Wanna Go Back

0
(0)

Namaku Septianisa. Hari ini tanggal satu Juni tepat pukul dua lebih empatpuluhsembilan siang. Aku sedang terbaring sambil mendengarkan lagu Korea dari band favoritku, Day6. Judul lagunya Wanna go back. Makna lagunya? Aku akan mengartikannya. 

Sepertinya sedang sama dengan situasiku saat ini. Maksudnya lagu ini bercerita tentang kerinduan. Rindu akan sesuatu yang menjurus pada masa remaja. Oh, tunggu. Aku masih remaja saat ini. Jadi jangan berfikir aku sudah tua. 

Kemana arah cerita ini? Mengalir saja. 

Sungguh, jika para orang tua pernah bilang tentang belajar, belajar, dan terus belajar agar menjadi seorang yang bermanfaat dimasa depan anak anak yang bebal akan menganggap semua itu angin lalu. Percayalah, akupun sama saja. Untuk apa belajar jika kelulusan kelas enam saja masih sangat lama. Oits, cerita ini sudah ke masa lalu. Mari menjelajah. 

Namaku Septianisa, aku sudah mengatakannya tadi. Biasa dipanggil Anisa, Anis, atau Ais. Panggilan mana yang aku suka? Terserah kalian. Aku bahkan dipanggil cemplok, dimana dalam bahasa Jawa berarti berpipi cabi. Aku anak ke dua dari tiga bersaudara, namun saat itu aku belum punya adik. Kakak laki lakiku lahir enam tahun sebelum aku, dan adik laki lakiku lahir sembilan tahun setelah aku. Namun aku akan bercerita tentang aku semasa SD, adikku belum lahir. 

Pagi itu cerah, seperti biasa. Aku yang masih kelas satu SD belum berani melangkah ke sekolah sendiri. Diantar Ibuk yang kemudian menungguku di gerbang sekolah. Aku tidak mengijinkan Ibuk pulang karena jujur, aku masih takut sekolah. Pengalamanku dengan sekolah tidak pernah berjalan baik. Semasa TK aku sering berkelahi dengan hasil lubang lubang merah disekujur tangan karena adu cubitan. Dan aku menangis tentu saja. Ingin tau alasannya? Aku tidak tau pasti, namun aku bisa sedikit menjelaskan. Tubuhku pendek kala itu, hitam dan gemuk. Sejak TK akulah satu satunya siswa yang memakai kerudung. Dibuatkan Ibuk dengan kain kain sisa membuat baju yang masih layak digunakan untuk menutup kepala besarku. Uang saku hanya limapuluh perak yang akan aku belanjakan jika Ibuk ada didekatku. Tidak berani jajan sendiri. Aku ingat, satu teman satu kelasku saat TK, dia seperti jagoan. Sering berbuat nakal pada siapapun padahal orangnya diam saja. Termasuk aku. Dia sering berbuat nakal. Seperti mengambil pensil warnaku kemudian mematahkannya, hey, siapa dia, pensil warna itu milikku. Ah, sudahlah. 

Aku tidak tau hari itu ada pelajaran apa, namun yang pasti, lagi lagi aku mendapat musuh. Beberapa cowok yang lagi lagi sok jagoan padahal tinggal kelas. Dan beberapa cewek dengan rok mekar dan kuncir kuda. Hahaha, hari pertama tapi sudah dapat musuh, parahnya tidak punya teman pula. 

Hari hariku di SD berjalan biasa saja. Masih seputar sekolah kemudian pulang, makan, kemudian main. Bedanya, Ibuk sudah tidak menungguiku, melepasku yang tidak punya teman ini. Malang, bukan. Namun jangan salah, aku masih punya dua sepupu dengan umur satu dan dua tahun dibawahku juga satu anak tetangga yang seumuran. Kami menjadi satu geng, bermain dan melanggar peraturan. Sungguh, masa kecil yang luar biasa.

