Terima Kasih Orang Tuaku

0
(0)
Sebelum baca, ayo like halaman facebook dan subscribe youtube kami agar tidak ketinggalan info update!!

Memiliki orang tua yang penyayang adalah dambaan bagi semua anak di seluruh dunia. Tak melulu soal materi, kasih sayang tetaplah yang paling utama. Soal materi hanyalah nilai tambah, bukan yang utama. Namun, sayang sekali, aku tak mendapatkan hal utama itu, apalagi nilai tambahnya. Tapi tak apa, aku selalu percaya, suatu saat nanti, Tuhan akan menunjukkan hikmah dari kehidupanku ini.

Sebelumnya, perkenalkan namaku Ridwan. Saat ini, aku berumur 15 tahun. Tahun penderitaan terakhirku, karena setelah itu, aku benar-benar merasakan kebahagiaan yang didambakan oleh semua orang di seluruh dunia ini. Hari ini, aku ingin menceritakan kisah singkat kehidupanku. Lebih tepatnya, bagaimana penderitaan yang akhirnya menghasilkan hikmah yang begitu membahagiakan diriku.

Aku ingat sekali, waktu itu aku masih berumur enam tahun. Tahun pertama sekolah di sekolah dasar. Aku kira, sekolah itu hanya untuk bermain saja bersama teman-teman, ternyata belajar tak semenyenangkan yang aku kira.

“Ridwan, yang bener ya sekolahnya, biar gak kayak ibu sama bapak, jadi orang susah itu gak enak!” ucap Ibuku sambil memberikan tas sekolahku.

Hari itu, tak ada uang jajan karena cuaca sedang buruk, jadi, bapakku tidak bisa pergi bekerja. Oh iya, bapakku bekerja sebagai tukang ojek pangkalan. Penghasilannya tak seberapa, tapi cukup untuk biaya hidup kami sehari-hari.

“Baik Bu, aku berangkat dulu ya.”

Hari itu, hari terakhir sekolah. Karena ulangan kenaikan kelas akan segera berakhir, tadinya aku ingin membeli mainan kesukaanku sebagai hadiah untuk diriku sendiri karena sudah bersusah payah belajar untuk ulangan ini. Namun, tak bisa kubeli karena ibu tak memberiku uang jajan.

Seminggu berlalu, hari pembagian rapot pun tiba. Tidak seperti teman-temanku, selepas pembagian rapot, langsung diajak jalan-jalan oleh orang tuanya. Aku, malah dihadiahi pukulan oleh ibu dan bapakku.

“Dari empat puluh orang, kenapa cuma dapet ranking 10? Malu-maluin! Kamu mau hidup susah kayak kita hah? Anak gak tau diuntung!” bentak bapakku.

Pukulan-pukulan itu sudah seperti makanan sehari-hariku, aku tak begitu ambil hati lagi. Aku sudah sangat terbiasa.

Sejak saat itu, aku terus bekerja keras untuk mendapatkan nilai yang sempurna.

Namun, lagi-lagi kerja kerasku tak sebanding dengan hasil yang kudapat.

Sejak angkatan sekolahku, pemilihan SMP dan SMA disesuaikan dengan lokasi sekolah yang paling dekat dengan rumah. Atau, kita sering menyebutnya dengan sistem zonasi. Jadi, bagi siswa yang jarak rumahnya jauh dari sekolah favorit, kesempatan untuk masuk ke sekolah favorit itu sangatlah kecil.

SD kelas 6, usiaku 12 tahun. Aku berhasil menjadi peraih nilai terbesar. Namun, gagal masuk ke SMP favorit.

“Hebat sekali kamu. Ridwan, jangan berkecil hati ya enggak bisa masuk SMP favorit. Yang paling penting itu, sekarang belajar giat, yang paling penting itu nanti pas kuliah, baru pilih universitas terbaik. Sekolah SMP itu gak ngaruh banyak sama masa depan kamu, asal pilih yang gak banyak anak nakalnya aja ya.” ucap kepala sekolahku, Bu Erna.

Pujian dari para guru-guru tak sebanding dengan orang tuaku. Orang tuaku tetap tak mengerti dengan sistem zonasi yang sudah dijelaskan oleh diriku dan guru-guruku. Sepulang dari perpisahan di sekolah, aku dihadiahi pukulan dan ucapan yang menyakitkan hatiku.

