Sepucuk Email

0
(0)
Sebelum baca, ayo like halaman facebook dan subscribe youtube kami agar tidak ketinggalan info update!!

Entah sejak kapan, kehidupan terasa semenakutkan ini.

Kalau diingat-ingat, semuanya berawal dari kabar sebuah virus yang akhirnya menginfeksi negariku. Aku tidak berlebihan mengatakan, “Menginfeksi negeriku”, karena, memang segala aspek rasanya terinsfeksi virus ini. Sudah warganya banyak yang terkena, aspek-aspek kehidupan kami pun ikut kena imbasnya.

Rasanya, semakin kacau saat bosku, seorang wanita alpha yang selalu ambisius, tegas, terlihat keras namun baik hati, menitikan air matanya. Aku ingat, waktu itu, tanggal 5 di bulan Mei, bosku, Ci Rere mengumpulkan kami di ruang rapat.

“Teman-teman semua, maafkan saya,” ci Rere menangis, tak bisa melanjutkan kata-katanya.

Semua orang tertegun, bertanya-tanya apa yang sedang terjadi, dan beberapa orang termasuk aku, sudah merasakan firasat buruk.

“Saya gagal pimpin perusahaan untuk lewati masa sulit ini. Pasar enggak terima produk kita lagi selama pandemi. Dengan berat hati, saya harus merumahkan teman-teman semua.”

Rasanya, seperti kiamat. Pandanganku dalam sekejap terasa menghitam, gelap gulita tanpa cahaya sedikit pun.

‘Ya Tuhan, bulan depan adikku bayar semesteran kuliah, belum biaya ibu berobat. Ya Tuhan, kuatkan hamba.’ Gumamku dalam hati.

Hal yang masih kusyukuri adalah, pesangon dan asuransiku berjumlah 5 bulan gaji. Aku masih bisa bernapas lega, walaupun sedikit. Hari itu, aku pulang dengan rasa kecewa, kecewa kenapa semuanya bisa di luar dugaanku.

Aku yang tinggal di ibu kota sendirian, terpaksa pulang kampung karena demi menghemat biaya tempat tinggal. Aku pulang ke kampung halamanku yang berjarak 100km dari ibu kota.

“Nak, tumben sekali pulang ke rumah di hari kerja? Sini, makan yuk, pas banget ibu udah masak. Mungkin karena memang udah firasat kamu bakal pulang.” Ucap ibuku.

Aku tak bisa menahan rasa haru dan sedihku, aku memeluk ibuku erat-erat, “Ibu, aku gak punya kerjaan lagi sekarang. Tempat kerjaku bangkrut, gak bisa bertahan di masa pandemi. Gimana kebutuhan rumah nanti Bu.”

Ibu memang sosok malaikat berwujud manusia. Ibuku mengelus rambutku, sambil berkata, “Pantes ibu mimpiin kamu nangis. Nak, gak apa-apa, tabungan ibu masih cukup, kamu juga masih punya tabungan kan. Udah, hikmahnya, kita bisa berkumpul dulu sekarang. Dari kamu kuliah di ibu kota, kita enggak pernah sering-sering kumpul kan?”

Aku sangat bersyukur, ibuku bukan tipikal orang tua yang penuntut. Aku mulai bisa menerima kenyataan, setelah mendapatkan berbagai petuah dari ibuku.

Adanya dana darurat bukan berarti bisa berleha-leha. Kita tidak pernah tahu, kapan berakhirnya pandemi ini, jadi ada baiknya aku mulai melamar pekerjaan baru. Sejak ayahku meninggal pada 3 tahun yang lalu, aku sebagai anak pertama, memang menjadi tulang punggung untuk ibu dan adikku.

Lamaran demi lamaran mulai aku kirim, baik melalui email, bahkan sampai mengirim dokumen untuk perusahaan yang mewajibkan mengirimkan dokumen.

Tiga bulan yang menjemukkan akhirnya berlalu, dan aku? Aku masih bergelut dengan melamar kerja. Aku sudah melamar pekerjaan ke berbagai perusahaan, sampai rasanya, tak ada lagi perusahaan yang bisa aku lamar karena sudah aku lamar semua. Namun, menyakitkan sekali, tak ada satu pun perusahaan yang merespons lamaranku.