Di sekolah, aku akan menjadi Septianisa yang pendiam. Hanya bereaksi kala diganggu. Mencubit, menampar sampai berkelahi. Dulu ada anak satu kelas yang lapor orang tuanya karena aku membuatnya berdarah. Halah, dasar manja. Dia yang mulai, dia juga yang ngadu. Percayalah, sampai sekarang aku masih membencinya. Dirumah aku akan menjadi Septianisa sang petualang. Menyusuri Kali, naik turun tanggul mencari bengkuang sampai memanjat pohon rambutan yang tumbuh benar benar berdekatan dengan kali. Kalo jatuh, bisa langsung berenang dan mencari udang. Namun itu hanya terjadi semasa masuk sekolah, kala libur panjang aku akan ke kota bersama bapak. Kerumah nenek agar punya cerita esai saat guru bahasa indonesia meminta muridnya untuk menceritakan pengalaman liburan. Namun jujur, pengalaman paling berkesan justru saat main di kali. Saat bergaya membawa batang pohon salak yang sudah dibersihkan daun dan durinya. Disulap menjadi pancingan. Berjalan menyusuri kali, mencari tempat paling bagus untuk memancing sekaligus mandi. Karena kalo ikan tidak mau makan umpan maka lebih baik melepas baju dan nyemplung untuk menangkapnya. Sungguh seru.

Namun, di kota aku justru dipaksa bapak belajar. Membaca koran koran bekas sambil menunggu nenek berjualan buah dipasar pagi. Kemudian pulang membawa keranjang berisi buah sisa dengan becak yang dikendarai bapak. Seperti itu terus sampai liburan selesai.

Hal yang paling aku rindukan dimasa itu. Berlari mengejar belalang, menangkapnya sebanyak mungkin kemudian meminta Ibuk menggorengnya. Walau dengan perasaan jijik, tetap bergaya memakan belalang hasil buruan. Atau sengaja berburu kacang mete di tanggul kali. Memakan buahnya didahan pohon yang melengkung kemudian membawa pulang biji untuk dibakar. Pernah kami mencoba membakarnya, yang keluar bukan cuma aroma lezat dari kacang mete namun juga gumpalan asap yang pasti dikira kebarakan oleh warga desa.

Dan apa yang benar benar aku rindu adalah kawan kawanku. Tiga cowok yang selalu berpetualang denganku.

“Mbak, ayo ke markas.” ucap Adit, salah satu kawanku.

Markas. Hahaha, lucu sekali mengingatnya. Markas yang kami maksud adalah tumpukan batu ditengah hutan. Kami menyebutnya hutan karena banyak pohon dan semak. Padahal itu kebun mahoni yang sengaja ditanami namun dibiarkan liar sampai layak tebang. Disana terdapat pohon jambu biji yang sering berbuah. Kami memanjat dan ngobrol disana kemudian memakan jambu biji sampai habis tiga buah. Macam kera. 

“Kemaren banjir. Kali jadi warna coklat.” ucap Riski masih mengunyah jambu bijinya.

“Iya, nggak bisa mandi.” 

Kemarin sore hujan lebat di hulu sungai. Hingga banjir yang membawa lumpur dan sisa sisa dahan kering turun ke hilir. Kali didekat desa kami adalah salah satu kali yang terhubung dengan gunung berapi. Jika gunung sedang erupsi maka lahar dingin akan mengalir menuju hilir melewati kali tempat bermain kami membawa dahan hangus besar, bebatuan dan pasir. Namum yang paling banyak hanya lumpur. 

Gunung berapi baru erupsi musim panas tahun ini dan ketika musim hujan tiba maka air akan berubah menjadi coklat. Dan saat itulah kami hanya bisa menunggu hujan hujan berikutnya turun untuk membersihkan sisa sisa lumpur. 

