SEPEDA AYAH

0
(0)

Pagi yang indah selalu hadir di desa kami yang damai ini. Terletak di kaki pegunungan menjadikan udara yang ada sejuk. Mayoritas pekerjaan masyarakat adalah bertani dan berkebun sayur. Aku dilahirkan dari keluarga sederhana yang hanya mempunyai sebidang tanah untuk berkebun dan juga bertani. 

“Syam!” Seseorang memanggilku ketika tengah sibuk meraut bambu. Sontak saja dengan refleks aku langsung mengalihkan perhatian.

“Ada apa?” tanyaku.

“Jadi kita sore ini?” 

“Pasti. Kau tunggu saja di pematang nanti sore, Rak” ucapku kepada Raka yang merupakan teman sepermainan. 

Setelah itu, dia langsung pergi tanpa mengucapkan pamit sama sekali. Aku kembali melanjutkan perkejaanku untuk meraut bambu. Sebelum Dzuhur aku telah selesai melakukan pekerjaanku dan kemudian pergi ke belakang untuk mandi di sumur.

Sumur menjadi tempat kami mengambil sumber air, baik itu untuk mandi maupun minum. Air dari sumur menyejukkan seluruh tubuhku karena air yang segar dan diambil langsung dari mata air yang ada di alam. 

Tak beberapa lama setelah itu, ibuku datang mengambil air untuk memasaknya. Seusai mandi aku membantu ibu untuk memasak dan kami makan bersama termasuk ayahku yang baru saja datang dari ladang. 

“Yah, nanti sore Syam mau pergi main di pematang sama teman-teman. Bolehkan?” tanyaku disela-sela makan. Ini adalah kebiasaan anak desa mungkin, yakni harus meminta izin kepada orang tua jika ingin pergi. 

Aku menunggu jawaban dari ayahku dengan perasaan yang berdebar-debar. Bukan karena takut beliau akan marah tetapi aku takut kalau beliau memintaku untuk membantunya, sedang di lain pihak aku sudah berjanji kepada Raka untuk hadir dalam permainan nanti. 

“Iya, silakan saja. Tapi…” ucap ayahku dengan nada mengancam.

“Jangan sampai senja.” 

“Siap, Yah.” Sambarku dengan perasaan hati yang begitu gembira. 

Seusai makan aku langsung mencoba layangan yang baru selesai aku buat di halaman depan rumah. Walau belum sore aku sudah berangkat ke pematang menggunakan sepeda milik ayah. Walau badanku masih kecil tetapi bagiku sepeda besar itu masih belum seberapa karena kami anak desa sudah biasa menaikinya.

Benar saja, saat aku sampai di pematang belum ada siapapun di sana. Yang ada hanya gabah yang tertiup angin. Di bawah terik matahari aku mulai menaikkan layangan sembari berlari-lari kecil. Untuk menghilangkan kebosanan aku menyanyi-nyanyi kecil sembari terus mengulur benang yang ada pada gulungan.

“Sudah lama, Syam?”

“Belum, Rak,” jawabku.

“Aku malas menaikkan layangan, panas.”

“Terserah kamu saja,” ucapku sembari menancapkan bambu pada tanah.

Kami berdua duduk di bawah pohon beringin tepat di samping sepeda milik ayahku. Kami bercengkerama berbagai permasalahan anak seusia kami. Mulai dari sekolah, permainan, bahkan sampai makanan di rumah.

Sekitar pukul tiga, beberapa orang teman-temanku yang lain sudah datang. Mereka langsung menaikkan layangan dan termasuk juga Raka yang tidak mau ketinggalan. Layangan milikku masih berada di atas langit sana. 

“Sudah naik?” teriakku kepada mereka.

“Sudah.”

Aku bergegas berlari mengambil bambu tempat menggulung benang. Lalu tanpa banyak bicara lagi kami mulai bermain dan asyik. Aku bahkan sudah melupakan sepeda ayahku yang terparkir di bawah pohon beringin. 