“Sial banget ibu lahirin kamu! Percuma nilai bagus, tapi bodoh gak bisa masuk sekolah favorit! Liat anak orang, anak orang mah bisa sukses! Mikir dong Ridwan!” bentak ibukku sambil mendorong kepalaku dengan telunjuk tangannya.

Bapakku melemparku dengan helmnya, “Gak guna lo jadi anak! Sana mulung buat cari makan lo sendiri!”

Ucapan bapakku itu agak menginspirasiku. Benar juga ya, aku bisa sambil mulung untuk mencari uang tambahan untuk uang jajanku. Walaupun sakit, tapi aku selalu mencari hal baik dari apa yang orang tuaku katakan. Karena, kalau tidak seperti ini, aku akan terus-terusan bergelut dengan dendam. Dan ini, tentu saja tidak baik.

Waktu terus berlalu, tiga tahun kemudian, aku berusia lima belas tahun. Tahun terakhirku mendapatkan penderitaan, dan tahun pertamaku mendapatkan kebahagiaan yang tiada tara.

Menjelang ujian nasional, bapakku menghampiriku, “Rid, kamu kan udah tinggi nih. Sekali-kali gantiin bapak kerja ya, narik ojek sana.”

Aku langsung mengiyakan permintaan bapakku. Bapakku biasanya narik ojek di gang depan rumah kami, jalan yang tak diawasi oleh polisi lalu lintas. Jadi, tak ada sim pun tak apa.

“Boleh Pak, tapi abis ujian beres yah. Seminggu lagi beres kok.”

Bapakku mengiyakan permintaanku. Beliau sendiri tahu, aku sedang mempersiapkan ujianku. Aku setuju dengan permintaannya, karena aku juga tahu, setelah ujian nanti, aku pasti memiliki waktu luang yang sangat banyak.

Ujian pun selesai, dan aku resmi menjadi tukang ojek pangkala. Sambil menunggu pendaftaran SMA, aku sering menggantikan bapakku bekerja.

Namun, hal yang tak diduga adalah, bapakku melepaskan seluruh tanggung jawabnya padaku.

“Bapak udah capek banget kerja, udah 20 tahun narik ojek, sekarang giliran kamu kerja ya.” ucap bapak.

Aku hanya bisa terdiam. Bapakku baru berusia 40 tahun, tapi kenapa seolah sudah berusia 70 tahunan. Sejak aku narik ojek, bapak sering pergi mancing bersama teman-temannya.

Suatu hari, aku merasa tidak enak badan. Setelah kurang lebih satu bulan narik ojek, aku lupa untuk mengistirahatkan tubuhku. Aku berkata pada bapakku, “Pak, hari ini aku gak narik dulu ya. Aku gak enak badan.”

Dan bapakku yang bau alkohol itu lalu menendangku.

Iya, bapak memiliki kebiasaan minum ciu bersama teman-temannya. Dan ibuku juga kadang-kadang ikut minum-minum dengan bapak.

Bruk!

Satu pukulan lagi kembali mendarat di tubuhku.

“Ampun Pak, iya aku narik lagi sekarang!” teriakku.

Namun, bapak menghiraukanku. Bapak mengangkat kakinya, menendang leherku. Dan pada saat itu, menjadi hari terakhirku melihar bapakku.

Seperti mimpi, aku langsung hilang kesadaran, seolah masuk ke dalam mimpi, lalu sesosok makhluk yang sering digambarkan seperti seorang malaikat, memiliki sayap dan berjubah putih, datang menghampiriku.

“Aku jaga engkau dalam pelukanku, mulai hari ini, berbahagialah. Sudah waktunya menikmati hikmah dari kesabaranmu menghadapi penderitaan kejamnya dunia yang fana.”

Sejak hari itu, aku tak tahu lagi keadaan orang tuaku. Yang pasti, aku benar-benar berada di tempat yang paling nyaman dan aman.

Mungkin, ini yang dinamakan surga. Surga yang sering disebut oleh orang-orang di dunia.

Terima kasih orang tuaku, sudah menjadi orang yang mengantarkanku ke tempat yang paling diidam-idamkan oleh manusia.

END

Terima kasih sudah membaca novel kami. Untuk menyemangati author agar terus update, jangan lupa share, komen dan klik salah satu iklan di web kami(Hehehe lumayan bisa beli cemilan untuk menemani author nulis XD)   

Rate cerita ini yuk Kak!

Click on a star to rate it!