Namun jangan kira ketika lumpur memenuhi kali maka tempat bermain kami akan menghilang. Karena jawabnya adalah sama sekali tidak. Kami justru bisa bermain lumpur. Membuat rumah rumahan dari lumpur semacam membuat istana dari pasir di pinggir pantai. Mencari batu batu kali besar yang kami naikkan ke atas tanggul kemudian di jual ke bapak bapak yang rumahnya rusak akibat getaran gempa dampak gunung berapi sedang batuk. Lalu diberi upah yang bisa dipakai untuk jajan es jeruk plastikan atau siomay selama satu minggu penuh. 

Mengingatnya membuatku ingin kembali ke masa itu. Berlarian membawa layangan yang dibuat sendiri lebih besar dari tubuh kami. Kala menerbangkannya badan seolah ingin ikut terbang dibawa layang-layang. Jadi harus dipegang minimal berdua. Dan jika putus dua orang lainnya akan dengan sangat ganas berlari mengejarnya. Melewati tanamam penduduk, menginjak nginjaknya kemudian diceramahi habis habisan. Layang-layang itu dibuat dengan uang juga. Uang hasil mengangkut batu dari kali keatas tanggul. 

Kini aku hanya bisa mengenangnya. Benerapa hari sebelum ujian nasional kendaraan besar dari kota mengangkut buldoser. Menghancurkan pepohonan yang tertanam dipinggir kali. Kami berdiri menontonnya diujung tanggul. Menyaksikan bagaimana ganasnya mereka melenyapkan tempat bermain kami dengan alasan akan diperbaiki. Apakah dengan begitu udang udang akan beranak pinak? Ikan ikan besar akan semakin besar dan bisa dengan mudah ditangkap? Apakah pohon pohon jambu tempat kami menyebutnya markas akan tetap tumbuh kokoh dan menghasilkan banyak buah?

Ternyata tidak. Kala kami sibuk dengan banyak buku deru mesin penenbang bersuara girang. Kemudian pohon pohon menangis tumbang. Lalu lalang truk pengangkut pasir kemudian mobil pengaduk semen. Hilir mudik siang dan malam. Menutup telinga dan terpejam menatap kami yang hanya bisa memandang kosong. Tempat bermain kami hilang. Tempat yang kata orang tua kami berbahaya karena banyak ular. 

Hanya dalam hitungan minggu. Pohon pohon menghilang. Airnya keruh. Jangankan ikan ikan besar mungkin ikan kecil saja enggan berenang disana. Memilih mati cepat daripada terus tersiksa. Pohon rambutan dan pohon mangga menghilang. Pohon nanas entah sudah kemana. 

Mereka kejam. Menghilangkannya dan membiarkan kami tersiksa melihatnya. Lebih baik banjir saja yang menerjang. Menghilangkan dengan sekejap namun akan kembali seperti semula.

Rasanya aku ingin kembali ke masa itu. Masa paling menyenangkan seumur hidup. 

Aku bersyukur. Meski kini tempat bermainku hancur berubah menjadi beton disana sini namun aku masih beruntung. Bisa mengukir kenangan indah yang akan membut iri orang orang itu. Kami berlarian kesana kemari. Memaiki tanggul menuruninya kemudian begitu terus hingga senja dan orang tua kami mendatangi sambil membawa sapu lidi. Berteriak kencang karena kesal anak anaknya belum mandi.

Anak anak kota tidak akan tau bagaimana rasanya. Anak anak yang dipaksa belajar dan berhadapan dengan bukupun juga tidak akan tau bagaimana rasanya.

Aku hanya ingin kalian percaya, kawan. Dimarahi karena terus bermaim di kali seribu kali lebih menyenangkan daripada dimarahi karena tidak mengerjakan pr. 

Sungguh, aku ingin kembali ke masa itu. Benar benar ingin kembali.

Nama Penulis : Septianisa

Akun Instagram : Moonrisesa
Akun FB : Septianisa
Akun Wattpad : Aniisachan

Rate cerita ini yuk Kak!

Click on a star to rate it!

