Mendengar kata-kata Bella yang penuh akan kesungguhan itu, Arlina seketika meneteskan air mata. Kenapa? Kenapa dirinya harus diberi ujian takdir seperti ini?
Sebelum melangkahkan kaki menuju pintu imigrasi, Arlina menyeka air mata Bella dan berkata, “Arlina, kamu harus janji sama aku, kamu harus bahagia, harus perjuangin masa depan kamu, oke?”
“Apa pun yang terjadi, kamu harus tetap lihat ke depan, fokus, oke?” lanjut Arlina lagi.
Bella tampak terkejut mendengar ucapan Arlina, “Kak, kenapa kata-kata kamu seolah mau selamanya pisah sama aku?”
“Perasaan kamu aja, tunggu sebentar,” Arlina mengeluarkan sebuah kotak dari tasnya dan memberikannya pada Bella, “aku ada sesuatu buat kamu, buka pas kamu udah di rumah aja. Aku pamit pergi dulu ya. Takut telat.”
Waktu itu, Bella hanya bisa melihat bayangan punggung Arlina yang mulai menghilang dari pandangannya. Air mata tiada hentinya mengalir.
Sesampainya di rumah, Bella segera membuka kotak pemberian Arlina yang berisi secarik surat. Surat itu berisi:
Kepada Bella yang Tercinta,
Maafkan aku atas surat ini, Bella. Aku tahu ini akan menyakitkanmu, tapi aku tidak bisa lagi menunda untuk mengatakan yang sebenarnya.
Alasan aku pergi ke Inggris bukan hanya untuk melanjutkan studi. Aku pergi untuk memulai hidup baru. Di sana, aku sudah memiliki suami.
Aku tahu ini sulit untuk diterima, Bella. Aku tahu kau mencintaiku, dan aku pun mencintaimu. Tapi cinta kita terlarang, Bella. Kita tidak bisa bersama.
Aku mohon, berhentilah menungguku. Aku tidak akan pernah kembali. Lupakan aku, Bella. Kembalilah kepada Reza, pacaramu. Fokuslah pada studimu dan bangunlah masa depanmu.
Percayalah, aku benar-benar mencintaimu, Bella. Tapi cinta terlarang ini harus dihentikan. Aku tidak ingin kau terluka lebih dalam lagi.
Aku harap kau bisa mengerti dan memaafkanku.
Salam sayang,
Arlina
Air mata Bella mengalir tanpa henti saat ia membaca surat Arlina. Kata demi kata bagaikan pisau yang menusuk hatinya. Cinta yang selama ini dia perjuangkan, cinta yang dia kira sejati, ternyata hanya ilusi. Arlina telah pergi dengan membawa hatinya.
Bella melihat jam di dinding kamarnya. Harusnya saat ini Arlina belum lepas landas. Tapi pesan WhatsApp yang dia kirimkan beberapa jam lalu hanya menunjukkan satu tanda centang. Harapan kecil masih berkecamuk di hatinya. Mungkin Arlina sibuk di pesawat, pikirnya.
Semalaman itu, Bella berusaha untuk tetap positif. Dia meyakinkan dirinya bahwa Arlina hanya lupa membalas pesannya karena masih dalam perjalanan. Dia mencoba untuk tidur, tapi pikirannya terus menerus dihantui oleh surat Arlina.
Pagi hari tiba, dan Bella kembali membuka WhatsApp. Pesannya masih menunjukkan satu tanda centang. Rasa sakit di hatinya semakin bertambah. Dia mencoba mengirim pesan lagi dari nomor baru, dan kali ini dua tanda centang muncul. Tapi harapannya kembali pupus saat pesannya tak kunjung dibalas.
Bella terduduk di lantai kamarnya, diliputi oleh kesedihan dan keputusasaan. Dia tak sanggup lagi untuk menahan rasa sakitnya. Dia menangis sekuat tenaga, mengeluarkan semua perasaannya yang terluka.
Dunia Bella runtuh seketika. Cinta yang dia perjuangkan selama ini telah sirna. Dia tak tahu lagi harus berpegang teguh pada apa. Rasa sakit di hatinya terasa begitu perih, seolah-olah takkan pernah sembuh.
Seiring waktu, Bella mulai terbiasa dengan rutinitas kuliahnya. Dia mengikuti kelas dengan penuh semangat, berusaha untuk mengalihkan pikirannya dari Arlina. Namun, bayangan Arlina selalu menghantui setiap malamnya.
Bella teringat kenangan indah bersama Arlina. Saat-saat mereka belajar bersama, bercanda tawa, dan saling menguatkan. Kenangan itu terasa begitu nyata, seolah Arlina masih ada di sisinya.
Bella rindu Arlina.
Dia rindu tawa Arlina, rindu pelukannya, rindu semua yang ada pada Arlina. Tapi, Bella sadar bahwa cintanya pada Arlina adalah cinta terlarang. Arlina memiliki suami, dan Bella tidak ingin merusak hubungan mereka.
Dan begitu seterusnya, setiap hari selalu diselimuti rasa sepi yang tak tampak di mata siapa pun.
Untuk ke depannya? Mari selesaikan satu-satu.
POV Bella:
Saat ini, bohong sekali jika rasa sedihku sudah sepenuhnya hilang. Aku harus melewati hari-hariku dengan topeng yang berbeda. Ditambah, aku baru mulai kuliah juga. Oh iya, aku memutuskan untuk tidak melanjutkan hubunganku dengan Reza. Perasaan cintaku sudah pasti bukan untuknya. Aku tak ingin menambah-nambah beban pikiran dan rasa bersalahku. Setiap hari, aku harus meyakinkan diriku bahwa semuanya tak mungkin berakhir seperti ini saja, aku juga yakin, setelah mencari tahu, Arlina pasti belum menikah. Sambil terus mengobati rasa luka dan rindu yang membuncah, ada baiknya, untuk saat ini aku fokus pada perkuliahanku saja. Memaksa pergi menemui Arlina di saat-saat seperti ini pun tidak berguna, yang ada aku hanya menyusahkan Arlina saja.
Dear Kak Arlina, aku akan menjadi orang sukses suatu hari nanti. Jika masih ada persimpangan takdir untuk kita bersama, akan aku usahakan saat-saat itu menjadi part terbaik di hidup kita. Sampai bertemu di lain hari, di bawah langit entah belahan bumi mana.
END