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Terima Kasih Orang Tuaku

Terima Kasih Orang Tuaku

Sebelum baca, ayo like halaman facebook dan subscribe youtube kami agar tidak ketinggalan info update!!

Memiliki orang tua yang penyayang adalah dambaan bagi semua anak di seluruh dunia. Tak melulu soal materi, kasih sayang tetaplah yang paling utama. Soal materi hanyalah nilai tambah, bukan yang utama. Namun, sayang sekali, aku tak mendapatkan hal utama itu, apalagi nilai tambahnya. Tapi tak apa, aku selalu percaya, suatu saat nanti, Tuhan akan menunjukkan hikmah dari kehidupanku ini.

Sebelumnya, perkenalkan namaku Ridwan. Saat ini, aku berumur 15 tahun. Tahun penderitaan terakhirku, karena setelah itu, aku benar-benar merasakan kebahagiaan yang didambakan oleh semua orang di seluruh dunia ini. Hari ini, aku ingin menceritakan kisah singkat kehidupanku. Lebih tepatnya, bagaimana penderitaan yang akhirnya menghasilkan hikmah yang begitu membahagiakan diriku.

Aku ingat sekali, waktu itu aku masih berumur enam tahun. Tahun pertama sekolah di sekolah dasar. Aku kira, sekolah itu hanya untuk bermain saja bersama teman-teman, ternyata belajar tak semenyenangkan yang aku kira.

"Ridwan, yang bener ya sekolahnya, biar gak kayak ibu sama bapak, jadi orang susah itu gak enak!" ucap Ibuku sambil memberikan tas sekolahku.

Hari itu, tak ada uang jajan karena cuaca sedang buruk, jadi, bapakku tidak bisa pergi bekerja. Oh iya, bapakku bekerja sebagai tukang ojek pangkalan. Penghasilannya tak seberapa, tapi cukup untuk biaya hidup kami sehari-hari.

"Baik Bu, aku berangkat dulu ya."

Hari itu, hari terakhir sekolah. Karena ulangan kenaikan kelas akan segera berakhir, tadinya aku ingin membeli mainan kesukaanku sebagai hadiah untuk diriku sendiri karena sudah bersusah payah belajar untuk ulangan ini. Namun, tak bisa kubeli karena ibu tak memberiku uang jajan.

Seminggu berlalu, hari pembagian rapot pun tiba. Tidak seperti teman-temanku, selepas pembagian rapot, langsung diajak jalan-jalan oleh orang tuanya. Aku, malah dihadiahi pukulan oleh ibu dan bapakku.

"Dari empat puluh orang, kenapa cuma dapet ranking 10? Malu-maluin! Kamu mau hidup susah kayak kita hah? Anak gak tau diuntung!" bentak bapakku.

Pukulan-pukulan itu sudah seperti makanan sehari-hariku, aku tak begitu ambil hati lagi. Aku sudah sangat terbiasa.

Sejak saat itu, aku terus bekerja keras untuk mendapatkan nilai yang sempurna.

Namun, lagi-lagi kerja kerasku tak sebanding dengan hasil yang kudapat.

Sejak angkatan sekolahku, pemilihan SMP dan SMA disesuaikan dengan lokasi sekolah yang paling dekat dengan rumah. Atau, kita sering menyebutnya dengan sistem zonasi. Jadi, bagi siswa yang jarak rumahnya jauh dari sekolah favorit, kesempatan untuk masuk ke sekolah favorit itu sangatlah kecil.

SD kelas 6, usiaku 12 tahun. Aku berhasil menjadi peraih nilai terbesar. Namun, gagal masuk ke SMP favorit.

"Hebat sekali kamu. Ridwan, jangan berkecil hati ya enggak bisa masuk SMP favorit. Yang paling penting itu, sekarang belajar giat, yang paling penting itu nanti pas kuliah, baru pilih universitas terbaik. Sekolah SMP itu gak ngaruh banyak sama masa depan kamu, asal pilih yang gak banyak anak nakalnya aja ya." ucap kepala sekolahku, Bu Erna.

Pujian dari para guru-guru tak sebanding dengan orang tuaku. Orang tuaku tetap tak mengerti dengan sistem zonasi yang sudah dijelaskan oleh diriku dan guru-guruku. Sepulang dari perpisahan di sekolah, aku dihadiahi pukulan dan ucapan yang menyakitkan hatiku.