Saat sore menjelang, sekitar pukul setengah enam. Aku menurunkan layangan dan bersiap pulang lalu berjalan menuju ke bawah pohon beringin. Sesampainya di sana, aku terkejut bukan kepalang karena sepeda milik ayahku sudah tidak ada di tempatnya.

“Aduh! Bagaimana ini?” tanyaku pada diri sendiri.

“Ada apa, Syam?” tanya Raka.

“Sepeda ayahku, Rak. Kan tadi ada di sini.”

“Iya ya? Belum pernah di kampung kita ada pencurian sepeda. Apakah sepedanya berjalan sendiri?” ucap Raka dengan pasti. Pemikiran anak-anak seperti kami memang sangat sederhana dan bahkan masih percaya tahayul.

“Bisa saja hantu yang penunggu pohon ini yang membawanya,” ucapku menambahkan.

“Lalu bagaimana ini? Bisa-bisa aku kena marah nanti,” lanjutku kebingungan dengan apa yang harus kulakukan.

Kami berdua memutuskan untuk menunggu di sana. Setelah lima menit hatiku berkecamuk karena sudah berjanji pada ayah kalau harus pulang sebelum Maghrib. Kebingungan melanda diriku antara pulang dan tidak. Apabila aku pulang tanpa sepeda sudah pasti akan kena marah. Tapi apabila aku pulang menggunakan sepeda dan sudah lewat maghrib tetap saja kena marah. Maka kala  itu aku memutuskan untuk pulang hingga maghrib.

“Rak, temani aku,” pintaku.

“Oke.”

Kami berdua masih menunggu sepeda itu agar diantarkan. Karena sudah hampir maghrib, Raka berkata, “Mungkin bukan hantu penunggu sini yang mengambilnya. Lebih baik kita mencarinya di sekeliling sini.”

Aku setuju dengan usulan itu, lalu kami berdua berkeliling di sekitar pematang namun sama sekali tidak menemukan apapun. Saat kami kembali, aku baru terpikir untuk mengikuti jejak ban sepeda yang membekas di tanah.

“Rak, kita ikuti jejak ban ini saja.”

“Wah ide bagus tuh,” balas Raka dan kamipun mengikuti jejak ban sepeda. Jalanan desa masih belum mendapat perbaikan dari pemerintah sehingga masih tanah dan terkadang becek. Jadi kami dengan mudah bisa mengikuti jejak ban itu.

Setelah beberapa menit mengikuti ban itu, kami berdua sampai di ladang milik keluargaku. Kulihat jejak sepeda itu berhenti di depan gubuk lalu terlihat kembali kalau bekas ban itu sudah kembali ke luar ladang. Kami kembali mengikutinya dan tidak berapa lama kemudian adzan di mushalla sudah terdengar.

Aku gugup karena masih tidak menemukan sepeda ayah. Raka sudah beberapa kali berusaha menenangkanku tetapi perasaan tidak enak ini terus saja hadir. Sudah tiga kubangan lumpur becek kami lewati dan terus saja mengikuti jejak ban itu. 

Tidak berapa lama kemudian kami sampai di halaman rumahku dan terlihat sepeda ayah ada di sana. “Itu dia Rak!” teriakku dengan keras.

Kami berdua berlari menuju ke sepeda itu. “Iya benar. Ini sepeda milik ayahmu, Syam,” ucap Raka memastikan. 

Ibuku yang berada di rumah keluar karena mendengar teriakanku barusan lalu bertanya, “Ada apa?”

“Ini Bu. Tadi waktu di pematang sepeda ayah hilang. Lalu kami mengikuti bekas bannya hingga sampai ke sini,” jawabku dengan mantap.

“Berarti kalian juga sampai ke kebun?”

“Iya Bu.”

Ibuku yang mendengar itu hanya tersenyum kecil. Lalu menyuruhku masuk ke dalam dan ayahku mengantarkan Raka ke rumahnya setelah kami mandi. Hari itu aku sangat lega karena tidak jadi kena marah akibat menghilangkan sepeda ayahku.

END

Nama Author : Syahril Sabirin

Ig : Syah_sabirin
Genre : Fiksi

Rate cerita ini yuk Kak!

Click on a star to rate it!