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Wanna Go Back

Wanna Go Back

Namaku Septianisa. Hari ini tanggal satu Juni tepat pukul dua lebih empatpuluhsembilan siang. Aku sedang terbaring sambil mendengarkan lagu Korea dari band favoritku, Day6. Judul lagunya Wanna go back. Makna lagunya? Aku akan mengartikannya. 

Sepertinya sedang sama dengan situasiku saat ini. Maksudnya lagu ini bercerita tentang kerinduan. Rindu akan sesuatu yang menjurus pada masa remaja. Oh, tunggu. Aku masih remaja saat ini. Jadi jangan berfikir aku sudah tua. 

Kemana arah cerita ini? Mengalir saja. 

Sungguh, jika para orang tua pernah bilang tentang belajar, belajar, dan terus belajar agar menjadi seorang yang bermanfaat dimasa depan anak anak yang bebal akan menganggap semua itu angin lalu. Percayalah, akupun sama saja. Untuk apa belajar jika kelulusan kelas enam saja masih sangat lama. Oits, cerita ini sudah ke masa lalu. Mari menjelajah. 

Namaku Septianisa, aku sudah mengatakannya tadi. Biasa dipanggil Anisa, Anis, atau Ais. Panggilan mana yang aku suka? Terserah kalian. Aku bahkan dipanggil cemplok, dimana dalam bahasa Jawa berarti berpipi cabi. Aku anak ke dua dari tiga bersaudara, namun saat itu aku belum punya adik. Kakak laki lakiku lahir enam tahun sebelum aku, dan adik laki lakiku lahir sembilan tahun setelah aku. Namun aku akan bercerita tentang aku semasa SD, adikku belum lahir. 

Pagi itu cerah, seperti biasa. Aku yang masih kelas satu SD belum berani melangkah ke sekolah sendiri. Diantar Ibuk yang kemudian menungguku di gerbang sekolah. Aku tidak mengijinkan Ibuk pulang karena jujur, aku masih takut sekolah. Pengalamanku dengan sekolah tidak pernah berjalan baik. Semasa TK aku sering berkelahi dengan hasil lubang lubang merah disekujur tangan karena adu cubitan. Dan aku menangis tentu saja. Ingin tau alasannya? Aku tidak tau pasti, namun aku bisa sedikit menjelaskan. Tubuhku pendek kala itu, hitam dan gemuk. Sejak TK akulah satu satunya siswa yang memakai kerudung. Dibuatkan Ibuk dengan kain kain sisa membuat baju yang masih layak digunakan untuk menutup kepala besarku. Uang saku hanya limapuluh perak yang akan aku belanjakan jika Ibuk ada didekatku. Tidak berani jajan sendiri. Aku ingat, satu teman satu kelasku saat TK, dia seperti jagoan. Sering berbuat nakal pada siapapun padahal orangnya diam saja. Termasuk aku. Dia sering berbuat nakal. Seperti mengambil pensil warnaku kemudian mematahkannya, hey, siapa dia, pensil warna itu milikku. Ah, sudahlah. 

Aku tidak tau hari itu ada pelajaran apa, namun yang pasti, lagi lagi aku mendapat musuh. Beberapa cowok yang lagi lagi sok jagoan padahal tinggal kelas. Dan beberapa cewek dengan rok mekar dan kuncir kuda. Hahaha, hari pertama tapi sudah dapat musuh, parahnya tidak punya teman pula. 

Hari hariku di SD berjalan biasa saja. Masih seputar sekolah kemudian pulang, makan, kemudian main. Bedanya, Ibuk sudah tidak menungguiku, melepasku yang tidak punya teman ini. Malang, bukan. Namun jangan salah, aku masih punya dua sepupu dengan umur satu dan dua tahun dibawahku juga satu anak tetangga yang seumuran. Kami menjadi satu geng, bermain dan melanggar peraturan. Sungguh, masa kecil yang luar biasa.