Aku mulai putus asa. Apalagi, pagi ini aku mendapat email tagihan bayaran semesteran adikku. Rasanya, hancur sekali hatiku. Tak tahu harus bagaimana, uang tabunganku semakin menipis. Jika aku bayarkan untuk biaya semester adikku, maka tabunganku akan habis semuanya.

Satu bulan berlalu lagi dengan rasa yang semakin sakit. Sudah seminggu ini, aku merasa kejiwaanku sudah mulai terganggu. Aku tak ingin memegang ponselku lagi, aku tak ingin melihat laptopku lagi. Aku tak ingin memeriksa email lagi. Aku hanya merasa, semua benda itu hanya membuatku terus merasa was-was.

Akhir-akhir ini, aku fokus membantu ibu jualan kue. Walaupun perasaan sedih terus menghantuiku, perasaan sedih karena terus-menerus merepotkan ibu, tapi sebisa mungkin, aku coba alihkan fokusku pada hal lain.

Sampai suatu hari, aku benar-benar tak ingin lagi melakukan hal apapun. Aku merasa seperti kehilangan minatku untuk melakukan apapun, termasuk hidup. Sudah tiga hari berlalu, aku habiskan waktuku hanya di kamar saja, membaca kembali komik-komik masa SMA-ku.

Di tengah gundahnya hati, adikku tiba-tiba menghampiriku.

“Kak, email kakak masih log in di handphone aku. Emailnya maaf kepencet sama aku, katanya, ada undangan interview.”

Aku melihatnya sekilas. Sebuah undangan interview dari perusahaan yang aku lamar seminggu yang lalu. Walaupun hanya undangan interview, namun rasanya sangat melegakan hatiku yang sudah tak karuan. Harapan masih ada, akan selalu ada, semangat teman-teman seperjuanganku. Pandemi pasti akan berakhir, masa sulit kita pasti akan berakhir!

Terima kasih sudah membaca novel kami. Untuk menyemangati author agar terus update, jangan lupa share, komen dan klik salah satu iklan di web kami(Hehehe lumayan bisa beli cemilan untuk menemani author nulis XD)

END

Rate cerita ini yuk Kak!

Click on a star to rate it!

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Sepucuk Email

Sepucuk Email

Sebelum baca, ayo like halaman facebook dan subscribe youtube kami agar tidak ketinggalan info update!!

Entah sejak kapan, kehidupan terasa semenakutkan ini.

Kalau diingat-ingat, semuanya berawal dari kabar sebuah virus yang akhirnya menginfeksi negariku. Aku tidak berlebihan mengatakan, "Menginfeksi negeriku", karena, memang segala aspek rasanya terinsfeksi virus ini. Sudah warganya banyak yang terkena, aspek-aspek kehidupan kami pun ikut kena imbasnya.

Rasanya, semakin kacau saat bosku, seorang wanita alpha yang selalu ambisius, tegas, terlihat keras namun baik hati, menitikan air matanya. Aku ingat, waktu itu, tanggal 5 di bulan Mei, bosku, Ci Rere mengumpulkan kami di ruang rapat.

"Teman-teman semua, maafkan saya," ci Rere menangis, tak bisa melanjutkan kata-katanya.

Semua orang tertegun, bertanya-tanya apa yang sedang terjadi, dan beberapa orang termasuk aku, sudah merasakan firasat buruk.

"Saya gagal pimpin perusahaan untuk lewati masa sulit ini. Pasar enggak terima produk kita lagi selama pandemi. Dengan berat hati, saya harus merumahkan teman-teman semua."

Rasanya, seperti kiamat. Pandanganku dalam sekejap terasa menghitam, gelap gulita tanpa cahaya sedikit pun.

'Ya Tuhan, bulan depan adikku bayar semesteran kuliah, belum biaya ibu berobat. Ya Tuhan, kuatkan hamba.' Gumamku dalam hati.

Hal yang masih kusyukuri adalah, pesangon dan asuransiku berjumlah 5 bulan gaji. Aku masih bisa bernapas lega, walaupun sedikit. Hari itu, aku pulang dengan rasa kecewa, kecewa kenapa semuanya bisa di luar dugaanku.

Aku yang tinggal di ibu kota sendirian, terpaksa pulang kampung karena demi menghemat biaya tempat tinggal. Aku pulang ke kampung halamanku yang berjarak 100km dari ibu kota.