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

SEPEDA AYAH

SEPEDA AYAH

Pagi yang indah selalu hadir di desa kami yang damai ini. Terletak di kaki pegunungan menjadikan udara yang ada sejuk. Mayoritas pekerjaan masyarakat adalah bertani dan berkebun sayur. Aku dilahirkan dari keluarga sederhana yang hanya mempunyai sebidang tanah untuk berkebun dan juga bertani. 

“Syam!” Seseorang memanggilku ketika tengah sibuk meraut bambu. Sontak saja dengan refleks aku langsung mengalihkan perhatian.

“Ada apa?” tanyaku.

“Jadi kita sore ini?” 

“Pasti. Kau tunggu saja di pematang nanti sore, Rak” ucapku kepada Raka yang merupakan teman sepermainan. 

Setelah itu, dia langsung pergi tanpa mengucapkan pamit sama sekali. Aku kembali melanjutkan perkejaanku untuk meraut bambu. Sebelum Dzuhur aku telah selesai melakukan pekerjaanku dan kemudian pergi ke belakang untuk mandi di sumur.

Sumur menjadi tempat kami mengambil sumber air, baik itu untuk mandi maupun minum. Air dari sumur menyejukkan seluruh tubuhku karena air yang segar dan diambil langsung dari mata air yang ada di alam. 

Tak beberapa lama setelah itu, ibuku datang mengambil air untuk memasaknya. Seusai mandi aku membantu ibu untuk memasak dan kami makan bersama termasuk ayahku yang baru saja datang dari ladang. 

“Yah, nanti sore Syam mau pergi main di pematang sama teman-teman. Bolehkan?” tanyaku disela-sela makan. Ini adalah kebiasaan anak desa mungkin, yakni harus meminta izin kepada orang tua jika ingin pergi. 

Aku menunggu jawaban dari ayahku dengan perasaan yang berdebar-debar. Bukan karena takut beliau akan marah tetapi aku takut kalau beliau memintaku untuk membantunya, sedang di lain pihak aku sudah berjanji kepada Raka untuk hadir dalam permainan nanti. 

“Iya, silakan saja. Tapi…” ucap ayahku dengan nada mengancam.

“Jangan sampai senja.” 

“Siap, Yah.” Sambarku dengan perasaan hati yang begitu gembira. 

Seusai makan aku langsung mencoba layangan yang baru selesai aku buat di halaman depan rumah. Walau belum sore aku sudah berangkat ke pematang menggunakan sepeda milik ayah. Walau badanku masih kecil tetapi bagiku sepeda besar itu masih belum seberapa karena kami anak desa sudah biasa menaikinya.

Benar saja, saat aku sampai di pematang belum ada siapapun di sana. Yang ada hanya gabah yang tertiup angin. Di bawah terik matahari aku mulai menaikkan layangan sembari berlari-lari kecil. Untuk menghilangkan kebosanan aku menyanyi-nyanyi kecil sembari terus mengulur benang yang ada pada gulungan.

“Sudah lama, Syam?”

“Belum, Rak,” jawabku.

“Aku malas menaikkan layangan, panas.”

“Terserah kamu saja,” ucapku sembari menancapkan bambu pada tanah.

Kami berdua duduk di bawah pohon beringin tepat di samping sepeda milik ayahku. Kami bercengkerama berbagai permasalahan anak seusia kami. Mulai dari sekolah, permainan, bahkan sampai makanan di rumah.

Sekitar pukul tiga, beberapa orang teman-temanku yang lain sudah datang. Mereka langsung menaikkan layangan dan termasuk juga Raka yang tidak mau ketinggalan. Layangan milikku masih berada di atas langit sana. 

“Sudah naik?” teriakku kepada mereka.

“Sudah.”

Aku bergegas berlari mengambil bambu tempat menggulung benang. Lalu tanpa banyak bicara lagi kami mulai bermain dan asyik. Aku bahkan sudah melupakan sepeda ayahku yang terparkir di bawah pohon beringin. 

Saat sore menjelang, sekitar pukul setengah enam. Aku menurunkan layangan dan bersiap pulang lalu berjalan menuju ke bawah pohon beringin. Sesampainya di sana, aku terkejut bukan kepalang karena sepeda milik ayahku sudah tidak ada di tempatnya.