Di sekolah, aku akan menjadi Septianisa yang pendiam. Hanya bereaksi kala diganggu. Mencubit, menampar sampai berkelahi. Dulu ada anak satu kelas yang lapor orang tuanya karena aku membuatnya berdarah. Halah, dasar manja. Dia yang mulai, dia juga yang ngadu. Percayalah, sampai sekarang aku masih membencinya. Dirumah aku akan menjadi Septianisa sang petualang. Menyusuri Kali, naik turun tanggul mencari bengkuang sampai memanjat pohon rambutan yang tumbuh benar benar berdekatan dengan kali. Kalo jatuh, bisa langsung berenang dan mencari udang. Namun itu hanya terjadi semasa masuk sekolah, kala libur panjang aku akan ke kota bersama bapak. Kerumah nenek agar punya cerita esai saat guru bahasa indonesia meminta muridnya untuk menceritakan pengalaman liburan. Namun jujur, pengalaman paling berkesan justru saat main di kali. Saat bergaya membawa batang pohon salak yang sudah dibersihkan daun dan durinya. Disulap menjadi pancingan. Berjalan menyusuri kali, mencari tempat paling bagus untuk memancing sekaligus mandi. Karena kalo ikan tidak mau makan umpan maka lebih baik melepas baju dan nyemplung untuk menangkapnya. Sungguh seru.

Namun, di kota aku justru dipaksa bapak belajar. Membaca koran koran bekas sambil menunggu nenek berjualan buah dipasar pagi. Kemudian pulang membawa keranjang berisi buah sisa dengan becak yang dikendarai bapak. Seperti itu terus sampai liburan selesai.

Hal yang paling aku rindukan dimasa itu. Berlari mengejar belalang, menangkapnya sebanyak mungkin kemudian meminta Ibuk menggorengnya. Walau dengan perasaan jijik, tetap bergaya memakan belalang hasil buruan. Atau sengaja berburu kacang mete di tanggul kali. Memakan buahnya didahan pohon yang melengkung kemudian membawa pulang biji untuk dibakar. Pernah kami mencoba membakarnya, yang keluar bukan cuma aroma lezat dari kacang mete namun juga gumpalan asap yang pasti dikira kebarakan oleh warga desa.

Dan apa yang benar benar aku rindu adalah kawan kawanku. Tiga cowok yang selalu berpetualang denganku.

"Mbak, ayo ke markas." ucap Adit, salah satu kawanku.

Markas. Hahaha, lucu sekali mengingatnya. Markas yang kami maksud adalah tumpukan batu ditengah hutan. Kami menyebutnya hutan karena banyak pohon dan semak. Padahal itu kebun mahoni yang sengaja ditanami namun dibiarkan liar sampai layak tebang. Disana terdapat pohon jambu biji yang sering berbuah. Kami memanjat dan ngobrol disana kemudian memakan jambu biji sampai habis tiga buah. Macam kera. 

"Kemaren banjir. Kali jadi warna coklat." ucap Riski masih mengunyah jambu bijinya.

"Iya, nggak bisa mandi." 

Kemarin sore hujan lebat di hulu sungai. Hingga banjir yang membawa lumpur dan sisa sisa dahan kering turun ke hilir. Kali didekat desa kami adalah salah satu kali yang terhubung dengan gunung berapi. Jika gunung sedang erupsi maka lahar dingin akan mengalir menuju hilir melewati kali tempat bermain kami membawa dahan hangus besar, bebatuan dan pasir. Namum yang paling banyak hanya lumpur. 

Gunung berapi baru erupsi musim panas tahun ini dan ketika musim hujan tiba maka air akan berubah menjadi coklat. Dan saat itulah kami hanya bisa menunggu hujan hujan berikutnya turun untuk membersihkan sisa sisa lumpur. 