"Sial banget ibu lahirin kamu! Percuma nilai bagus, tapi bodoh gak bisa masuk sekolah favorit! Liat anak orang, anak orang mah bisa sukses! Mikir dong Ridwan!" bentak ibukku sambil mendorong kepalaku dengan telunjuk tangannya.

Bapakku melemparku dengan helmnya, "Gak guna lo jadi anak! Sana mulung buat cari makan lo sendiri!"

Ucapan bapakku itu agak menginspirasiku. Benar juga ya, aku bisa sambil mulung untuk mencari uang tambahan untuk uang jajanku. Walaupun sakit, tapi aku selalu mencari hal baik dari apa yang orang tuaku katakan. Karena, kalau tidak seperti ini, aku akan terus-terusan bergelut dengan dendam. Dan ini, tentu saja tidak baik.

Waktu terus berlalu, tiga tahun kemudian, aku berusia lima belas tahun. Tahun terakhirku mendapatkan penderitaan, dan tahun pertamaku mendapatkan kebahagiaan yang tiada tara.

Menjelang ujian nasional, bapakku menghampiriku, "Rid, kamu kan udah tinggi nih. Sekali-kali gantiin bapak kerja ya, narik ojek sana."

Aku langsung mengiyakan permintaan bapakku. Bapakku biasanya narik ojek di gang depan rumah kami, jalan yang tak diawasi oleh polisi lalu lintas. Jadi, tak ada sim pun tak apa.

"Boleh Pak, tapi abis ujian beres yah. Seminggu lagi beres kok."

Bapakku mengiyakan permintaanku. Beliau sendiri tahu, aku sedang mempersiapkan ujianku. Aku setuju dengan permintaannya, karena aku juga tahu, setelah ujian nanti, aku pasti memiliki waktu luang yang sangat banyak.

Ujian pun selesai, dan aku resmi menjadi tukang ojek pangkala. Sambil menunggu pendaftaran SMA, aku sering menggantikan bapakku bekerja.

Namun, hal yang tak diduga adalah, bapakku melepaskan seluruh tanggung jawabnya padaku.

"Bapak udah capek banget kerja, udah 20 tahun narik ojek, sekarang giliran kamu kerja ya." ucap bapak.

Aku hanya bisa terdiam. Bapakku baru berusia 40 tahun, tapi kenapa seolah sudah berusia 70 tahunan. Sejak aku narik ojek, bapak sering pergi mancing bersama teman-temannya.

Suatu hari, aku merasa tidak enak badan. Setelah kurang lebih satu bulan narik ojek, aku lupa untuk mengistirahatkan tubuhku. Aku berkata pada bapakku, "Pak, hari ini aku gak narik dulu ya. Aku gak enak badan."

Dan bapakku yang bau alkohol itu lalu menendangku.

Iya, bapak memiliki kebiasaan minum ciu bersama teman-temannya. Dan ibuku juga kadang-kadang ikut minum-minum dengan bapak.

Bruk!

Satu pukulan lagi kembali mendarat di tubuhku.

"Ampun Pak, iya aku narik lagi sekarang!" teriakku.

Namun, bapak menghiraukanku. Bapak mengangkat kakinya, menendang leherku. Dan pada saat itu, menjadi hari terakhirku melihar bapakku.

Seperti mimpi, aku langsung hilang kesadaran, seolah masuk ke dalam mimpi, lalu sesosok makhluk yang sering digambarkan seperti seorang malaikat, memiliki sayap dan berjubah putih, datang menghampiriku.

"Aku jaga engkau dalam pelukanku, mulai hari ini, berbahagialah. Sudah waktunya menikmati hikmah dari kesabaranmu menghadapi penderitaan kejamnya dunia yang fana."

Sejak hari itu, aku tak tahu lagi keadaan orang tuaku. Yang pasti, aku benar-benar berada di tempat yang paling nyaman dan aman.

Mungkin, ini yang dinamakan surga. Surga yang sering disebut oleh orang-orang di dunia.

Terima kasih orang tuaku, sudah menjadi orang yang mengantarkanku ke tempat yang paling diidam-idamkan oleh manusia.

END

Terima kasih sudah membaca novel kami. Untuk menyemangati author agar terus update, jangan lupa share, komen dan klik salah satu iklan di web kami(Hehehe lumayan bisa beli cemilan untuk menemani author nulis XD)   

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Plugin Kapsule Corp

Options

not work with dark mode
Reset
Part of PT. King Alin Jaya