“Aduh! Bagaimana ini?” tanyaku pada diri sendiri.

“Ada apa, Syam?” tanya Raka.

“Sepeda ayahku, Rak. Kan tadi ada di sini.”

“Iya ya? Belum pernah di kampung kita ada pencurian sepeda. Apakah sepedanya berjalan sendiri?” ucap Raka dengan pasti. Pemikiran anak-anak seperti kami memang sangat sederhana dan bahkan masih percaya tahayul.

“Bisa saja hantu yang penunggu pohon ini yang membawanya,” ucapku menambahkan.

“Lalu bagaimana ini? Bisa-bisa aku kena marah nanti,” lanjutku kebingungan dengan apa yang harus kulakukan.

Kami berdua memutuskan untuk menunggu di sana. Setelah lima menit hatiku berkecamuk karena sudah berjanji pada ayah kalau harus pulang sebelum Maghrib. Kebingungan melanda diriku antara pulang dan tidak. Apabila aku pulang tanpa sepeda sudah pasti akan kena marah. Tapi apabila aku pulang menggunakan sepeda dan sudah lewat maghrib tetap saja kena marah. Maka kala  itu aku memutuskan untuk pulang hingga maghrib.

“Rak, temani aku,” pintaku.

“Oke.”

Kami berdua masih menunggu sepeda itu agar diantarkan. Karena sudah hampir maghrib, Raka berkata, “Mungkin bukan hantu penunggu sini yang mengambilnya. Lebih baik kita mencarinya di sekeliling sini.”

Aku setuju dengan usulan itu, lalu kami berdua berkeliling di sekitar pematang namun sama sekali tidak menemukan apapun. Saat kami kembali, aku baru terpikir untuk mengikuti jejak ban sepeda yang membekas di tanah.

“Rak, kita ikuti jejak ban ini saja.”

“Wah ide bagus tuh,” balas Raka dan kamipun mengikuti jejak ban sepeda. Jalanan desa masih belum mendapat perbaikan dari pemerintah sehingga masih tanah dan terkadang becek. Jadi kami dengan mudah bisa mengikuti jejak ban itu.

Setelah beberapa menit mengikuti ban itu, kami berdua sampai di ladang milik keluargaku. Kulihat jejak sepeda itu berhenti di depan gubuk lalu terlihat kembali kalau bekas ban itu sudah kembali ke luar ladang. Kami kembali mengikutinya dan tidak berapa lama kemudian adzan di mushalla sudah terdengar.

Aku gugup karena masih tidak menemukan sepeda ayah. Raka sudah beberapa kali berusaha menenangkanku tetapi perasaan tidak enak ini terus saja hadir. Sudah tiga kubangan lumpur becek kami lewati dan terus saja mengikuti jejak ban itu. 

Tidak berapa lama kemudian kami sampai di halaman rumahku dan terlihat sepeda ayah ada di sana. “Itu dia Rak!” teriakku dengan keras.

Kami berdua berlari menuju ke sepeda itu. “Iya benar. Ini sepeda milik ayahmu, Syam,” ucap Raka memastikan. 

Ibuku yang berada di rumah keluar karena mendengar teriakanku barusan lalu bertanya, “Ada apa?”

“Ini Bu. Tadi waktu di pematang sepeda ayah hilang. Lalu kami mengikuti bekas bannya hingga sampai ke sini,” jawabku dengan mantap.

“Berarti kalian juga sampai ke kebun?”

“Iya Bu.”

Ibuku yang mendengar itu hanya tersenyum kecil. Lalu menyuruhku masuk ke dalam dan ayahku mengantarkan Raka ke rumahnya setelah kami mandi. Hari itu aku sangat lega karena tidak jadi kena marah akibat menghilangkan sepeda ayahku.

END

Nama Author : Syahril Sabirin

Ig : Syah_sabirin
Genre : Fiksi

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Plugin Kapsule Corp

Options

not work with dark mode
Reset
Part of PT. King Alin Jaya