"Nak, tumben sekali pulang ke rumah di hari kerja? Sini, makan yuk, pas banget ibu udah masak. Mungkin karena memang udah firasat kamu bakal pulang." Ucap ibuku.

Aku tak bisa menahan rasa haru dan sedihku, aku memeluk ibuku erat-erat, "Ibu, aku gak punya kerjaan lagi sekarang. Tempat kerjaku bangkrut, gak bisa bertahan di masa pandemi. Gimana kebutuhan rumah nanti Bu."

Ibu memang sosok malaikat berwujud manusia. Ibuku mengelus rambutku, sambil berkata, "Pantes ibu mimpiin kamu nangis. Nak, gak apa-apa, tabungan ibu masih cukup, kamu juga masih punya tabungan kan. Udah, hikmahnya, kita bisa berkumpul dulu sekarang. Dari kamu kuliah di ibu kota, kita enggak pernah sering-sering kumpul kan?"

Aku sangat bersyukur, ibuku bukan tipikal orang tua yang penuntut. Aku mulai bisa menerima kenyataan, setelah mendapatkan berbagai petuah dari ibuku.

Adanya dana darurat bukan berarti bisa berleha-leha. Kita tidak pernah tahu, kapan berakhirnya pandemi ini, jadi ada baiknya aku mulai melamar pekerjaan baru. Sejak ayahku meninggal pada 3 tahun yang lalu, aku sebagai anak pertama, memang menjadi tulang punggung untuk ibu dan adikku.

Lamaran demi lamaran mulai aku kirim, baik melalui email, bahkan sampai mengirim dokumen untuk perusahaan yang mewajibkan mengirimkan dokumen.

Tiga bulan yang menjemukkan akhirnya berlalu, dan aku? Aku masih bergelut dengan melamar kerja. Aku sudah melamar pekerjaan ke berbagai perusahaan, sampai rasanya, tak ada lagi perusahaan yang bisa aku lamar karena sudah aku lamar semua. Namun, menyakitkan sekali, tak ada satu pun perusahaan yang merespons lamaranku.

Aku mulai putus asa. Apalagi, pagi ini aku mendapat email tagihan bayaran semesteran adikku. Rasanya, hancur sekali hatiku. Tak tahu harus bagaimana, uang tabunganku semakin menipis. Jika aku bayarkan untuk biaya semester adikku, maka tabunganku akan habis semuanya.

Satu bulan berlalu lagi dengan rasa yang semakin sakit. Sudah seminggu ini, aku merasa kejiwaanku sudah mulai terganggu. Aku tak ingin memegang ponselku lagi, aku tak ingin melihat laptopku lagi. Aku tak ingin memeriksa email lagi. Aku hanya merasa, semua benda itu hanya membuatku terus merasa was-was.

Akhir-akhir ini, aku fokus membantu ibu jualan kue. Walaupun perasaan sedih terus menghantuiku, perasaan sedih karena terus-menerus merepotkan ibu, tapi sebisa mungkin, aku coba alihkan fokusku pada hal lain.

Sampai suatu hari, aku benar-benar tak ingin lagi melakukan hal apapun. Aku merasa seperti kehilangan minatku untuk melakukan apapun, termasuk hidup. Sudah tiga hari berlalu, aku habiskan waktuku hanya di kamar saja, membaca kembali komik-komik masa SMA-ku.

Di tengah gundahnya hati, adikku tiba-tiba menghampiriku.

"Kak, email kakak masih log in di handphone aku. Emailnya maaf kepencet sama aku, katanya, ada undangan interview."

Aku melihatnya sekilas. Sebuah undangan interview dari perusahaan yang aku lamar seminggu yang lalu. Walaupun hanya undangan interview, namun rasanya sangat melegakan hatiku yang sudah tak karuan. Harapan masih ada, akan selalu ada, semangat teman-teman seperjuanganku. Pandemi pasti akan berakhir, masa sulit kita pasti akan berakhir!

Terima kasih sudah membaca novel kami. Untuk menyemangati author agar terus update, jangan lupa share, komen dan klik salah satu iklan di web kami(Hehehe lumayan bisa beli cemilan untuk menemani author nulis XD)

END

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Plugin Kapsule Corp

Options

not work with dark mode
Reset
Part of PT. King Alin Jaya