. Dengan wajah merah padam, ia mencengkeram kerah Ali dan menatapnya tajam. “Apa maksudnya kamu tiba-tiba memesankan kamar untuk keluarga Pak Ratman?” suaranya terdengar penuh amarah.
Ali, yang tetap tenang, melepaskan tangan Ferdi dengan lembut dan menjawab santai, “Aku cuma mau balas budi, Fer. Andini pernah menyelamatkan aku. Aku rasa ini hal kecil yang bisa kulakukan untuk mereka.”
Ferdi mendengus kesal, namun ia tidak lagi melanjutkan kemarahannya. Sementara itu, Ali mengajak ibunya, Sutini, ke kamar mereka. Begitu masuk ke dalam, Sutini tertegun. Matanya membesar melihat kemewahan di sekelilingnya. Kamar itu luas, dengan perabotan yang berkilauan, langit-langit tinggi, dan lampu kristal yang menggantung elegan. “Masya Allah, Ali… kamar ini besar sekali. Sama seperti rumah kita di kampung,” gumamnya tak percaya.
Namun, kekagumannya segera berubah menjadi keluhan. Ia menatap putranya dengan tatapan khawatir. “Ali, kamu ini kenapa sih boros banget? Kita kan cuma butuh tempat istirahat, bukan istana begini,” ucapnya dengan nada protes.
Ali hanya tersenyum tipis. “Tenang, Bu. Aku sudah perhitungkan semuanya. Lagipula, kita hanya di sini sebentar. Aku ingin Ibu merasa nyaman.”
Setelah beristirahat sejenak, Ali dan Sutini segera bersiap. Mereka harus pergi ke Universitas Adara untuk daftar ulang. Setibanya di kampus, suasana ramai dengan mahasiswa baru yang juga menjalani proses yang sama. Setelah melalui beberapa tahap administrasi, akhirnya proses daftar ulang selesai.
Merasa lega, mereka kembali ke hotel. Waktu sudah menunjukkan pukul dua siang, perut mereka mulai terasa kosong. “Kita baru sempat makan siang sekarang, Bu. Maaf ya, jadi terlambat,” kata Ali sambil menggandeng tangan ibunya.
Sutini mengangguk kecil, meski lelah, ia tetap bersyukur. Hari itu begitu padat, tapi semuanya berjalan lancar.
Setelah makan siang, Ali tiduran di kamar hotel. Dia tiba-tiba teringat akan perkataan Pak Ratman yang mengatakan bahwa Ferdi adalah calon menantu yang baik. Entah kenapa, hati Ali terasa sangat sakit.
Ali menatap langit-langit kamar dan bergumam pelan, “Apa benar aku tidak pantas mencintai Andini? Apa mungkin orang seperti kita bisa mendapatkan cinta dari orang kaya dan terpandang?”
Sutini yang sedang bersiap mandi, mendengar pertanyaan itu dan menghentikan gerakannya sejenak. Ia menoleh ke arah Ali dan berkata dengan suara lembut, “Ali, jangan pernah berpikir begitu. Semua orang berhak mencintai dan dicintai. Yang penting, kamu bisa memantaskan diri. Jika kamu ingin memenangkan hati seseorang, kamu harus bisa membuktikan bahwa kamu bisa membahagiakan dan menyayanginya dengan sepenuh hati.”
Ali terdiam, kata-kata ibunya terasa begitu dalam di hatinya. Ia mengangguk kecil, lalu mengambil ponselnya dan mengetik pesan kepada Andini.
Ali: “Andini, kamu lagi apa di kota Adara?”
Tak lama kemudian, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Andini.
Andini: “Aku sedang daftar ulang kuliah di Universitas Adara juga, sekalian menemani Ferdi untuk rapat pemegang saham.”
Ali membaca pesan itu dengan ekspresi datar. Namun, tiba-tiba sebuah notifikasi email masuk. Ia membuka email itu dan membaca isinya dengan teliti. Rupanya, itu adalah undangan rapat pemegang saham dari ANNN. Ali masih memiliki sedikit saham di perusahaan itu, jadi ia diundang untuk menghadiri acara yang akan berlangsung besok.
Ali menyandarkan kepalanya ke bantal. Ia tidak ingin terlalu senang dulu. “Banyak orang punya saham, Ferdi belum tentu pemegang saham ANNN juga,” gumamnya pelan. Namun, perasaan tak menentu mulai menyelimuti pikirannya.
Ali merasa minder untuk ikut rapat pemegang saham itu, karena bagaimanapun nominal sahamnya hanya 500 juta, 200 juta di rekeningnya. Tapi tidak apa-apa, itung-itung memperdalam ilmunya tentang dunia saham.
Keesokan harinya, tak disangka, di gedung bursa saham, dia melihat Ferdi lagi.
Pak Ratman menatap Ali dengan dingin, kali ini ia benar-benar yakin bahwa pemuda ini punya maksud lain. “Kau pasti datang ke sini untuk mengejar Andini, bukan?” tanyanya tajam.
Ali menghela napas, berusaha tetap tenang. “Saya hanya datang karena ada undangan, Pak.”
Ferdi menyeringai sinis. “Zaman sekarang, pegang saham satu lot pun sudah bisa ikut rapat pemegang saham.”
Pak Ratman mengangguk, lalu tersenyum tipis. “Untuk seumuran Ferdi, punya saham ANNN senilai 200 juta saja sudah luar biasa. Apalagi, ayahnya sudah lama di dunia saham, meski tidak memegang saham ANNN.”