Namun jangan kira ketika lumpur memenuhi kali maka tempat bermain kami akan menghilang. Karena jawabnya adalah sama sekali tidak. Kami justru bisa bermain lumpur. Membuat rumah rumahan dari lumpur semacam membuat istana dari pasir di pinggir pantai. Mencari batu batu kali besar yang kami naikkan ke atas tanggul kemudian di jual ke bapak bapak yang rumahnya rusak akibat getaran gempa dampak gunung berapi sedang batuk. Lalu diberi upah yang bisa dipakai untuk jajan es jeruk plastikan atau siomay selama satu minggu penuh. 

Mengingatnya membuatku ingin kembali ke masa itu. Berlarian membawa layangan yang dibuat sendiri lebih besar dari tubuh kami. Kala menerbangkannya badan seolah ingin ikut terbang dibawa layang-layang. Jadi harus dipegang minimal berdua. Dan jika putus dua orang lainnya akan dengan sangat ganas berlari mengejarnya. Melewati tanamam penduduk, menginjak nginjaknya kemudian diceramahi habis habisan. Layang-layang itu dibuat dengan uang juga. Uang hasil mengangkut batu dari kali keatas tanggul. 

Kini aku hanya bisa mengenangnya. Benerapa hari sebelum ujian nasional kendaraan besar dari kota mengangkut buldoser. Menghancurkan pepohonan yang tertanam dipinggir kali. Kami berdiri menontonnya diujung tanggul. Menyaksikan bagaimana ganasnya mereka melenyapkan tempat bermain kami dengan alasan akan diperbaiki. Apakah dengan begitu udang udang akan beranak pinak? Ikan ikan besar akan semakin besar dan bisa dengan mudah ditangkap? Apakah pohon pohon jambu tempat kami menyebutnya markas akan tetap tumbuh kokoh dan menghasilkan banyak buah?

Ternyata tidak. Kala kami sibuk dengan banyak buku deru mesin penenbang bersuara girang. Kemudian pohon pohon menangis tumbang. Lalu lalang truk pengangkut pasir kemudian mobil pengaduk semen. Hilir mudik siang dan malam. Menutup telinga dan terpejam menatap kami yang hanya bisa memandang kosong. Tempat bermain kami hilang. Tempat yang kata orang tua kami berbahaya karena banyak ular. 

Hanya dalam hitungan minggu. Pohon pohon menghilang. Airnya keruh. Jangankan ikan ikan besar mungkin ikan kecil saja enggan berenang disana. Memilih mati cepat daripada terus tersiksa. Pohon rambutan dan pohon mangga menghilang. Pohon nanas entah sudah kemana. 

Mereka kejam. Menghilangkannya dan membiarkan kami tersiksa melihatnya. Lebih baik banjir saja yang menerjang. Menghilangkan dengan sekejap namun akan kembali seperti semula.

Rasanya aku ingin kembali ke masa itu. Masa paling menyenangkan seumur hidup. 

Aku bersyukur. Meski kini tempat bermainku hancur berubah menjadi beton disana sini namun aku masih beruntung. Bisa mengukir kenangan indah yang akan membut iri orang orang itu. Kami berlarian kesana kemari. Memaiki tanggul menuruninya kemudian begitu terus hingga senja dan orang tua kami mendatangi sambil membawa sapu lidi. Berteriak kencang karena kesal anak anaknya belum mandi.

Anak anak kota tidak akan tau bagaimana rasanya. Anak anak yang dipaksa belajar dan berhadapan dengan bukupun juga tidak akan tau bagaimana rasanya.

Aku hanya ingin kalian percaya, kawan. Dimarahi karena terus bermaim di kali seribu kali lebih menyenangkan daripada dimarahi karena tidak mengerjakan pr. 

Sungguh, aku ingin kembali ke masa itu. Benar benar ingin kembali.

Nama Penulis : Septianisa

Akun Instagram : Moonrisesa
Akun FB : Septianisa
Akun Wattpad : Aniisachan

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Plugin Kapsule Corp

Options

not work with dark mode
Reset
Part of PT. King Alin Jaya