Ali memilih diam dan masuk ke ruang rapat. Saat memasuki ruangan, resepsionis menanyakan nama Ali dan pendampingnya.
“Ali dan pendamping saya, Sutini,” jawabnya tenang.
Ferdi masih bersikap sinis. “Orang kampung macam dia, mau sok kaya di sini.”
Namun, beberapa detik kemudian, wajah Ferdi berubah saat resepsionis berkata, “Silakan, Pak Ali. Tempat duduk Anda ada di jajaran kedua.”
Ferdi tersentak. “Apa maksudnya? Kenapa dia bisa duduk di depan kami?”
Resepsionis menjawab dengan sopan, “Barisan depan diperuntukkan bagi pemegang saham dengan nominal 500 juta sampai 2 miliar. Paling depan untuk pemegang saham di atas 2 miliar.”
Pak Ratman sedikit terkejut mendengar ini, tetapi ia tetap melangkah masuk ke ruang rapat. Sementara itu, Ferdi menatap Ali dengan tatapan penuh amarah.
Pak Ratman sebagai bupati Halmora, sangat mudah kalau mau tahu informasi tentang seseorang. Kemarin malam, Ferdi yang sudah lebih dulu mencari tahu tentang Ali kepada Pak Ratman. Ternyata hasil dari investigasi anak buah Pak Ratman pun sama, Ali adalah anak orang miskin, tiba-tiba bisnis sayuran dan saham lalu cepat sekali suksesnya, padahal ayahnya saja dipenjara karena kasus KDRT.
Setelah kembali ke hotel, Pak Ratman memanggil Andini.
“Andini, ayah ingin kamu menjauhi Ali,” kata Pak Ratman tegas.
Andini menundukkan kepala. “Kenapa, Yah?”
“Kemungkinan besar, dia adalah kriminal. Aku sudah menyelidikinya. Ayahnya dipenjara karena kasus KDRT. Sementara dia, tiba-tiba sukses dalam bisnis tanpa kejelasan. Jangan sampai kamu terlibat dengan orang seperti itu,” lanjut Pak Ratman.
Andini hanya terdiam, tak berani membantah ayahnya.
Setelah rapat itu, Ali mengajak ibunya ke mall. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Sutini menginjakkan kaki di mall.
“Bu, ayo kita beli pakaian,” kata Ali sambil menggandeng tangan ibunya.
Sutini melihat-lihat sekitar, matanya membesar melihat harga-harga pakaian. “Astaghfirullah, Ali! Harga bajunya mahal sekali. Ngapain kita beli di sini? Di pasar lebih murah!”
Ali tersenyum sabar. “Sudah, Bu. Anggap saja ini hadiah buat Ibu. Jangan pikirkan harga. Yang penting Ibu nyaman dan senang.”
Sutini masih menggeleng, tetapi akhirnya menurut setelah Ali tetap bersikeras membelikannya beberapa helai pakaian. Setelah itu, mereka pergi ke toko buku.
Sutini mengira Ali akan membeli buku untuk kuliahnya. Namun, ia melihat putranya berjalan ke bagian bisnis dan pertanian.
“Ali, kamu mau beli buku tentang apa?”
Ali tersenyum. “Aku mau belajar tentang peternakan ayam, Bu. Siapa tahu nanti bisa jadi bisnis yang bagus.”
Hari itu, Ali dan Sutini kembali ke Halmora. Perjalanan panjang dari Adara membuat mereka lelah, tetapi Ali tampak bersemangat. Namun, selama tiga hari berikutnya, Ali jarang terlihat di rumah. Ia lebih banyak menghabiskan waktu bersama Nando. Mereka sering pergi entah ke mana, dan Sutini hanya bisa menghela napas setiap kali melihat putranya berangkat pagi dan pulang malam.
Hingga suatu sore, Ali dan Nando pulang dengan wajah penuh senyum. Di tangan Ali, ada sebuah map cokelat. Ia menyerahkannya kepada ibunya.
“Bu, lihat ini,” kata Ali, suaranya penuh semangat.
Sutini membuka map itu dengan alis berkerut. Matanya membesar ketika melihat isi dokumen di dalamnya. “Akta tanah?” tanyanya terkejut. “Ali, ini apa?”
Ali tersenyum lebar. “Aku beli lahan, Bu. Ini untuk usaha kami nanti. Aku dan Nando sudah survei tempatnya, strategis banget untuk peternakan ayam.”
Sutini masih tertegun. “Dari mana kamu dapat uang sebanyak ini, Ali?” tanyanya dengan nada khawatir.
Ali duduk di samping ibunya dan menatapnya lembut. “Semuanya dari saham, Bu. Aku sudah cerita, kan? Aku investasikan sebagian uangku, lalu hasilnya aku pakai untuk modal usaha.”
Sutini menghela napas, masih sulit percaya bagaimana anaknya bisa tiba-tiba punya uang banyak. Namun, setiap kali Ali menjelaskan, semuanya terdengar masuk akal.
“Ya sudah, Nak. Ibu percaya. Tapi jangan lupa, rezeki itu harus halal dan berkah.”
Ali mengangguk mantap. “Tentu, Bu. Justru ini usaha jangka panjang, biar kita nggak hanya bergantung pada saham.”
Sutini tersenyum kecil, hatinya sedikit tenang. Ia hanya berharap, apa pun yang dilakukan anaknya, akan membawa kebaikan untuk mereka.